Hukum Bersumpah Menjauhi Istri, Begini Penjelasan Syaikh Al-Qardhawi
loading...
A
A
A
Syaikh Yusuf Al-Qardhawi mengatakan salah satu keistimewaan Islam dalam melindungi hak perempuan , yaitu melarang seorang suami yang marah kepada istrinya kemudian menjauhi tempat tidur dan tidak mau mendekatinya dalam waktu yang kiranya tidak mungkin dapat ditahan oleh sifat kewanitaan.
"Apabila meninggalkan tempat tidur ini diperkuat dengan sumpah tidak akan menyetubuhinya, maka dia diberi masa menunggu selama empat bulan; barangkali dalam masa menunggu itu hatinya menjadi tenang, berkobarnya kemarahan bisa dingin dan suara kalbunya itu bisa ditarik kembali," tulis Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya yang diterjemahkan H. Mu'ammal Hamidy berjudul "Halal dan Haram dalam Islam" (PT Bina Ilmu, 1993).
Menurut al-Qardhawi, kalau dia bisa kembali kepada tuntunan dan bisa bergaul dengan istrinya sebagaimana semula, sebelum habis waktu empat bulan atau sudah sampai empat bulan, maka Allah tetap akan memberi ampunan terhadap keteledorannya itu dan selalu membuka pintu tobat. "Tetapi dengan syarat dia harus membayar kafarah untuk menebus sumpahnya itu," jelasnya.
Dan apabila waktu empat bulan itu telah dilaluinya, sedang dia belum menarik diri dari azamnya, maka dia sudah bebas dari sumpah, tetapi istrinya diceraikan sebagai hukuman yang sesuai, karena dia tidak menghiraukan hak istri.
Sementara ahli fiqih ada yang berpendapat, bahwa dengan berlalunya waktu otomatis talaknya jatuh, tanpa menunggu keputusan hakim.
Dan ada pula yang mensyaratkan diajukannya persoalan tersebut kepada hakim setelah waktu yang ditentukan itu habis, kemudian hakim akan memberikan alternatif apakah dia harus mencabut dan istrinya rela, ataukah dia harus mencerainya. Kemudian dia harus memilih apa yang kiranya manis buat dirinya.
Al-Qardhawi menjelaskan bersumpah tidak akan mendekati istri, di dalam syariat Islam dikenal dengan nama ila. Yang dalam hal ini Allah telah berfirman:
"Bagi orang-orang yang bersumpah akan menjauhi istrinya, boleh menunggu empat bulan; jika mereka telah memenuhinya maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Belas kasih. Dan jika mereka bermaksud hendak mencerai, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui." ( QS al-Baqarah : 226-227)
Dibatasinya masa tunggu empat bulan, karena kesempatan empat bulan itu sudah cukup bagi seorang suami untuk menarik diri dan kembali ke jalan yang benar. Sebab masa empat bulan itu secara kebiasaan sudah cukup bagi seorang perempuan bersabar diri dari berkumpul dengan suaminya.
Dalam pada itu beberapa ahli tafsir meriwayatkan kisah Umar Ibnul-Khattab ketika mengadakan ronda malam, tiba-tiba terdengar suara perempuan bersyair:
Sungguh malam ini sangat panjang, sekelilingnya penuh kelam
Situasinya menjadikan aku tidak baik, karena tidak ada kekasih yang bisa kuajak bermain
Demi Allah, andai kata tidak takut akibat Sungguh ranjang ini akan guncang.
Umar berusaha untuk menyelidiki kisah si perempuan tersebut. Akhirnya diketahui, bahwa suaminya telah hilang dalam daftar mujahid pada masa yang sudah cukup lama.
Umar kemudian menanyakan kepada putrinya Hafsah berapa lama perempuan bisa bersabar diri dari suaminya? Jawab Hafsah: empat bulan.
Waktu itulah Umar berniat untuk menetapkan suatu peraturan, bahwa seorang suami tidak boleh meninggalkan istrinya lebih dari empat bulan.
"Apabila meninggalkan tempat tidur ini diperkuat dengan sumpah tidak akan menyetubuhinya, maka dia diberi masa menunggu selama empat bulan; barangkali dalam masa menunggu itu hatinya menjadi tenang, berkobarnya kemarahan bisa dingin dan suara kalbunya itu bisa ditarik kembali," tulis Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya yang diterjemahkan H. Mu'ammal Hamidy berjudul "Halal dan Haram dalam Islam" (PT Bina Ilmu, 1993).
Menurut al-Qardhawi, kalau dia bisa kembali kepada tuntunan dan bisa bergaul dengan istrinya sebagaimana semula, sebelum habis waktu empat bulan atau sudah sampai empat bulan, maka Allah tetap akan memberi ampunan terhadap keteledorannya itu dan selalu membuka pintu tobat. "Tetapi dengan syarat dia harus membayar kafarah untuk menebus sumpahnya itu," jelasnya.
Dan apabila waktu empat bulan itu telah dilaluinya, sedang dia belum menarik diri dari azamnya, maka dia sudah bebas dari sumpah, tetapi istrinya diceraikan sebagai hukuman yang sesuai, karena dia tidak menghiraukan hak istri.
Sementara ahli fiqih ada yang berpendapat, bahwa dengan berlalunya waktu otomatis talaknya jatuh, tanpa menunggu keputusan hakim.
Dan ada pula yang mensyaratkan diajukannya persoalan tersebut kepada hakim setelah waktu yang ditentukan itu habis, kemudian hakim akan memberikan alternatif apakah dia harus mencabut dan istrinya rela, ataukah dia harus mencerainya. Kemudian dia harus memilih apa yang kiranya manis buat dirinya.
Al-Qardhawi menjelaskan bersumpah tidak akan mendekati istri, di dalam syariat Islam dikenal dengan nama ila. Yang dalam hal ini Allah telah berfirman:
"Bagi orang-orang yang bersumpah akan menjauhi istrinya, boleh menunggu empat bulan; jika mereka telah memenuhinya maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Belas kasih. Dan jika mereka bermaksud hendak mencerai, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui." ( QS al-Baqarah : 226-227)
Dibatasinya masa tunggu empat bulan, karena kesempatan empat bulan itu sudah cukup bagi seorang suami untuk menarik diri dan kembali ke jalan yang benar. Sebab masa empat bulan itu secara kebiasaan sudah cukup bagi seorang perempuan bersabar diri dari berkumpul dengan suaminya.
Dalam pada itu beberapa ahli tafsir meriwayatkan kisah Umar Ibnul-Khattab ketika mengadakan ronda malam, tiba-tiba terdengar suara perempuan bersyair:
Sungguh malam ini sangat panjang, sekelilingnya penuh kelam
Situasinya menjadikan aku tidak baik, karena tidak ada kekasih yang bisa kuajak bermain
Demi Allah, andai kata tidak takut akibat Sungguh ranjang ini akan guncang.
Umar berusaha untuk menyelidiki kisah si perempuan tersebut. Akhirnya diketahui, bahwa suaminya telah hilang dalam daftar mujahid pada masa yang sudah cukup lama.
Umar kemudian menanyakan kepada putrinya Hafsah berapa lama perempuan bisa bersabar diri dari suaminya? Jawab Hafsah: empat bulan.
Waktu itulah Umar berniat untuk menetapkan suatu peraturan, bahwa seorang suami tidak boleh meninggalkan istrinya lebih dari empat bulan.
(mhy)