Mullah Nashruddin Masuk Jebakan Kepala Biara

Minggu, 23 Agustus 2020 - 11:23 WIB
loading...
Mullah Nashruddin Masuk Jebakan Kepala Biara
Ilustrasi/Ist
A A A
MULLAH Nashruddin memainkan peranan dari seorang darwis yang tidak peka dalam cerita tentang sekantong beras. Suatu hari ia tidak setuju dengan kepala biara di mana ia tinggal. Sesaat kemudian, sekantong beras hilang. Kepala biara memerintahkan setiap orang berbaris di halaman. Kemudian ia mengatakan kepada mereka bahwa orang yang telah mencuri beras tersebut pada jenggotnya terdapat beberapa biji beras tersebut. ( )

"Ini tipuan lama, agar pihak yang bersalah menyentuh jenggotnya secara tidak sadar," pikir si pencuri asli, dan ia pun tetap berdiri tegap. Di pihak lain, Nashruddin berpikir, "Ketua biara ingin membalas dendam kepadaku. Ia pastilah telah menyelipkan biji beras dijenggotku!" Ia berusaha membuangnya secara diam-diam.

Ketika jari-jarinya menyisir jenggotnya, ia menyadari bahwa setiap mata tertuju menatap kepadanya.



"Bagaimanapun aku tahu, cepat atau lambat ia pasti akan menjebakku," ucap Nashruddin.

Apa yang oleh sebagian orang dipandang sebagai kebenaran, seringkali sungguh-sungguh merupakan hasil dari kekhawatiran dan imajinasi.

Idries Shah dalam The Sufi menjelaskan semangat skeptisisme tentang persoalan-persoalan metafisis bukan berarti hanya terbatas pada Barat. Di Timur, merupakan hal yang biasa bagi orang untuk mengatakan bahwa mereka merasa kepenganutan terhadap suatu madzhab mistis akan menghilangkan otonomi mereka, atau sebaliknya akan merampas sesuatu bagi mereka.



Orang-orang semacam ini secara umum diabaikan oleh para sufi, sebab mereka belum mencapai tahapan dimana mereka menyadari bahwa mereka telah menjadi tawanan tirani yang jauh lebih buruk (yaitu dari Pendosa-Tua) daripada apa pun yang bisa dirancangkan bagi mereka di sebuah madrasah mistik. Meskipun demikian, terdapat satu lelucon Nashruddin yang secara tegas menunjukkan hal ini:

"Aku mendengar suara seorang gelandangan di ruang bawah," bisik istri Nashruddin kepadanya di suatu malam.

"Jangan bersuara!" jawab Nashruddin, "kita tidak memiliki apa pun yang layak dicuri. Dengan sedikit keberuntungan, mungkin ia justru akan meninggalkan sesuatu." ( )

Nashruddin, sebagai gelandangan karena banyak rumah kosong, selalu meninggalkan sesuatu -- jika si penghuni bisa mengenalinya.

Dalam sufisme, cara-cara praktis bagi pengajaran adalah penting. Hal ini sebagian karena sufisme merupakan suatu upaya aktif; sebagian karena, meskipun orang-orang menunaikan kebenaran sekadar penghormatan manakala dikatakan kepada mereka, realitas kebenaran biasanya tidak jauh memasuki fakultas diskursif mereka.

Nashruddin tengah menambal atap rumahnya ketika seseorang memanggilnya untuk turun ke jalan. Ketika turun, ia bertanya kepada orang tersebut tentang apa yang ia inginkan.

"Uang," jawabnya.

"Mengapa engkau tidak mengatakannya ketika memanggilku di atas?" ucap Nashruddin.



"Aku malu untuk mengemis."

"Naiklah ke atas!" ucap Nashruddin.

Ketika mereka sampai di atap, Nashruddin mulai meletakkan genteng-genteng itu kembali. Orang tersebut batuk-batuk, dan Nashruddin, tanpa menoleh, lalu berkata, "Aku tidak punya uang untukmu."
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1551 seconds (0.1#10.140)