Kisah Pasukan Muslim Mengusir Romawi dari Farama: Begini Sikap Orang-Orang Mesir
loading...
A
A
A
Penaklukan Farama, Mesir, oleh pasukan kecil Amr bin Ash dicatat dalam sejarah sebagai keajaiban. Bagaimana bisa dengan kekuatan yang kecil itu pasukan Muslim dapat mengepung kota dengan tembok-tembok dan benteng-benteng yang begitu kuat dan kukuh, melumpuhkan pasukan Romawi , menyerbu tembok-tembok dan menerobos benteng-benteng itu semua.
"Amr bin Ash melakukan itu selama satu bulan menurut satu sumber terkenal, dan dua bulan menurut sumber yang lain," tulis Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Al-Faruq Umar" dan diterjemahkan Ali Audah menjadi "Umar bin Khattab, Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu" (PT Pustaka Litera AntarNusa, 2000).
Dari waktu ke waktu pasukan Romawi keluar dari benteng menghadapi pasukan Amr kemudian mundur kembali bertahan di dalam kota.
Sementara itu Amr sendiri mengadakan serangan ke sekitar kota dengan pasukan kecil berkuda, kekuatan yang didatangkan disesuaikan dengan yang diperlukan pasukannya.
Sesudah ternyata pengepungan itu berlangsung lama, garnisun kota memang sedang menunggu-nunggu pemerintah pusat akan mengirimkan bala bantuan untuk mengusir mereka dari Mesir. Tetapi bala bantuan itu tak kunjung datang, juga garnisun itu tidak menerima berita apa pun yang menggembirakan bahwa bantuan sudah hampir tiba.
Waktu itulah komandan pasukan Romawi keluar ke balik tembok mempertaruhkan diri berhadapan muka dengan musuh, dengan harapan akan memperoleh kemenangan.
Tetapi tak lama setelah terjadi pertempuran sengit ia melihat pasukan Muslimin tak ubahnya seperti singa yang sudah tak pedulikan maut. Ia memerintahkan pasukannya menarik diri dan berlindung ke dalam benteng-benteng itu.
Melihat mereka mundur pasukan Muslimin terus mengejar mereka sambil melakukan serangan gencar sehingga barisan mereka kacau balau.
Pasukan Amr dapat mendahului mereka sampai ke pintu kota dan berhasil menguasainya, dan terus melewati tembok-tembok itu ke benteng-benteng mereka yang berhasil pula diduduki.
Tak ada jalan lain buat pihak Romawi kecuali menyerah. Amr pun sudah dapat menguasai kota. Benteng-benteng yang paling kuat mereka hancurkan, kapal-kapal yang merapat di pelabuhan dekat kota itu dibakar dan semua gereja atau biara yang mungkin dipakai tempat bertahan dirobohkan.
Kemudian semua itu digunakan sebagai gardu untuk mengamankan jalan ke Palestina dan ke negeri-negeri Arab. Sekarang ia memikirkan langkah apa yang harus diambil selanjutnya setelah memenangkan pertempuran pertama di jantung Mesir ini.
Sikap Orang-Orang Mesir
Haekal mengatakan apa sebab Muqauqis, gubernur Iskandariah Mesir, enggan memasok bantuan kepada garnisun Farama? Pertanyaan ini terlintas dalam pikiran setiap sejarawan.
Butler berpendapat bahwa diamnya Muqauqis itu tak dapat ditafsirkan lain daripada pengkhianatan Cyrus terhadap Kaisar, karena ia memang menginginkan keuskupan Iskandariah terpisah dan lepas dari Konstantinopel, dengan mengadakan persetujuan dengan pihak Arab dan memberikan bantuan kepada mereka.
Menurut Haekal, pendapat Butler ini tidak didukung oleh dasar kenyataan apa pun, hanya disimpulkannya begitu saja dari beberapa peristiwa.
"Menurut hemat kami, pendapatnya itu terdorong oleh perasaan ia sebagai seorang Kristiani, bukan oleh kenyataan sejarah, mengingat bahwa memang belum ada satu pun orang Arab yang pernah dijumpainya, dan terbukti pula setelah itu dia memerangi Amr dan kaum Muslimin di Babilon dan di Iskandariah," ujar Haekal.
Pendapat yang mengatakan bahwa dia telah mengkhianati kerajaan Romawi untuk tujuan pribadinya, adalah suatu kesimpulan yang dasarnya hanyalah perasaan, bukan berlandaskan logika sejarah.
"Kita berpendapat bahwa keengganan Muqauqis memberikan bala bantuan kepada garnisun Farama banyak penyebabnya," kata Haekal.
Penyebab pertama, perasaan pihak Romawi di Mesir menghadapi sikap permusuhan rakyat Mesir terhadap mereka, suatu sikap yang tak mudah diramalkan akibat apa yang mungkin terjadi.
Kalau mereka mengirimkan kekuatan angkatan bersenjatanya di Mesir atau di Iskandariah untuk berperang di Farama kemudian rakyat Mesir memberontak kepada mereka, niscaya mereka akan jadi porak poranda, dan bala bantuan kepada Farama itu tidak akan dapat menolong mereka dari bencana pemberontakan di kota-kota besar lainnya.
Di samping itu mereka pun akan teringat pada kekalahan mereka ketika menghadapi pasukan Muslimin di Suriah dan di Palestina. Oleh karena itu mereka tidak ingin mempertaruhkan diri menghadapi raksasa-raksasa itu di medan pertempuran yang mereka sendiri tidak yakin akan mampu mengadakan perlawanan demikian.
Atas pertimbangan itu mereka lebih suka bertahan di benteng-benteng Babilon yang dekat dari Mesir dan dari Memphis dengan maksud menjadikan Sungai Nil sebagai parit antara mereka dengan musuh.
Mereka hanya akan membatasi diri di Farama dan kota-kota kecil lainnya yang kuat untuk menahan pasukan Arab selama mungkin, sehingga mereka mendapat kesempatan memperkuat benteng-benteng pertahanan mereka di pusat-pusat yang penting.
Kalau sesudah itu pihak Arab masih berani mempertaruhkan diri dan mencapai kota Mesir, benteng-benteng mereka akan mampu membendung kemajuan lawan, dan barangkali dapat menumpas mereka. Dengan demikian cukup untuk mengalihkan perhatian mereka dari Mesir dan tidak lagi berpikir akan kembali ke sana.
Dari segi strategi perang mungkin pemikiran demikian ini salah. Tetapi peristiwa-peristiwa yang terjadi kemudian menunjukkan bahwa memang itulah yang menjadi pemikiran Muqauqis dan kawan-kawannya ketika pertama kali pasukan Arab memasuki Mesir.
Sesudah Farama dibebaskan, sebuah pasukan dari pedalaman yang tinggal di perbatasan-Âperbatasan Sahara Mesir bergabung pula dengan Amr dengan harapan mendapatkan rampasan perang.
Dengan demikian anggota pasukan Muslimin yang hilang ketika pengepungan pertama di Mesir telah tergantikan.
"Amr bin Ash melakukan itu selama satu bulan menurut satu sumber terkenal, dan dua bulan menurut sumber yang lain," tulis Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Al-Faruq Umar" dan diterjemahkan Ali Audah menjadi "Umar bin Khattab, Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu" (PT Pustaka Litera AntarNusa, 2000).
Dari waktu ke waktu pasukan Romawi keluar dari benteng menghadapi pasukan Amr kemudian mundur kembali bertahan di dalam kota.
Sementara itu Amr sendiri mengadakan serangan ke sekitar kota dengan pasukan kecil berkuda, kekuatan yang didatangkan disesuaikan dengan yang diperlukan pasukannya.
Sesudah ternyata pengepungan itu berlangsung lama, garnisun kota memang sedang menunggu-nunggu pemerintah pusat akan mengirimkan bala bantuan untuk mengusir mereka dari Mesir. Tetapi bala bantuan itu tak kunjung datang, juga garnisun itu tidak menerima berita apa pun yang menggembirakan bahwa bantuan sudah hampir tiba.
Waktu itulah komandan pasukan Romawi keluar ke balik tembok mempertaruhkan diri berhadapan muka dengan musuh, dengan harapan akan memperoleh kemenangan.
Tetapi tak lama setelah terjadi pertempuran sengit ia melihat pasukan Muslimin tak ubahnya seperti singa yang sudah tak pedulikan maut. Ia memerintahkan pasukannya menarik diri dan berlindung ke dalam benteng-benteng itu.
Melihat mereka mundur pasukan Muslimin terus mengejar mereka sambil melakukan serangan gencar sehingga barisan mereka kacau balau.
Pasukan Amr dapat mendahului mereka sampai ke pintu kota dan berhasil menguasainya, dan terus melewati tembok-tembok itu ke benteng-benteng mereka yang berhasil pula diduduki.
Tak ada jalan lain buat pihak Romawi kecuali menyerah. Amr pun sudah dapat menguasai kota. Benteng-benteng yang paling kuat mereka hancurkan, kapal-kapal yang merapat di pelabuhan dekat kota itu dibakar dan semua gereja atau biara yang mungkin dipakai tempat bertahan dirobohkan.
Kemudian semua itu digunakan sebagai gardu untuk mengamankan jalan ke Palestina dan ke negeri-negeri Arab. Sekarang ia memikirkan langkah apa yang harus diambil selanjutnya setelah memenangkan pertempuran pertama di jantung Mesir ini.
Sikap Orang-Orang Mesir
Haekal mengatakan apa sebab Muqauqis, gubernur Iskandariah Mesir, enggan memasok bantuan kepada garnisun Farama? Pertanyaan ini terlintas dalam pikiran setiap sejarawan.
Butler berpendapat bahwa diamnya Muqauqis itu tak dapat ditafsirkan lain daripada pengkhianatan Cyrus terhadap Kaisar, karena ia memang menginginkan keuskupan Iskandariah terpisah dan lepas dari Konstantinopel, dengan mengadakan persetujuan dengan pihak Arab dan memberikan bantuan kepada mereka.
Menurut Haekal, pendapat Butler ini tidak didukung oleh dasar kenyataan apa pun, hanya disimpulkannya begitu saja dari beberapa peristiwa.
"Menurut hemat kami, pendapatnya itu terdorong oleh perasaan ia sebagai seorang Kristiani, bukan oleh kenyataan sejarah, mengingat bahwa memang belum ada satu pun orang Arab yang pernah dijumpainya, dan terbukti pula setelah itu dia memerangi Amr dan kaum Muslimin di Babilon dan di Iskandariah," ujar Haekal.
Pendapat yang mengatakan bahwa dia telah mengkhianati kerajaan Romawi untuk tujuan pribadinya, adalah suatu kesimpulan yang dasarnya hanyalah perasaan, bukan berlandaskan logika sejarah.
"Kita berpendapat bahwa keengganan Muqauqis memberikan bala bantuan kepada garnisun Farama banyak penyebabnya," kata Haekal.
Penyebab pertama, perasaan pihak Romawi di Mesir menghadapi sikap permusuhan rakyat Mesir terhadap mereka, suatu sikap yang tak mudah diramalkan akibat apa yang mungkin terjadi.
Kalau mereka mengirimkan kekuatan angkatan bersenjatanya di Mesir atau di Iskandariah untuk berperang di Farama kemudian rakyat Mesir memberontak kepada mereka, niscaya mereka akan jadi porak poranda, dan bala bantuan kepada Farama itu tidak akan dapat menolong mereka dari bencana pemberontakan di kota-kota besar lainnya.
Di samping itu mereka pun akan teringat pada kekalahan mereka ketika menghadapi pasukan Muslimin di Suriah dan di Palestina. Oleh karena itu mereka tidak ingin mempertaruhkan diri menghadapi raksasa-raksasa itu di medan pertempuran yang mereka sendiri tidak yakin akan mampu mengadakan perlawanan demikian.
Atas pertimbangan itu mereka lebih suka bertahan di benteng-benteng Babilon yang dekat dari Mesir dan dari Memphis dengan maksud menjadikan Sungai Nil sebagai parit antara mereka dengan musuh.
Mereka hanya akan membatasi diri di Farama dan kota-kota kecil lainnya yang kuat untuk menahan pasukan Arab selama mungkin, sehingga mereka mendapat kesempatan memperkuat benteng-benteng pertahanan mereka di pusat-pusat yang penting.
Kalau sesudah itu pihak Arab masih berani mempertaruhkan diri dan mencapai kota Mesir, benteng-benteng mereka akan mampu membendung kemajuan lawan, dan barangkali dapat menumpas mereka. Dengan demikian cukup untuk mengalihkan perhatian mereka dari Mesir dan tidak lagi berpikir akan kembali ke sana.
Dari segi strategi perang mungkin pemikiran demikian ini salah. Tetapi peristiwa-peristiwa yang terjadi kemudian menunjukkan bahwa memang itulah yang menjadi pemikiran Muqauqis dan kawan-kawannya ketika pertama kali pasukan Arab memasuki Mesir.
Sesudah Farama dibebaskan, sebuah pasukan dari pedalaman yang tinggal di perbatasan-Âperbatasan Sahara Mesir bergabung pula dengan Amr dengan harapan mendapatkan rampasan perang.
Dengan demikian anggota pasukan Muslimin yang hilang ketika pengepungan pertama di Mesir telah tergantikan.
(mhy)