Hukum Mengucapkan Selamat Natal Menurut Muhammadiyah: Tidak Mutlak Haram
loading...
A
A
A
Adanya perbedaan ini menunjukkan adanya keragaman pemahaman akan nash. Teksnya sama, ayatnya sama, bagi kelompok yang membolehkan (ucapan selamat natal) QS Al Mumtahanah ayat 8 itu digunakan. “Tapi bagi yang mengharamkan tidak mendasarkan pada Al Mumtahanah ayat 8,” terang alumni angkatan pertama Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Garut ini.
Perbedaan semacam ini hendaknya tidak boleh menjadikan internal umat Islam terpecah belah. Umat Islam harus memahami bahwa di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah tidak disebutkan secara spesifik terkait dengan kebolehan atau keharaman mengucapkan selamat natal. Karena termasuk aspek ijtihadiyah, maka hal ini merupakan kreasi nalar manusia dan refleksi terhadap realitas.
“Tidak ada dalil yang tegas mengucapkan selamat hari natal itu tidak boleh atau mengucapkan natal itu boleh. Yang ada itu dalil-dalil yang dipahami. Teks itu ada yang manthuq, ada yang mafhum. Dalil manthuq (tersurat) terkait hal ini tidak ada, adanya yang mafhum (tersirat),” tutur Wawan.
Pendapat ulama yang tidak mengharamkan secara mutlak dan tidak membolehkan secara mutlak dengan pertimbangan.
1. Ucapan yang halal adalah ucapan yang tidak mengandung hal-hal yang bertentangan dengan syariah. Seperti: Semoga Tuhan memberi petunjuk-Nya kepada Anda.
2. Ucapan yang haram adalah ucapan yang mengandung hal-hal yang bertentangan dengan syariah. Seperti: Semoga Tuhan memberkati dan menyelamatkan Anda sekeluarga.
Mereka juga membedakan antara ucapan selamat Natal karena terpaksa, dengan yang tidak terpaksa.
Jika seorang Muslim berada di lingkungan mayoritas Nasrani, seperti di Ambon, Papua, atau negara-negara Eropa dan Amerika atau pegawai yang bekerja kepada orang Nasrani, siswa di sekolah Nasrani, pebisnis yang sangat tergantung dengan kolega Nasrani, maka boleh mengucapkan selamat Hari Natal kepada orang-orang Nasrani yang ada di sekitarnya.
Ucapan selamat itu harus dibarengi unsur keterpaksaan dalam hati (inkar bil qalbi) serta diiringi istighfar.
Di antara kondisi terpaksa seperti pegawai muslim yang tidak mengucapkan Selamat Natal kariernya dihambat atau dikurangi hak-haknya. Atau siswa muslim yang tidak memberikan ucapan Selamat Natal akan ditekan nilainya, diperlakukan tidak adil, dikurangi hak-haknya. Atau seorang muslim yang tinggal di daerah/negara non-muslim jika tidak memberikan Selamat Hari Natal kepada tetangga Nasrani akan mendapatkan tekanan sosial dan sebagainya.
Pendapat ini berdasarkan kepada firman Allah SWT sebagai berikut:
Artinya: Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah ia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang terpaksa, padahal hatinya tetap tenang keimanan. Akan tetapi orang yang menerima kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. ( QS Al-Nahl : 106).
Jika kondisi tidak memaksa dan tidak ada pengaruh sama sekali terhadap karir, jabatan, hak-hak, atau perlakuan orang-orang Nasrani sekelilingnya, maka tidak diperbolehkan baginya mengucapkan selamat Natal.
Pendapat ini lebih kuat karena menetapkan hukum sesuai dengan situasi dan kondisi. Pertama, persoalan hukum yang bersifat ijtihadi (debatable dan tidak ada dalil secara langsung), maka keputusannya tidak boleh hitam dan putih, tanpa mempertimbangkan situasi dan kondisi yang mengitarinya. Ini merupakan prinsip ushul fiqih.
Kedua, dalam kaidah fiqih ditegaskan: Keluar dari kungkungan khilaf (perbedaan pendapat) merupakan anjuran syariat. Artinya, jika kita berpegang pada pendapat yang mengharamkan saja, berarti kita menafikan pendapat yang menganjurkan, dan begitu sebaliknya. Maka pendapat ketiga (yang mempertimbangkan sikon), adalah solusi agar kita keluar dari kungkungan khilaf tersebut. Wallahu a’lam.
Perbedaan semacam ini hendaknya tidak boleh menjadikan internal umat Islam terpecah belah. Umat Islam harus memahami bahwa di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah tidak disebutkan secara spesifik terkait dengan kebolehan atau keharaman mengucapkan selamat natal. Karena termasuk aspek ijtihadiyah, maka hal ini merupakan kreasi nalar manusia dan refleksi terhadap realitas.
“Tidak ada dalil yang tegas mengucapkan selamat hari natal itu tidak boleh atau mengucapkan natal itu boleh. Yang ada itu dalil-dalil yang dipahami. Teks itu ada yang manthuq, ada yang mafhum. Dalil manthuq (tersurat) terkait hal ini tidak ada, adanya yang mafhum (tersirat),” tutur Wawan.
Pendapat ulama yang tidak mengharamkan secara mutlak dan tidak membolehkan secara mutlak dengan pertimbangan.
1. Ucapan yang halal adalah ucapan yang tidak mengandung hal-hal yang bertentangan dengan syariah. Seperti: Semoga Tuhan memberi petunjuk-Nya kepada Anda.
2. Ucapan yang haram adalah ucapan yang mengandung hal-hal yang bertentangan dengan syariah. Seperti: Semoga Tuhan memberkati dan menyelamatkan Anda sekeluarga.
Mereka juga membedakan antara ucapan selamat Natal karena terpaksa, dengan yang tidak terpaksa.
Jika seorang Muslim berada di lingkungan mayoritas Nasrani, seperti di Ambon, Papua, atau negara-negara Eropa dan Amerika atau pegawai yang bekerja kepada orang Nasrani, siswa di sekolah Nasrani, pebisnis yang sangat tergantung dengan kolega Nasrani, maka boleh mengucapkan selamat Hari Natal kepada orang-orang Nasrani yang ada di sekitarnya.
Ucapan selamat itu harus dibarengi unsur keterpaksaan dalam hati (inkar bil qalbi) serta diiringi istighfar.
Di antara kondisi terpaksa seperti pegawai muslim yang tidak mengucapkan Selamat Natal kariernya dihambat atau dikurangi hak-haknya. Atau siswa muslim yang tidak memberikan ucapan Selamat Natal akan ditekan nilainya, diperlakukan tidak adil, dikurangi hak-haknya. Atau seorang muslim yang tinggal di daerah/negara non-muslim jika tidak memberikan Selamat Hari Natal kepada tetangga Nasrani akan mendapatkan tekanan sosial dan sebagainya.
Pendapat ini berdasarkan kepada firman Allah SWT sebagai berikut:
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Artinya: Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah ia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang terpaksa, padahal hatinya tetap tenang keimanan. Akan tetapi orang yang menerima kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. ( QS Al-Nahl : 106).
Jika kondisi tidak memaksa dan tidak ada pengaruh sama sekali terhadap karir, jabatan, hak-hak, atau perlakuan orang-orang Nasrani sekelilingnya, maka tidak diperbolehkan baginya mengucapkan selamat Natal.
Pendapat ini lebih kuat karena menetapkan hukum sesuai dengan situasi dan kondisi. Pertama, persoalan hukum yang bersifat ijtihadi (debatable dan tidak ada dalil secara langsung), maka keputusannya tidak boleh hitam dan putih, tanpa mempertimbangkan situasi dan kondisi yang mengitarinya. Ini merupakan prinsip ushul fiqih.
Kedua, dalam kaidah fiqih ditegaskan: Keluar dari kungkungan khilaf (perbedaan pendapat) merupakan anjuran syariat. Artinya, jika kita berpegang pada pendapat yang mengharamkan saja, berarti kita menafikan pendapat yang menganjurkan, dan begitu sebaliknya. Maka pendapat ketiga (yang mempertimbangkan sikon), adalah solusi agar kita keluar dari kungkungan khilaf tersebut. Wallahu a’lam.
(mhy)