Kapan Muslimah Harus Menyuburkan Amal Salehnya?
loading...
A
A
A
Muslimah, mungkin kita sudah aktif melakukan amal ibadah , amal saleh dan berkecimpung dalam rimba dakwah . Tapi pernahkah kita renungkan, apakah amal-amal saleh yang kita lakukan memiliki kekuatan bagi penumbuhan kualitas hati kita? Dan sebaliknya sudahkah kita melakukan upaya-upaya tazkiyah ruhiyah untuk menyuburkan amal saleh ini?
Sebenarnya bila kita perhatikan sesungguhnya tumbuhnya amal-amal dalam jiwa seseorang sangat tergantung pada kondisi kejiwaan yang melingkupinya. Orang yang sibuk, lelah, lemah, lesu bagaimana mungkin dapat melakukan amal lain dengan produktif? Apalagi orang yang miskin jiwanya, jauh dari suasana ruhani yang kondusif, jauh dari nasehat dan ayat-ayat Allah, bergaul dalam lingkungan yang tidak ada semangat keimanan dan keislaman?
(Baca juga : Ngidam Perempuan Hamil dalam Pandangan Syariat )
Abu 'Izzuddin dalam bukunya 'Melukis Hati Wanita (Tarbiyah Ruhiyah Wanita)' memaparkan, untuk menumbuhsuburkan amal saleh, tazkiyah sangat penting perannya dalam perikehidupan muslimah. Aspek terpenting dari proses tazkiyah adalah agar setiap mukmin memahami, menghayati, mengamalkan dan mendakwahkan Islam. Islam yang sempurna tidak cukup hanya 'dibanggakan' dari segi konseptual , tetapi lebih jauh dari itu, yaitu teraplikasi dalam amal saleh.
Apabila iman seorang kuat dan menanjak naik, maka akan mepengaruhi kualitas ibadahnya dan berpengaruh terhadap akhlaknya. Demikian juga sebaliknya, akhlak yang mulia akan menumbuhkan kualitas ibadah dan menyuburkan keimanan. Ini berarti antara iman, ibadah dan akhlak merupakan satu kesatuan yang tidak dapat berdiri sendiri dan tidak dapat dipisahkan, karena ketiga-tiganya saling mempengaruhi.
(Baca juga : Menjemput Keberkahan dengan Amalan-amalan di Pagi Hari )
Ibadah yang benar merupakan buah iman yang lurus, sedang akhlak mulia adalah buah dari iman dan ibadahnya. Maka para sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, Umar bin Khattab misalnya, sering mengajak para sahabat lain untuk menghidupkan majelis keimanan, "Marilah kita beriman sesaat, marilah kita beriman sesaat, marilah kita beriman sesaat."
Karena tabiat manusia ketika larut dalam aktifitas yang digelutinya, seolah jauh dari nilai-nilai iman. Tetapi begitu kembali dalam majelis zikir akan kembali mengingat ruh keimanan tersebut. Sebagaimana kisah Hanzhalah ra. bersama Abu Bakar radhiyallahu'anhu.
(Baca juga : Furai'ah binti Malik, Sang Penghapal Hadis Tentang Masa Berkabung )
Suatu ketika Hanzhalah, menemui Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. dan berkata, "Abu Bakar, saya melihat keadaanku sebagaimana keadaan orang munafik." Abu bakar menjawab, "Mengapa?" Hanzhalah berkata, "Bukankan ketika bersama Rasulullah ruh kita menjadi lembut dan jiwa kita meningkat, tetapi jika kita meninggalkan beliau keadaan menjadi berubah-ubah?" Maka Abu Bakar berkata, "Marilah kita datang kepada Rasulullah SAW!" Nabi SAW bersabda, "Andaikata keadaanmu sebagaimana ketika di hadapanku, nsicaya para malaikat akan menjabat tanganmu. Tetapi, sewaktu-waktu."
Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya iman seseorang di antara kalian akan kusut (lusuh) di dalam batinnya sebagaimana kusutnya pakaian, maka mohonlah kepada Allah agar Dia memperbaharui iman di dalam hati kalian." [HR Thabrani dan Hakim]
(Baca juga : NU Ajak Umat Islam Ajukan Judicial Review Omnibus Law Ciptaker ke MK )
..Jika iman itu memang perlu diperbaharui, kata Syaikh Sa'id Hawwa, bagaimana dengan hati yang lalai, bagaimana dengan hati yang penuh kegelapan, bagaimana dengan hati yang penuh godaan dan bisikan (hawa nafsu dan setan), bagaiaman dengan hati yang bingung, bagaimana dengan hati yang gelisah dan kacau, bagaimana dengan hati yang bimbang dan bagaimana dengan kalbu yang kalah pada nafsu syahwat?
Itu semua jelas membutuhkan latihan-latihan ruhaniah yang intensif dengan aneka program atau kegiatan ruhaniah, bila semua kondisi spiritual yang rendah ingin ditinggalkan dan dilampauinya.
(Baca juga : Percepatan Tanam dan Food Estate Perkuat Kebijakan Ketahanan Pangan )
Menurut Abu 'Izzuddin, langkah minimal seorang mukminah dalam mentazkiyah dirinya adalah dengan mengamalkan wirid harian berupa bacaan Al-Qur'an, mengingat hari akhir, melaksanakan ibadah-ibadah sunnah, berpuasa sehari sesudah satu pekan, bepuasa dengan lidah dan hati, menyempurnakan shalat dengan tepat pada waktunya dan berjamaah, terus-menerus selalu berniat juhad dan senantiasa memperbaharui taubat.
Apabila seorang mukmin bersih hatinya, maka ia akan senantiasa rindu melaksanakan amal salih, kemudian meningkatkannya, baik secara kualitas maupun kuantitasnya. Sebagaimana dalam petikan Sirah Rasulullah SAW,
Abdullah bin Mas'ud ra. berkata, "Aku pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, 'Wahai Rasulullah, apakah pekerjaan yang paling afdhal (mulia)?" Beliau menjawab, "Salat tepat pada waktunya" Aku bertanya, 'Kemudian apa lagi?' Beliau menjawab, 'Berbuat baik kepada orang tua' Aku bertanya, 'Kemudian apa lagi?' Beliau menjawab, 'Jihad fi sabilillah' Kemudian aku tidak bertanya lagi kepada Rasulullah SAW. Andaikata aku meminta tambahan lagi, tentu beliau akan menambahi lagi." [HR Bukhari]
(Baca juga : Sindikat Upal di Jawa Barat Cetak Rp24 Miliar Selama Dua Tahun )
Dari kalangan shahabiyah pun tidak ingin ketinggalan dalam mengambil peran dirinya bagi tegaknya Islam. Dari Aisyah radhiyallahu;anha, ia bertanya, "Wahai Rasulullah, jihad terlihat oleh kami sebagai amal yang paling mulia. Apakah kami (para wanita) tidak berkewajiban berjihad? Beliau menjawab, "Tapi jihad yang mulia adalah haji mabrur."
Di dalam menginfakkan hartanya di jalan Allah, para sahabat saling berprestasi menjadi yang terbaik. Dari Zaid bin Aslam, dari ayahnya, ia berkata, "Saya pernah mendengar Umar bin Khattab radhiyallahu'anhu berkata, 'Pada suatu hari rasulullah SAW memerintahkan agar kami mengeluarkan sedekah. Kebetulan saat itu saya memiliki harta. Saya berkata, 'Pada hari ini tentu aku dapat mengalahkan Abu Bakar.' Lalu aku membawa separo hartaku. Nabi SAW bertanya, 'Apa yang kamu sisakan bagi keluargamu?' Saya menjawab, 'Separonya lagi.' Lalu Abu Bakar datang dengan membawa semua hartanya. Nabi bertanya, 'Apa yang kamu sisakan bagi keluargamu?' Abu Bakar menjawab, 'Saya menyisakan kepada mereka Allah dan Rasul-Nya.' Saya berkata, 'Saya sama sekali tidak bisa mengalahkan Abu Bakar dalam urusan apapun."
(Baca juga : Duh, Anak Muda dan Pendidikan Rendah Dominasi Pengangguran di Indonesia )
Muslimah, begitulah dakwah Islam dengan tazkiyah sebagai pilarnya. Ia senantiasa berurusan dengan hati manusia, karena darinyalah anggota tubuh yang lain 'hidup' dan 'dihidupkan'
Firman Allah Ta'ala :
قَدْ أَفْلَحَ مَن تَزَكَّىٰ
"Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman)" (QS Al A'la : 14)
dan ayat
وَذَكَرَ ٱسْمَ رَبِّهِۦ فَصَلَّىٰ
"Dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang." (QS Al-A'la : 15)
(Baca juga : Pergub DKI Soal PSBB Transisi Terbaru Tidak Mengatur Operasi Yustisi Masker )
Abu Bakar Al-Jazari dalam menafsirkan ayat di atas, mengatakan, "Barangsiapa yang mendapatkan taufiq dari Allah dan pertolongan-Nya, maka Dia menyucikannya". Artinya membersihkannya dengan iman dan amal salih dengan menjadikannya suci dari hal-hal yag mengotorinya, yakni kesyirikan dan maksiat-maksiat. Maka sungguh dia beruntung, dalam arti menang pada hari kiamat, selamat dalam neraka dan masuk surga. Karena fauz secara bahasa adalah selamat dari yang ditakuti dan menang bagi yang dicintai.
Wallahu A'lam
Sebenarnya bila kita perhatikan sesungguhnya tumbuhnya amal-amal dalam jiwa seseorang sangat tergantung pada kondisi kejiwaan yang melingkupinya. Orang yang sibuk, lelah, lemah, lesu bagaimana mungkin dapat melakukan amal lain dengan produktif? Apalagi orang yang miskin jiwanya, jauh dari suasana ruhani yang kondusif, jauh dari nasehat dan ayat-ayat Allah, bergaul dalam lingkungan yang tidak ada semangat keimanan dan keislaman?
(Baca juga : Ngidam Perempuan Hamil dalam Pandangan Syariat )
Abu 'Izzuddin dalam bukunya 'Melukis Hati Wanita (Tarbiyah Ruhiyah Wanita)' memaparkan, untuk menumbuhsuburkan amal saleh, tazkiyah sangat penting perannya dalam perikehidupan muslimah. Aspek terpenting dari proses tazkiyah adalah agar setiap mukmin memahami, menghayati, mengamalkan dan mendakwahkan Islam. Islam yang sempurna tidak cukup hanya 'dibanggakan' dari segi konseptual , tetapi lebih jauh dari itu, yaitu teraplikasi dalam amal saleh.
Apabila iman seorang kuat dan menanjak naik, maka akan mepengaruhi kualitas ibadahnya dan berpengaruh terhadap akhlaknya. Demikian juga sebaliknya, akhlak yang mulia akan menumbuhkan kualitas ibadah dan menyuburkan keimanan. Ini berarti antara iman, ibadah dan akhlak merupakan satu kesatuan yang tidak dapat berdiri sendiri dan tidak dapat dipisahkan, karena ketiga-tiganya saling mempengaruhi.
(Baca juga : Menjemput Keberkahan dengan Amalan-amalan di Pagi Hari )
Ibadah yang benar merupakan buah iman yang lurus, sedang akhlak mulia adalah buah dari iman dan ibadahnya. Maka para sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, Umar bin Khattab misalnya, sering mengajak para sahabat lain untuk menghidupkan majelis keimanan, "Marilah kita beriman sesaat, marilah kita beriman sesaat, marilah kita beriman sesaat."
Karena tabiat manusia ketika larut dalam aktifitas yang digelutinya, seolah jauh dari nilai-nilai iman. Tetapi begitu kembali dalam majelis zikir akan kembali mengingat ruh keimanan tersebut. Sebagaimana kisah Hanzhalah ra. bersama Abu Bakar radhiyallahu'anhu.
(Baca juga : Furai'ah binti Malik, Sang Penghapal Hadis Tentang Masa Berkabung )
Suatu ketika Hanzhalah, menemui Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. dan berkata, "Abu Bakar, saya melihat keadaanku sebagaimana keadaan orang munafik." Abu bakar menjawab, "Mengapa?" Hanzhalah berkata, "Bukankan ketika bersama Rasulullah ruh kita menjadi lembut dan jiwa kita meningkat, tetapi jika kita meninggalkan beliau keadaan menjadi berubah-ubah?" Maka Abu Bakar berkata, "Marilah kita datang kepada Rasulullah SAW!" Nabi SAW bersabda, "Andaikata keadaanmu sebagaimana ketika di hadapanku, nsicaya para malaikat akan menjabat tanganmu. Tetapi, sewaktu-waktu."
Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya iman seseorang di antara kalian akan kusut (lusuh) di dalam batinnya sebagaimana kusutnya pakaian, maka mohonlah kepada Allah agar Dia memperbaharui iman di dalam hati kalian." [HR Thabrani dan Hakim]
(Baca juga : NU Ajak Umat Islam Ajukan Judicial Review Omnibus Law Ciptaker ke MK )
..Jika iman itu memang perlu diperbaharui, kata Syaikh Sa'id Hawwa, bagaimana dengan hati yang lalai, bagaimana dengan hati yang penuh kegelapan, bagaimana dengan hati yang penuh godaan dan bisikan (hawa nafsu dan setan), bagaiaman dengan hati yang bingung, bagaimana dengan hati yang gelisah dan kacau, bagaimana dengan hati yang bimbang dan bagaimana dengan kalbu yang kalah pada nafsu syahwat?
Itu semua jelas membutuhkan latihan-latihan ruhaniah yang intensif dengan aneka program atau kegiatan ruhaniah, bila semua kondisi spiritual yang rendah ingin ditinggalkan dan dilampauinya.
(Baca juga : Percepatan Tanam dan Food Estate Perkuat Kebijakan Ketahanan Pangan )
Menurut Abu 'Izzuddin, langkah minimal seorang mukminah dalam mentazkiyah dirinya adalah dengan mengamalkan wirid harian berupa bacaan Al-Qur'an, mengingat hari akhir, melaksanakan ibadah-ibadah sunnah, berpuasa sehari sesudah satu pekan, bepuasa dengan lidah dan hati, menyempurnakan shalat dengan tepat pada waktunya dan berjamaah, terus-menerus selalu berniat juhad dan senantiasa memperbaharui taubat.
Apabila seorang mukmin bersih hatinya, maka ia akan senantiasa rindu melaksanakan amal salih, kemudian meningkatkannya, baik secara kualitas maupun kuantitasnya. Sebagaimana dalam petikan Sirah Rasulullah SAW,
Abdullah bin Mas'ud ra. berkata, "Aku pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, 'Wahai Rasulullah, apakah pekerjaan yang paling afdhal (mulia)?" Beliau menjawab, "Salat tepat pada waktunya" Aku bertanya, 'Kemudian apa lagi?' Beliau menjawab, 'Berbuat baik kepada orang tua' Aku bertanya, 'Kemudian apa lagi?' Beliau menjawab, 'Jihad fi sabilillah' Kemudian aku tidak bertanya lagi kepada Rasulullah SAW. Andaikata aku meminta tambahan lagi, tentu beliau akan menambahi lagi." [HR Bukhari]
(Baca juga : Sindikat Upal di Jawa Barat Cetak Rp24 Miliar Selama Dua Tahun )
Dari kalangan shahabiyah pun tidak ingin ketinggalan dalam mengambil peran dirinya bagi tegaknya Islam. Dari Aisyah radhiyallahu;anha, ia bertanya, "Wahai Rasulullah, jihad terlihat oleh kami sebagai amal yang paling mulia. Apakah kami (para wanita) tidak berkewajiban berjihad? Beliau menjawab, "Tapi jihad yang mulia adalah haji mabrur."
Di dalam menginfakkan hartanya di jalan Allah, para sahabat saling berprestasi menjadi yang terbaik. Dari Zaid bin Aslam, dari ayahnya, ia berkata, "Saya pernah mendengar Umar bin Khattab radhiyallahu'anhu berkata, 'Pada suatu hari rasulullah SAW memerintahkan agar kami mengeluarkan sedekah. Kebetulan saat itu saya memiliki harta. Saya berkata, 'Pada hari ini tentu aku dapat mengalahkan Abu Bakar.' Lalu aku membawa separo hartaku. Nabi SAW bertanya, 'Apa yang kamu sisakan bagi keluargamu?' Saya menjawab, 'Separonya lagi.' Lalu Abu Bakar datang dengan membawa semua hartanya. Nabi bertanya, 'Apa yang kamu sisakan bagi keluargamu?' Abu Bakar menjawab, 'Saya menyisakan kepada mereka Allah dan Rasul-Nya.' Saya berkata, 'Saya sama sekali tidak bisa mengalahkan Abu Bakar dalam urusan apapun."
(Baca juga : Duh, Anak Muda dan Pendidikan Rendah Dominasi Pengangguran di Indonesia )
Muslimah, begitulah dakwah Islam dengan tazkiyah sebagai pilarnya. Ia senantiasa berurusan dengan hati manusia, karena darinyalah anggota tubuh yang lain 'hidup' dan 'dihidupkan'
Firman Allah Ta'ala :
قَدْ أَفْلَحَ مَن تَزَكَّىٰ
"Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman)" (QS Al A'la : 14)
dan ayat
وَذَكَرَ ٱسْمَ رَبِّهِۦ فَصَلَّىٰ
"Dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang." (QS Al-A'la : 15)
(Baca juga : Pergub DKI Soal PSBB Transisi Terbaru Tidak Mengatur Operasi Yustisi Masker )
Abu Bakar Al-Jazari dalam menafsirkan ayat di atas, mengatakan, "Barangsiapa yang mendapatkan taufiq dari Allah dan pertolongan-Nya, maka Dia menyucikannya". Artinya membersihkannya dengan iman dan amal salih dengan menjadikannya suci dari hal-hal yag mengotorinya, yakni kesyirikan dan maksiat-maksiat. Maka sungguh dia beruntung, dalam arti menang pada hari kiamat, selamat dalam neraka dan masuk surga. Karena fauz secara bahasa adalah selamat dari yang ditakuti dan menang bagi yang dicintai.
Wallahu A'lam
(wid)