Hafshah binti Umar, Penjaga Al-Qur'an yang Ahli Puasa dan Salat Malam

Jum'at, 30 Oktober 2020 - 12:34 WIB
loading...
Hafshah binti Umar,  Penjaga Al-Quran yang Ahli Puasa dan Salat Malam
Hafshah, ummul mukminin yang diamanahkan oleh Khalifah Abu Bakar untuk menjaga lembaran-lembaran Al-Quran yang telah berhasil dikumpulkan oleh Zaid bin Tsabit sampai dengan zaman Khalifah Utsman. Foto ilustrasi/ist
A A A
Hafshah adalah puteri Umar al-Khattab, sahabat Nabi SAW yang terkemuka. Pada suatu ketika, penduduk Quraisy dihebohkan dengan banjir besar yang menimpa Ka'bah , kemudian berlanjut dengan adanya ketegangan untuk meletakkan kembali Hajar Al Aswad pada tempat semula.

Rasulullah Shallalahu alaihi wa sallam hadir dengan penuh wibawa menjadi hakimnya . Peristiwa ini terjadi lima tahun sebelum kenabian. Di sekitar peristiwa itulah, Hafshah lahir di tengah keluarga yang penuh kemuliaan .

(Baca juga : Aisyah Al-Humaira, Obat dari Atas Langit yang Ketujuh )

Sejak kecil, menekuni ilmu sastra. Belajar membaca dan menulis, berguru kepada Syifa’ binti Abdullah Al-Quraisyiyah Al-A’dawiyah. Kesungguhannya dalam belajar, menjadikan dirinya di antara perempuan Quraisy, orang yang paling fasih berbicara, bersenikan sastra indah . Keislaman ayahandanya, Umar Al Faruq, membawa berkat yang besar kepada seluruh umat Islam terlebih lagi di dalam keluarganya. Abdullah bin Mas’ud berkata, “Kami tidak dapat salat di depan Ka'bah kecuali setelah Islamnya Umar.” (Riwayat Ibnu Saad, dan Hakim). Hafsah tumbuh dibawah didikan salah seorang sahabat kesayangan Nabi itu.

Dinukil dari Kitab "Nisaa' Haular Rasul' karya Mahmud Mahdi Al Istanbuli dan Mushafa Abu Nashr Asy Syalabi, dikisahkan jauh sebelum menjadi istri Nabi SAW, Hafshah lebih dulu dipinang Khunais bin Hudzafah (saudara Abdullah bin Hudzafah ra) merupakan salah seorang sahabat pertama yang masuk Islam. Keislamannya bermula sebelum Rasulullah Shallahu’alaihi wa sallam menjadikan rumah Al-Arqam bin Abi Al-Arqam sebagai pusat gerakan Islam. Abu Bakr ash-Shidiq yang menjadi perantara hidayah buatnya.

(Baca juga : Bersifat Lemah Lembut Ciri Pengikut Rasulullah )

Khunais meminang Hafshah yang sedang mekar meniti usia remaja. Umar menerima baik lamaran atas puterinya. Hafsah juga senang dengannya. Cinta Hafshah dan Khunais lalu bersatu. Mereka hidup bahagia dalam manisnya keimanan dan ibadah kepada Allah azza wa jalla.

Kemudian peristiwa penentangan musyrikin Makkah semakin menjadi-jadi. Kekejaman berlaku di mana-mana. Suami Hafsah terpaksa ikut berhijrah ke Habasyah. Namun, hatinya tetap di Makkah. Tatkala kembali lagi ke Makkah, membawa isteri tercinta hijrah ke Madinah, menyahut seruan Rasulullah Shallahu‘alaihi wa sallam. Mereka hidup lebih tenang berdampingan dengan golongan Anshar yang sangat penolong sifatnya.

Dakwah Islam menuntut pengorbanan. Panggilan jihad di medan Badr menguji keimanan. Hafsah dengan rela hati meneguhkan suami tercinta agar menyahut seruan itu. Dalam doa Khunais, syahid menjadi cita-cita teragung. Pahlawan Badr itu berperang gagah. Seiring doa Hafshah. Khunais terus setia bertempur sehingga Islam mengangkat panji kemenangan.

(Baca juga : Saudah binti Zam'ah : Memiliki Kekuatan Jiwa yang Luar Biasa )

Hafshah menanti-nanti kepulangan perwiranya. Bersyukur suaminya kembali. Namun, kepulang Khunais membawa cedera yang parah. Hidupnya tidak lama, sebelum kesyahidan menjemput. Rasulullah Shallahu‘alaihi wa sallam menguburkannya di Baqi’, berdampingan dengan kubur Ustman bin Mazh’un. Hafsah menangis sedih namun ridha. Usianya masih muda saat itu, sekitar 18 tahun, kepergian sang kekasih hati menjadi sebuah ujian yang menyakitkan. Tabah Hafshah menerima ketentuan. Banyak kaum kerabat dan sahabat bersimpati terutama Umar, ayahanda Hafshah.

Dianugerahi Suami yang Jauh Lebih Baik

Sesak jiwa Umar melihat putrinya dirundung pilu. Sebagai ayah, dia tidak ingin kematian menantunya turut mematikan keceriaan Hafsah. Al Faruq bertekad mencari pengganti. Lalu dengan harapan besar, menawarkan putrinya kepada Abu Bakar. Sahabat kesayangan Rasulullah Shallahu‘alaihi wa sallam itu diam seribu bahasa. Terlihat dari aura wajah, sang ayah yang menghendaki kebahagiaan anak ini, tahu Abu Bakr keberatan.

(Baca juga : Ketempelan Resesi, Ekonomi RI Diprediksi -1,7 Persen di 2020 )

Tak berputus asa, berlanjut perjalanan menemui Utsman ibnu Affan. Diutarakan niat mulia itu. Namun sekali lagi, hatinya harus menelan kekecewaan. “Saya belum bersedia menikah dengan siapapun saat ini,” jawabnya.

Sebagai menantu Rasulullah Shallahu‘alaihi wa sallam, Utsman adalah lelaki yang setia hanya kepada seorang istri. Istrinya bernama Ruqayyah merupakan putri Rasulullah Shallahu‘alaihi wa sallam. Beliau Shallahu‘alaihi wa sallam tidak merelakan putri-putrinya dimadu selagi masih hidup. Demikian kasih sayang seorang ayah yang memahami betapa berat hidup bermadu yang bisa membawa agama seseorang perempuan kepada ujian. Sehingga dalam Islam, poligami itu rukhsah (keringanan) bila ada keperluan mendesak, bukanlah anjuran agama. Apabila Ruqayyah meninggal, Utsman masih rela sendiri.

Ditolak dua orang sahabat membuat Umar RA sakit hati. Diadukan kesedihannya kepada Rasulullah Shallahu‘alaihi wa sallam. Beliau Shallahu‘alaihi wa sallam menghiburnya, “Hafsah akan menikah dengan orang yang lebih baik daripada Utsman. Demikian pula Utsman akan bernikah dengan perempuan yang lebih baik daripada Hafshah.”

(Baca juga : IDI Ingatkan Pemberian Vaksin Covid-19 Tidak Boleh Tergesa-gesa )

Tidak lama, Hafshah dipinang oleh Rasulullah Shallahu‘alaihi wa sallam. Umar menikahkan puterinya dengan suka cita. (HR Bukhari). Sementara, Rasulullah menikahkan Utsman dengan puterinya Ummu Kultsum, setelah kepergian Ruqayyah.

Hafshah dimuliakan sebagai Ummul Mukminin pada tahun ke-3 hijriah, sebelum Perang Uhud. Rasulullah memberinya mahar sebanyak 400 dirham. Kesedihan Hafsah terobati karena Allah menggantinya dengan anugerah suami terbaik di dunia. Itulah balasan indah bagi insan yang tabah mengarungi ujian hidup.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3007 seconds (0.1#10.140)