Begini Imam Hasan Al-Banna Menghadapi Masalah Khilafiah
loading...
A
A
A
Sesungguhnya pengetahuan tersebut sama sekali tidak akan bermanfaat untuk kamu semua, karena kamu telah bergelimang dalam fitnah selama delapan puluh tahun, dan itu sudah cukup.
Pertanyaan-pertanyaan di atas telah diperselisihkan oleh kaum Muslimin selama ratusan tahun dan mereka hingga kini tetap berselisih pendapat. Sesungguhnya Allah akan rela kepada kita apabila kita saling mencintai dan bersatu, dan tidak suka kepada kita apabila berselisih pendapat dan berpecah belah.
Saya berharap bahwa kamu semua sekarang ini mau berjanji kepada Allah SWT untuk meninggalkan perkara-perkara tersebut, dan berusaha keras untuk belajar pokok-pokok dan kaidah agama, mengamalkan akhlak, sifat-sifat yang baik, pengarahan yang menyatukan ummat, melakukan perkara-perkara yang difardukan dan disunnahkan kepada kita, dan kita tinggalkan mencari-cari masalah dan memperdalam masalah khilafiyah, sehingga jiwa semua kaum Muslimin menjadi jernih, dengan satu tujuan yang hendak kita capai, yaitu mencari kebenaran dan bukan sekadar mencari kemenangan berpendapat.
Dengan cara seperti itu kita dapat belajar bersama-sama dalam suasana penuh rasa cinta, saling percaya, kesatuan dan keikhlasan. Saya juga berharap kamu semua dapat menerima pandangan saya ini, dan berjanji kepada saya untuk melakukan perkara di atas."
"Hendaknya kita tidak keluar dari pelajaran ini kecuali kita masih memegang janji setia antara kita, dan hendaknya kita saling bekerja sama serta berkhidmat untuk Islam yang mulia, menyingkirkan segala bentuk perselisihan pendapat, menghormati pendapat kita masing-masing sehingga Allah memutuskan perkara yang mesti dilaksanakan."
Pelajaran di sudut (zawiyah) masjid itu terus berlangsung dalam suasana yang jauh dari pereselisihan pendapat berkat taufiq dari Allah. Suasana pada majelis itu semakin baik, karena setiap topik dalam pengajian tersebut dikaitkan dengan makna persaudaraan antara orang-orang yang beriman, untuk memantapkan persaudaraan dalam jiwa mereka.
Di samping itu, masalah khilafiyah senantiasa ditekankan untuk tidak diperdalam dalam perdebatan di antara mereka. Dengan demikian timbul rasa untuk saling menghormati dan menghargai di antara mereka.
Cara seperti itu saya pergunakan sebagai contoh dari para ulama salaf yang shaleh, yang wajib kita tiru dalam memberikan toleransi dan menghormati pendapat yang berbeda di antara kita.
Saya sebutkan satu contoh yang sangat praktis, saya berkata kepada mereka, "Siapakah di antara kamu sekalian yang bermazhab Hanafi?"
Kemudian ada salah seorang di antara mereka yang datang kepadaku. Lalu aku berkata lagi, "Siapakah di antara kamu yang bermazhab Syafi'i?"
Ada seseorang yang maju kepadaku. Setelah itu aku berkata kepada mereka, "Aku akan salat dan menjadi imam bagi kedua orang saudara kita ini. Bagaimana kamu membaca surat al-Fatihah wahai pengikut mazhab Hanafi?"
Dia menjawab, "Aku diam dan tidak membacanya."
Aku bertanya lagi, "Dan bagaimana engkau wahai kawan yang bermazhab Syafi'i?"
Dia menjawab, "Aku harus membacanya."
Kemudian aku berkata lagi, "Setelah kita selesai salat, maka bagaimanakah pendapatmu wahai pengikut mazhab Syafi' i tentang salat yang dilakukan oleh saudaramu yang bermazhab Hanafi?"
Dia menjawab, "Batal, karena dia tidak membaca surat al-Fatihah, padahal membaca al-Fatihah termasuk salah satu rukun salat."
Aku bertanya lagi, "Dan bagaimana pula pendapatmu wahai kawan yang bermazhab Hanafi tentang salat yang dilakukan oleh saudara kita yang bermazhab Syafi'i?"
Dia menjawab, "Dia telah melakukan sesuatu yang makruh dan mendekati haram, karena sesungguhnya membaca surat al-Fatihah pada saat seseorang menjadi ma'mum adalah makruh tahrimi."
Lalu aku berkata, "Apakah salah seorang di antara kamu berdua memungkiri yang lain?" Kedua orang itu menjawab, "Tidak."
Kemudian aku bertanya kepada orang-orang yang hadir di situ, "Apakah kamu memungkiri salah seorang di antara mereka berdua?" Mereka menjawab, "Tidak."
Pertanyaan-pertanyaan di atas telah diperselisihkan oleh kaum Muslimin selama ratusan tahun dan mereka hingga kini tetap berselisih pendapat. Sesungguhnya Allah akan rela kepada kita apabila kita saling mencintai dan bersatu, dan tidak suka kepada kita apabila berselisih pendapat dan berpecah belah.
Saya berharap bahwa kamu semua sekarang ini mau berjanji kepada Allah SWT untuk meninggalkan perkara-perkara tersebut, dan berusaha keras untuk belajar pokok-pokok dan kaidah agama, mengamalkan akhlak, sifat-sifat yang baik, pengarahan yang menyatukan ummat, melakukan perkara-perkara yang difardukan dan disunnahkan kepada kita, dan kita tinggalkan mencari-cari masalah dan memperdalam masalah khilafiyah, sehingga jiwa semua kaum Muslimin menjadi jernih, dengan satu tujuan yang hendak kita capai, yaitu mencari kebenaran dan bukan sekadar mencari kemenangan berpendapat.
Dengan cara seperti itu kita dapat belajar bersama-sama dalam suasana penuh rasa cinta, saling percaya, kesatuan dan keikhlasan. Saya juga berharap kamu semua dapat menerima pandangan saya ini, dan berjanji kepada saya untuk melakukan perkara di atas."
"Hendaknya kita tidak keluar dari pelajaran ini kecuali kita masih memegang janji setia antara kita, dan hendaknya kita saling bekerja sama serta berkhidmat untuk Islam yang mulia, menyingkirkan segala bentuk perselisihan pendapat, menghormati pendapat kita masing-masing sehingga Allah memutuskan perkara yang mesti dilaksanakan."
Pelajaran di sudut (zawiyah) masjid itu terus berlangsung dalam suasana yang jauh dari pereselisihan pendapat berkat taufiq dari Allah. Suasana pada majelis itu semakin baik, karena setiap topik dalam pengajian tersebut dikaitkan dengan makna persaudaraan antara orang-orang yang beriman, untuk memantapkan persaudaraan dalam jiwa mereka.
Di samping itu, masalah khilafiyah senantiasa ditekankan untuk tidak diperdalam dalam perdebatan di antara mereka. Dengan demikian timbul rasa untuk saling menghormati dan menghargai di antara mereka.
Cara seperti itu saya pergunakan sebagai contoh dari para ulama salaf yang shaleh, yang wajib kita tiru dalam memberikan toleransi dan menghormati pendapat yang berbeda di antara kita.
Saya sebutkan satu contoh yang sangat praktis, saya berkata kepada mereka, "Siapakah di antara kamu sekalian yang bermazhab Hanafi?"
Kemudian ada salah seorang di antara mereka yang datang kepadaku. Lalu aku berkata lagi, "Siapakah di antara kamu yang bermazhab Syafi'i?"
Ada seseorang yang maju kepadaku. Setelah itu aku berkata kepada mereka, "Aku akan salat dan menjadi imam bagi kedua orang saudara kita ini. Bagaimana kamu membaca surat al-Fatihah wahai pengikut mazhab Hanafi?"
Dia menjawab, "Aku diam dan tidak membacanya."
Aku bertanya lagi, "Dan bagaimana engkau wahai kawan yang bermazhab Syafi'i?"
Dia menjawab, "Aku harus membacanya."
Kemudian aku berkata lagi, "Setelah kita selesai salat, maka bagaimanakah pendapatmu wahai pengikut mazhab Syafi' i tentang salat yang dilakukan oleh saudaramu yang bermazhab Hanafi?"
Dia menjawab, "Batal, karena dia tidak membaca surat al-Fatihah, padahal membaca al-Fatihah termasuk salah satu rukun salat."
Aku bertanya lagi, "Dan bagaimana pula pendapatmu wahai kawan yang bermazhab Hanafi tentang salat yang dilakukan oleh saudara kita yang bermazhab Syafi'i?"
Dia menjawab, "Dia telah melakukan sesuatu yang makruh dan mendekati haram, karena sesungguhnya membaca surat al-Fatihah pada saat seseorang menjadi ma'mum adalah makruh tahrimi."
Lalu aku berkata, "Apakah salah seorang di antara kamu berdua memungkiri yang lain?" Kedua orang itu menjawab, "Tidak."
Kemudian aku bertanya kepada orang-orang yang hadir di situ, "Apakah kamu memungkiri salah seorang di antara mereka berdua?" Mereka menjawab, "Tidak."