Hubungan Orang Tua dan Anak: Islam Memelihara Nasab
loading...
A
A
A
Anak adalah rahasia orang tua dan pemegang keistimewaannya. Waktu orang tua masih hidup, anak sebagai penenang, dan sewaktu ia pulang ke rahmatullah , anak sebagai pelanjut dan lambang keabadian.
"Anak mewarisi tanda-tanda kesamaan orang tua, termasuk juga ciri-ciri khas, baik maupun buruk, tinggi maupun rendah. Dia adalah belahan jantungnya dan potongan dari hatinya," tutur Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya yang diterjemahkan H. Mu'ammal Hamidy berjudul "Halal dan Haram dalam Islam" (PT Bina Ilmu, 1993).
Justru itu Allah mengharamkan zina dan mewajibkan kawin , demi melindungi nasab, sehingga air tidak tercampur, anak bisa dikenal siapa ayahnya dan ayah pun dapat dikenal siapa anaknya.
Dengan perkawinan, seorang istri menjadi hak milik khusus suami dan dia dilarang berkhianat kepada suami, atau menyiram tanamannya dengan air orang lain.
Oleh karena itu setiap anak yang dilahirkan dari tempat tidur suami , mutlak menjadi anak suami itu, tanpa memerlukan pengakuan atau pengumuman dari seorang ayah; atau pengakuan dari seorang ibu, sebab setiap anak adalah milik yang seranjang. Begitulah menurut apa yang dikatakan oleh Rasulullah SAW .
Tidak Boleh Mengingkari Nasab
Menurut a-Qardhawi, dari sini seorang suami tidak boleh mengingkari anak yang dilahirkan oleh istrinya yang seranjang dengan dia dalam perkawinan yang sah.
Pengingkaran seorang suami terhadap nasab anaknya akan membawa bahaya yang besar dan suatu aib yang sangat jelek, baik terhadap istri maupun terhadap anaknya itu sendiri.
"Justru itu seorang suami tidak boleh mengingkari anaknya karena suatu keraguan, atau dugaan atau karena ada berita tidak baik yang mendatang," ujar al-Qardhawi.
Adapun apabila seorang istri mengkhianati suami dengan beberapa bukti yang dapat dikumpulkan dan beberapa tanda (qarinah) yang tidak dapat ditolak, maka syariat Islam tidak membiarkan seorang ayah harus memelihara seorang anak yang menurut keyakinannya bukan anaknya sendiri; dan memberikan waris kepada anak yang menurut keyakinannya tidak berhak menerimanya; atau paling tidak anak yang selalu diragukan identitasnya sepanjang hidup.
Menurut al-Qardhawi, untuk memecahkan problem ini, Islam membuat jalan ke luar, yang dalam ilmu fiqih dikenal dengan nama li'an. Maka barang siapa yakin atau menuduh, bahwa istrinya telah membasahi ranjangnya dengan air orang lain kemudian si istri itu melahirkan seorang anak padahal tidak ada bukti yang tegas, maka waktu itu suami boleh mengajukan ke pengadilan, kemudian pengadilan mengadakan mula'anah (sumpah dengan melaknat) antara kedua belah pihak, yang penjelasannya sebagaimana diterangkan dalam al-Quran:
"Para suami yang menuduh istrinya padahal mereka tidak mempunyai saksi melainkan dirinya sendiri, maka kesaksian tiap orang dari mereka ialah empat kali kesaksian dengan nama Allah, bahwa ia termasuk orang-orang yang benar. Sedang yang kelimanya ialah, bahwa laknat Allah akan menimpa kepadanya jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Dan dihilangkan dari perempuan itu siksaan (dera) lantaran dia bersaksi empat kali kesaksian dengan nama Allah, bahwa dia (laki-laki) termasuk orang-orang yang berdusta. Sedang yang kelimanya: bahwa murka Allah akan menimpa kepadanya (perempuan) jika dia (laki-laki) itu termasuk orang-orang yang benar. Dan sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu (niscaya kamu akan menemui kesulitan). Dan sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat, lagi Maha Bijaksana." ( QS an-Nur : 6-10)
Sesudah itu keduanya diceraikan untuk selama-lamanya, dan anaknya ikut kepada ibunya.
"Anak mewarisi tanda-tanda kesamaan orang tua, termasuk juga ciri-ciri khas, baik maupun buruk, tinggi maupun rendah. Dia adalah belahan jantungnya dan potongan dari hatinya," tutur Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya yang diterjemahkan H. Mu'ammal Hamidy berjudul "Halal dan Haram dalam Islam" (PT Bina Ilmu, 1993).
Justru itu Allah mengharamkan zina dan mewajibkan kawin , demi melindungi nasab, sehingga air tidak tercampur, anak bisa dikenal siapa ayahnya dan ayah pun dapat dikenal siapa anaknya.
Dengan perkawinan, seorang istri menjadi hak milik khusus suami dan dia dilarang berkhianat kepada suami, atau menyiram tanamannya dengan air orang lain.
Oleh karena itu setiap anak yang dilahirkan dari tempat tidur suami , mutlak menjadi anak suami itu, tanpa memerlukan pengakuan atau pengumuman dari seorang ayah; atau pengakuan dari seorang ibu, sebab setiap anak adalah milik yang seranjang. Begitulah menurut apa yang dikatakan oleh Rasulullah SAW .
Tidak Boleh Mengingkari Nasab
Menurut a-Qardhawi, dari sini seorang suami tidak boleh mengingkari anak yang dilahirkan oleh istrinya yang seranjang dengan dia dalam perkawinan yang sah.
Pengingkaran seorang suami terhadap nasab anaknya akan membawa bahaya yang besar dan suatu aib yang sangat jelek, baik terhadap istri maupun terhadap anaknya itu sendiri.
"Justru itu seorang suami tidak boleh mengingkari anaknya karena suatu keraguan, atau dugaan atau karena ada berita tidak baik yang mendatang," ujar al-Qardhawi.
Adapun apabila seorang istri mengkhianati suami dengan beberapa bukti yang dapat dikumpulkan dan beberapa tanda (qarinah) yang tidak dapat ditolak, maka syariat Islam tidak membiarkan seorang ayah harus memelihara seorang anak yang menurut keyakinannya bukan anaknya sendiri; dan memberikan waris kepada anak yang menurut keyakinannya tidak berhak menerimanya; atau paling tidak anak yang selalu diragukan identitasnya sepanjang hidup.
Menurut al-Qardhawi, untuk memecahkan problem ini, Islam membuat jalan ke luar, yang dalam ilmu fiqih dikenal dengan nama li'an. Maka barang siapa yakin atau menuduh, bahwa istrinya telah membasahi ranjangnya dengan air orang lain kemudian si istri itu melahirkan seorang anak padahal tidak ada bukti yang tegas, maka waktu itu suami boleh mengajukan ke pengadilan, kemudian pengadilan mengadakan mula'anah (sumpah dengan melaknat) antara kedua belah pihak, yang penjelasannya sebagaimana diterangkan dalam al-Quran:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ (6) وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ (7) وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ (8) وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ (9) وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ وَأَنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ حَكِيمٌ (10)
"Para suami yang menuduh istrinya padahal mereka tidak mempunyai saksi melainkan dirinya sendiri, maka kesaksian tiap orang dari mereka ialah empat kali kesaksian dengan nama Allah, bahwa ia termasuk orang-orang yang benar. Sedang yang kelimanya ialah, bahwa laknat Allah akan menimpa kepadanya jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Dan dihilangkan dari perempuan itu siksaan (dera) lantaran dia bersaksi empat kali kesaksian dengan nama Allah, bahwa dia (laki-laki) termasuk orang-orang yang berdusta. Sedang yang kelimanya: bahwa murka Allah akan menimpa kepadanya (perempuan) jika dia (laki-laki) itu termasuk orang-orang yang benar. Dan sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu (niscaya kamu akan menemui kesulitan). Dan sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat, lagi Maha Bijaksana." ( QS an-Nur : 6-10)
Sesudah itu keduanya diceraikan untuk selama-lamanya, dan anaknya ikut kepada ibunya.
(mhy)