7 Faktor Kekalahan Pasukan Salib: Pasukan Islam Mempunyai Spirit Jihad
loading...
A
A
A
Perang Salib di Timur Tengah memakan waktu 269 tahun, dimulai dari tahun 1096 hingga 1365. Itu jika Perang Salib X dihitung. Jika tidak, maka selama 176 tahun, yaitu dari tahun 1096 hingga 1272.
Jati Pamungkas, S.Hum, M.A. dalam bukunya berjudul "Perang Salib Timur dan Barat, Misi Merebut Yerusalem dan Mengalahkan Pasukan Islam di Eropa" menyebut jika diringkas, faktor-faktor kekalahan pasukan Salib adalah sebagai berikut:
1. Tingginya semangat etnisitas kebangsaan mengalahkan persamaan sebagai pemeluk Katolik . Terdapat persaingan kerajaan-kerajaan di Eropa selama Perang Salib berlangsung. Hal tersebut jelas terlihat pada Perang Salib II.
2. Kedudukan raja dan pemimpin lebih tinggi dari paus. Paus hanya sebagai pemberi restu. Fakta di lapangan, raja atau pemimpinlah yang menentukan arah Perang Salib.
Perang Salib IV adalah contoh dengan mudahnya tujuan menuju Yerusalem berubah menuju Konstantinopel. Intinya pada waktu itu perintah dari paus diabaikan oleh pasukan Salib.
3. Semangat “Perang Suci” mulai pudar dalam pasukan Salib. Melindungi Yerusalem dan kerajaan bukan lagi tujuan utama. Tujuan utamanya bergeser menjadi pencarian kejayaan dan kekayaan. Hal tersebut tampak jelas pada Perang Salib IV, V, VII, VIII, IX, dan X.
4. Pasukan Salib merupakan pendatang dari Eropa. Perbedaan geografis dan iklim membuat pasukan Salib seringkali kalah sebelum melakukan peperangan. Medan pertempuran yang berbeda, serta mayoritas tanah lapang terbuka, membuat pasukan Salib perlu mempersiapkan strategi perang lain, sekaligus beradaptasi dengan lingkungan terlebih dahulu.
5. Pasukan Salib terdiri dari bangsa yang berbeda-beda. Hal tersebut menyulitkan mereka dalam koordinasi. Peran sebagai pemimpin utama juga seringkali menimbulkan masalah.
Contoh adalah ketika terjadi kegagalan rencana penyerangan ke Damaskus oleh Baldwin, Raja Yerusalem; dengan Louis VII, Raja Prancis; beserta Conrad, Raja Jerman pada Perang Salib II.
6. Pasukan Salib datang dari Eropa dan bukan dicetak ataupun direkrut dari pribumi. Pasukan Salib datang saat Perang Salib dimulai. Setelah perang selesai, kebanyakan pasukan Salib akan kembali lagi ke Eropa. Intinya, mayoritas pasukan Salib terdiri dari oknum-oknum baru yang belum mempunyai gambaran atau pengalaman bertempur di Timur Tengah.
Artinya, jarak tempuh dari Eropa dan kualitas pasukan Salib itu sendiri memengaruhi hasil perang. Jadi pasukan dari Turki Seljuk, Dinasti Fathimiah, Dinasti Ayyubiah, dan Dinasti Mamlukiah mempunyai keuntungan dalam hal geografis.
Faktor geografis juga menentukan distribusi makanan prajurit selama bertempur.
7. Mental pasukan dari Islam yang tangguh dan mempunyai spirit jihad dalam bertempur apalagi berperang dengan orang asing yang mempunyai kepercayaan berbeda.
Mati dalam berperang terutama membela agama bukan hal menakutkan karena akan diganjar surga. Hal itulah yang membuat pasukan dari Turki Seljuk, Dinasti Fathimiah, Dinasti Ayyubiah, dan Dinasti Mamlukiah bertempur dengan gigih.
Jati Pamungkas, S.Hum, M.A. dalam bukunya berjudul "Perang Salib Timur dan Barat, Misi Merebut Yerusalem dan Mengalahkan Pasukan Islam di Eropa" menyebut jika diringkas, faktor-faktor kekalahan pasukan Salib adalah sebagai berikut:
1. Tingginya semangat etnisitas kebangsaan mengalahkan persamaan sebagai pemeluk Katolik . Terdapat persaingan kerajaan-kerajaan di Eropa selama Perang Salib berlangsung. Hal tersebut jelas terlihat pada Perang Salib II.
2. Kedudukan raja dan pemimpin lebih tinggi dari paus. Paus hanya sebagai pemberi restu. Fakta di lapangan, raja atau pemimpinlah yang menentukan arah Perang Salib.
Perang Salib IV adalah contoh dengan mudahnya tujuan menuju Yerusalem berubah menuju Konstantinopel. Intinya pada waktu itu perintah dari paus diabaikan oleh pasukan Salib.
3. Semangat “Perang Suci” mulai pudar dalam pasukan Salib. Melindungi Yerusalem dan kerajaan bukan lagi tujuan utama. Tujuan utamanya bergeser menjadi pencarian kejayaan dan kekayaan. Hal tersebut tampak jelas pada Perang Salib IV, V, VII, VIII, IX, dan X.
4. Pasukan Salib merupakan pendatang dari Eropa. Perbedaan geografis dan iklim membuat pasukan Salib seringkali kalah sebelum melakukan peperangan. Medan pertempuran yang berbeda, serta mayoritas tanah lapang terbuka, membuat pasukan Salib perlu mempersiapkan strategi perang lain, sekaligus beradaptasi dengan lingkungan terlebih dahulu.
5. Pasukan Salib terdiri dari bangsa yang berbeda-beda. Hal tersebut menyulitkan mereka dalam koordinasi. Peran sebagai pemimpin utama juga seringkali menimbulkan masalah.
Contoh adalah ketika terjadi kegagalan rencana penyerangan ke Damaskus oleh Baldwin, Raja Yerusalem; dengan Louis VII, Raja Prancis; beserta Conrad, Raja Jerman pada Perang Salib II.
6. Pasukan Salib datang dari Eropa dan bukan dicetak ataupun direkrut dari pribumi. Pasukan Salib datang saat Perang Salib dimulai. Setelah perang selesai, kebanyakan pasukan Salib akan kembali lagi ke Eropa. Intinya, mayoritas pasukan Salib terdiri dari oknum-oknum baru yang belum mempunyai gambaran atau pengalaman bertempur di Timur Tengah.
Artinya, jarak tempuh dari Eropa dan kualitas pasukan Salib itu sendiri memengaruhi hasil perang. Jadi pasukan dari Turki Seljuk, Dinasti Fathimiah, Dinasti Ayyubiah, dan Dinasti Mamlukiah mempunyai keuntungan dalam hal geografis.
Faktor geografis juga menentukan distribusi makanan prajurit selama bertempur.
7. Mental pasukan dari Islam yang tangguh dan mempunyai spirit jihad dalam bertempur apalagi berperang dengan orang asing yang mempunyai kepercayaan berbeda.
Mati dalam berperang terutama membela agama bukan hal menakutkan karena akan diganjar surga. Hal itulah yang membuat pasukan dari Turki Seljuk, Dinasti Fathimiah, Dinasti Ayyubiah, dan Dinasti Mamlukiah bertempur dengan gigih.
(mhy)