Ramadan di Negeri Minoritas Muslim: Tak Selalu Tentang Agama

Kamis, 28 Maret 2024 - 11:43 WIB
loading...
A A A


Perampasan Budaya

Teori lain dari direktur Woolf Institute Wagner tentang profil Ramadan berkisar pada bahasa dan perubahan generasi. “Segera setelah orang-orang berbicara dalam suatu bahasa tanpa aksen, terjadi pergeseran pemahaman bahwa mereka kini benar-benar menjadi bagiannya,” ujar Wagner, yang merupakan ahli sosiolinguistik. “Dan di Inggris, kita melihat populasi Muslim yang berbahasa Inggris, kini berusia 40-an dan 50-an tahun, bergerak ke posisi kepemimpinan dan berpengaruh.”

Di Perancis, hal serupa juga terjadi. Para peneliti di sana mencatat bahwa generasi Muslim Prancis berikutnya merasa mereka bisa menjalankan agama dengan lebih terbuka. “Melalui praktik [keagamaan] yang lebih nyata, generasi muda Prancis mengklaim status mereka sebagai anggota masyarakat yang utuh,” Jamel El Hamri, peneliti di Institut Penelitian dan Studi Dunia Arab dan Islam di Prancis, mengatakan kepada Le Monde pekan lalu. "Mereka merasa seperti orang Prancis dan Muslim."

Tentu saja, tidak semua orang senang. Beberapa umat Islam kecewa dengan komersialisasi Ramadan. Para ulama konservatif berpendapat bahwa non-Muslim tidak boleh ikut serta, sementara kelompok sayap kanan Eropa percaya bahwa praktik tersebut akan mengarah pada berakhirnya peradaban seperti yang mereka definisikan. Dan beberapa tokoh media sosial yang berpuasa selama Ramadan, menganggapnya sebagai semacam tantangan kesehatan online, telah dikecam karena adanya perampasan budaya.



Namun baik Hafez maupun Wagner tidak percaya bahwa pendapat seperti ini lebih penting daripada manfaatnya bagi orang-orang yang merasa lebih nyaman dengan sistem kepercayaan orang lain. Bagi umat Islam yang tumbuh dalam budaya mayoritas Kristen, hal ini dapat berarti rasa memiliki. “Memasukkan festival ini ke dalam ruang publik, bisa dibilang merupakan pengakuan bahwa Ramadan adalah bagian tak terpisahkan dari masyarakat,” bantah Hafez.

Dan bagi non-Muslim, ini bisa menjadi tentang merayakan dan mengelola keberagaman, tambah Wagner. “Karena ketika kita memiliki masyarakat yang beragam, kita melihat bahwa keberagaman sebenarnya mendukung masyarakat yang berkembang dan dinamis, dan biasanya lebih adil,” tutupnya.
(mhy)
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1105 seconds (0.1#10.140)