Tragedi Perang Jembatan: Langgar Pesan Umar Bin Khattab, Pasukan Muslim Berguguran
loading...
A
A
A
Pasukan Muslimin ketika itu tak sampai sepuluh ribu orang. Kendati demikian tempat yang ditinggal pasukan Persia di balik jembatan itu sudah terasa sangat sempit. Di tempat itu tak ada tempat berlindung jika melakukan taktik 'serang dan kembali.' Sesudah selesai mereka menyeberang semua, tanpa ditunda-tunda lagi Bahman memerintahkan pasukannya melakukan serangan, didahului oleh sepasukan gajah dengan genta yang bergemercingan.
Melihat dan mendengar dering genta yang dirasakan begitu asing dan aneh, kuda itu lari lintang pukang. Hanya sebagian kecil yang masih terpaksa bertahan. Pihak Persia menghujani pasukan Muslimin dengan panah sehingga tidak sedikit mereka yang tewas. Pihak Muslimin benar-benar merasa pedih atas bencana yang telah menimpa mereka sebelum mereka sampai ke tempat musuh.
Abu Ubaid sendiri melihat bahwa barisannya sudah hampir kacau-balau. Sekarang dia berikut pasukannya bergerak menuju ke arah pasukan Persia dengan berjalan kaki, yang kemudian menyapu mereka dengan pedang, sehingga akibatnya enam ribu orang dari mereka terbunuh.
Dengan demikian pasukan Muslimin merasa bertambah kuat. Tetapi pasukan gajah itu terus maju ke arah mereka, dan mampu mendorong mereka setiap mulai berhadapan. Abu Ubaid menyerukan anak buahnya agar memotong pelangkin pasukan gajah itu dan membalikkan isinya dan membunuh mereka.
Perintah ini mereka laksanakan dan setiap gajah mereka balikkan sehingga tak seekor gajah pun yang tidak mereka balikkan dan penumpangnya mereka bunuh. Dengan demikian pertempuran sengit selama beberapa waktu siang itu antara kedua pihak berlangsung maju dan mundur, kalah dan menang silih berganti.
Hari itu Abu Ubaid bernafsu sekali ingin menang. Lebih-lebih lagi karena penolakannya atas saran-saran Salit bin Qais dan yang lain yang menasihatkan jangan menyeberangi sungai ke tempat musuh. Sekiranya kemenangan ada pihak di Persia dan ia sampai kalah menghadapi Persia, niscaya dia sendiri yang akan menanggung malu, dan malu ini akan melekat padanya seumur hidup. Karenanya ia gelisah selalu, dan setiap terjadi perubahan dalam pertempuran, keseimbangannya terganggu.
la merasa gembira manakala setiap maju ia melihat pihak Persia mundur, tetapi kalau dilihatnya mereka maju ia dicekam perasaan takut mendapat malu lalu ia terjun maju untung-untungan.
la merasa puas tatkala melihat pasukannya menjungkirbalikkan penumpang-penumpang pasukan gajah itu sehingga tak ada lagi orang yang akan menuntunnya. Tetapi tak jauh dari tempatnya itu ia melihat seekor gajah putih besar melenggang-lenggangkan belalainya ke kanan dan ke kiri sehingga dengan demikian menceraiberaikan pasukan Muslimin di sekitarnya, dan seolah dia pahlawan besar yang sudah tahu sasaran yang akan dihantamnya.
Abu Ubaid yakin bahwa dengan membunuh gajah ini akan membuat semangat pasukan Muslimin bangkit kembali dan pasukan Persia akan terpukul.
la melangkah maju, belalai gajah itu ditebasnya dengan pedangnya. Merasakan pedihnya pukulan pedang, gajah itu berang sekali sambil menghampiri Abu Ubaid. Ditendangnya orang ini dengan kakinya dan setelah terhempas jatuh diinjaknya sambil berdiri di atas tubuh Abu Ubaid sampai ia menemui ajalnya.
Abu Ubaid memang sudah berwasiat, kalau dia mati, kepemimpinan dipegang oleh tujuh orang dari Banu Saqif — masyarakatnya sendiri — secara bergantian dengan menyebutkan nama-nama mereka.
Sesudah yang pertama melihat musibah yang menimpa pemimpinnya itu, dengan mengambil bendera menggantikannya ia berusaha menjauhkan gajah itu dari Abu Ubaid, ditariknya jenazahnya ke tempat pasukan Muslimin dan dia kembali berusaha hendak membunuh gajah itu, tetapi seperti Abu Ubaid dia juga menemui ajalnya.
Ketujuh orang Banu Saqif itu berturut-turut masing-masing memegang bendera dan berjuang terus sampai menemui ajalnya.
(mhy)