Begini Imam Hasan Al-Banna Menghadapi Masalah Khilafiah

Rabu, 23 September 2020 - 05:00 WIB
loading...
Begini Imam Hasan Al-Banna Menghadapi Masalah Khilafiah
Imam Hasan Al-Banna/Foto/Ilustrasi/Ist/Miftah
A A A
IMAM Syahid Hasan al-Banna , memberi perhatian yang sangat besar terhadap upaya meluruskan pemahaman Islam , ummat Islam dan mengembalikan hal-hal yang telah dibuang oleh orang-orang yang ter-Barat-kan dan para pengikut sekularisme. ( )

Imam Hasan al-Banna, menginginkan Islam sebagai aqidah dan syari'ah, agama dan negara, kebenaran dan kekuatan, perdamaian dan perjuangan, al-Qur'an dan pedang.

Syaikh Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya yang berjudul " Fiqh Prioritas " menyebut Hasan al-Banna, berusaha dengan gigih memberikan penjelasan kepada ummat bahwa politik merupakan bagian dari Islam, dan sesungguhnya kemerdekaan adalah salah satu kewajibannya. ( )

Dia juga memberikan perhatian yang besar untuk membentuk generasi muda Muslim yang istiqamah terhadap dirinya, Allah sebagai tujuannya, Islam jalannya, dan Muhammad sebagai teladannya.

Generasi yang memahami Islam secara mendalam, memiliki iman yang kuat, menjalin hubungan (silah) yang erat satu sama lain, yang mengamalkan ajaran itu dalam dirinya sendiri, bekerja dan berjuang untuk mencapai kebangkitan Islam, serta berusaha mewujudkan kehidupan yang Islami di masyarakatnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, Hasan Al-Banna harus menyatukan ummat dan tidak memecah belahnya. ( )

Oleh sebab itu, dia tidak memunculkan isu-isu yang dapat memecah belah barisan kaum Muslimin, memecah belah kalimatnya, dan membagi-bagi manusia menjadi berbagai kelompok dan golongan. Untuk itu, dalam pandangannya, ummat Islam harus disatukan dalam satu landasan Islam yang universal.

Catatan Harian
Dalam catatan hariannya disebutkan bahwa kesadaran untuk itu telah ada sejak masa mudanya, yaitu ketika dia berusia awal dua puluhan. Dia berpendirian bahwa anak-anak ummat dapat disatukan pada landasan aqidah, syari'ah dan akhlak, serta dijauhkan dari perselisihan pendapat pada masalah-masalah furu'iyah yang tidak akan ada habis-habisnya. ( (1) dan ( 2 )

Adalah sebuah sudut masjid kecil tempat al-Banna, menyampaikan pelajaran-pelajarannya. Di situlah dia mengatakan:

"Inilah sudut yang kedua, yang dibangun oleh Haji Musthafa sebagai upaya pendekatan dirinya kepada Allah SWT. Di situ para pelajar menimba ilmu pengetahuan, belajar ayat-ayat Allah dan hikmah dengan penuh persaudaraan dan kejernihan hati." ( )

Tidak lama kemudian, tersebarlah ke seluruh pelosok tentang adanya kegiatan belajar tersebut, yang disampaikan antara waktu Maghrib dan Isya'; kemudian setelah itu mereka dapat pergi ke warung kopi, sehingga banyak orang yang hendak mengikutinya.

Di antara mereka ada orang-orang yang suka memperdebatkan masalah-masalah khilafiyah, dan perkara-perkara yang dapat menimbulkan fitnah.

"Pada suatu hari saya merasakan adanya sesuatu yang aneh, suasana pertengkaran, keributan, dan perpecahan. Saya melihat para pendengar dalam ceramah yang saya sampaikan telah terpecah menjadi kelompok-kelompok, dan mengambil tempat sendiri-sendiri. Sehingga sebelum saya mulai ceramah, saya dikejutkan oleh satu pertanyaan, 'Bagaimanakah pendapat ustadz tentang tawassul?' ( )

Kemudian saya menjawabnya, 'Wahai saudaraku, saya kira Anda tidak hanya ingin bertanya kepadaku tentang masalah itu saja, tetapi Anda hendak bertanya kepadaku tentang masalah salat, salam setelah adzan, membaca surat al-Kahfi pada hari Jum,at, penggunaan kata sayyid untuk Rasulullah SAW dalam tasyahhud, tentang nasib kedua orangtua Nabi SAW, di manakah tempat mereka, di surga atau neraka? Dan juga tentang bacaan al-Qur'an yang dikirimkan kepada orang yang meninggal dunia apakah pahalanya sampai kepadanya ataukah tidak? ( )

Juga pertemuan yang diadakan oleh para ahli tarikat, apakah itu kemaksiatan ataukah pendekatan kepada Allah SWT?

Masalah-masalah khilafiyah ini merupakan penyebar fitnah dan perselisihan pendapat yang sangat dahsyat di antara mereka.'Karenanya, orang yang bertanya itu merasa heran, lalu dia berkata, 'Ya, saya menginginkan jawaban untuk semua pertanyaan itu.'"

Saya berkata kepada orang itu, "Aku bukanlah seorang ulama, akan tetapi aku adalah seorang guru yang terpelajar yang hafal beberapa ayat al-Qur'an, sebagian hadits Nabi saw, hukum-hukum agama yang saya peroleh dari beberapa buku, dan aku berbaik hati mengajarkannya kepada orang banyak. Apabila engkau keluar bersama diriku untuk membicarakan masalah-masalah itu, maka sesungguhnya engkau telah mengeluarkanku dari majelis ini.



Dan siapa yang berkata bahwa dia tidak tahu berarti dia telah memberikan fatwa. Jika kamu merasa tertarik terhadap apa yang aku katakan, dan melihat ada kebaikan di dalamnya, maka dengarkanlah apa yang saya sampaikan dengan penuh rasa syukur, dan apabila engkau hendak memperluas lagi pengetahuan itu, maka bertanyalah kepada ulama-ulama selain diriku yang memiliki kelebihan dan spesialisasi. Mereka mungkin dapat memberikan kepuasan yang engkau cari, sedangkan diriku ini tidak lain hanyalah penyampai ilmu pengetahuan.

"Sesungguhnya Allah tidak akan memberikan beban kepada seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya."



Orang itu kemudian merasa terpukul dengan jawaban itu, dan tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang dia sampaikan. Begitulah cara yang sengaja saya lakukan dalam memberikan jawaban kepadanya, dengan berkelakar. Semua orang --atau kebanyakan --yang hadir pada pertemuan itu merasa puas hati dengan adanya penyelesaian seperti itu.

Akan tetapi, saya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Saya berpaling ke arah mereka sambil berkata, "Wahai saudara-saudaraku, aku menyadari sepenuhnya kepada saudara kita yang bertanya itu, dan kebanyakan saudara yang hadir di majelis ini. Menyadari sepenuhnya apa yang ada di balik itu, yaitu untuk mengetahui siapakah guru baru ini dan dari golongan manakah dia? Apakah dia termasuk golongan Syaikh Musa
ataukah dari golongan Syaikh Abd al-Sami'?
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3685 seconds (0.1#10.140)