Salat Sembari Menggendong Si Buah Hati, Batal atau Tidak?

Jum'at, 06 November 2020 - 17:04 WIB
loading...
Salat Sembari Menggendong Si Buah Hati,  Batal atau Tidak?
Ilustrasi/Ist
A A A
Allah Ta'ala memerintahkan umat Islam agar senantiasa mengerjakan ibadah salat dengan khusyuk. Karena, hanya mereka yang khusyuk-lah yang akan mendapat keberkahan dan keberuntungan dari Allah SWT. Sungguh, beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) mereka yang khusyuk (dalam shalatnya). (Al-Mu'minun [23]: 1-2).

Menurut Syekh ‘Ala’uddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi dalam kitab Tafsir al-Khazin, khusyuk dalam salat adalah menyatukan konsentrasi dan berpaling dari selain Allah serta merenungkan semua yang diucapkannya, baik berupa bacaan Alquran ataupun zikir.

Hanya saja, saat salat seringkali kita "diganggu" si buah hati yang masih balita. Si kecil itu kadang naik ke punggung saat kita sujud . Lalu, apakah salat menjadi batal ketika lakukan sembari menggendong anak tercinta? ( )

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ الأَنْصَارِيِّ :أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي وَهُوَ حَامِلٌ أُمَامَةَ بِنْتَ زَيْنَبَ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلِأَبِي العَاصِ بْنِ رَبِيعَةَ بْنِ عَبْدِ شَمْسٍ فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَهَا، وَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا

Dari Abu Qatadah Al-Anshari: Bahwa Rasulullah SAW pernah salat sambil menggendong Umamah binti Zainab binti Rasulullah, dan menurut Abu-l-ash bin Rabi’ah bin Abdi Syams dikatakan: Apabila beliau akan sujud maka diletakkan, dan apabila berdiri digendong lagi (HR. Bukhari)

Firman Arifandi dari Rumah Fiqih Indonesia juga menyebut Rasulullah SAW pernah berjalan membuka pintu, melepas sandalnya, menggendong dan meletakkan cucunya, hingga memindahkan orang dari samping kiri ke kanan beliau saat salat. ( )

Ada banyak riwayat yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW juga kerap melakukan gerakan tertentu saat salat yang bukan bagian dari rukun, diantaranya:

Membuka pintu saat salat:

عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: اسْتَفْتَحْتُ الْبَابَ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي تَطَوُّعًا وَالْبَابُ عَلَى الْقِبْلَةِ فَمَشَى عَنْ يَمِينِهِ أَوْ عَنْ يَسَارِهِ، فَفَتَحَ الْبَابَ ثُمَّ رَجَعَ إِلَى مُصَلَّاهُ

Dari Urwah, dari Aisyah RA berkata: Aku meminta dibukakan pintu, sementara Rasulullah SAW sedang melakukan salat sunah dan pintu berada di arah kiblat. Kemudian beliau berjalanan ke kanan atau ke kirinya, lalu membuka pintu dan kembali ke tempat salatnya.” (HR. Nasai)

Melepas sandalnya saat salat berjamaah:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ، فَلَمَّا كَانَ فِي بَعْضِ صَلَاتِهِ خَلَعَ نَعْلَيْهِ، فَوَضَعَهُمَا عَنْ يَسَارِهِ، فَلَمَّا رَأَى النَّاسُ ذَلِكَ، خَلَعُوا نِعَالَهُمْ، فَلَمَّا قَضَى صَلَاتَهُ، قَالَ: مَا بَالُكُمْ أَلْقَيْتُمْ نِعَالَكُمْ؟ قَالُوا: رَأَيْنَاكَ أَلْقَيْتَ نَعْلَيْكَ، فَأَلْقَيْنَا نِعَالَنَا، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ جِبْرِيلَ أَتَانِي، فَأَخْبَرَنِي أَنَّ فِيهِمَا قَذَرًا - أَوْ قَالَ: أَذًى - فَأَلْقَيْتُهُمَا، فَإِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ، فَلْيَنْظُرْ فِي نَعْلَيْهِ، فَإِنْ رَأَى فِيهِمَا قَذَرًا - أَوْ قَالَ: أَذًى - فَلْيَمْسَحْهُمَا وَلْيُصَلِّ فِيهِمَا

Dari Abu Said Al-Khudry berkata: Rasulullah SAW shalat bersama kami pada suatu hari, maka di antara shalatnya beliau melepaskan sandalnya, kemudian meletakannya di sebelah kirinya, ketika orang-orang melihatnya, merekapun melepaskan sandalnya, dan ketika usai shalatnya, Rasulullahpun bertanya: “kenapa kalian melepas sandal kalian?” mereka menjawab: “kami melihatmu melepas sandalmu, maka kami lepas sandal kami. Kemudian Rasulullah SAW menjawab: sesungguhnya jibril telah datang kepadaku dan mengatakan kepadaku bahwa pada kedua sandalku ada kotoran, atau dikatakan: suatu bahaya, maka aku melepasnya, maka jika kalian masuk masjid, hendaknya melihat kepada sandalnya, jika melihat ada kotoran atau dikatakan: suatu bahaya, agar hendaknya dibersihkan dahulu baru shalat dengannya (HR. Ahmad)

Menyuruh membunuh Ular dan Kalajengking saat shalat:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِقَتْلِ الْأَسْوَدَيْنِ فِي الصَّلَاةِ: الْعَقْرَبِ وَالْحَيَّةِ

Dari Abu Hurairah : Sesungguhnya Rasulullah SAW menyuruh membunuh Aswadaini (dua binatang hitam) saat shalat: kalajengking dan ular (HR. Ahmad)

Memindahkan Ibnu Abbas dari sebelah kiri ke sebelah kanan beliau:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: بِتُّ عِنْدَ خَالَتِي، فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ، فَقُمْتُ أُصَلِّي مَعَهُ، فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ، فَأَخَذَ بِرَأْسِي، فَأَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ

Dari Ibnu Abbas, berkata: Aku bermalam di rumah bibiku, maka ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan salat malam, kemudian aku ikut salat bersama beliau. Aku berdiri di sebelah kiri beliau, lalu beliau memegang kepalaku dan memindahkanku ke sebelah kanan beliau (HR.Bukhari)

Menurut Firman, sejumlah riwayat di atas tidak lantas menjadi legitimasi kebolehan bergerak dalam salat sesuka kita, karena gerakan-gerakan yang dilakukan oleh baginda Rasulullah SAW hanyalah kondisional, saat mendesak, dan tidak dilakukan setiap waktu. ( )

Sementara itu, para ulama dari berbagai mazhab berpendapat nyaris sama dalam masalah tersebut.

Hanafiyah
Dalam menanggapi riwayat tentang digendongnya umamah oleh nabi saat salat, dikatakan oleh imam Ali bin Zakariya dalam Al-lubab fil jam’I bayna-s-sunnah wal kitab:

"Sesungguhnya ini untuk keadaan darurat (mendesak) – dan sebaik-baiknya pesan yang diambil dari hadis ini adalah kebolehan gerakan yang banyak dalam salat apabila dilakukan berkali-kali, tapi di setiap gerakan ada jeda dan tidak terus menerus (berlanjut tanpa jeda)."

Selanjutnya ditambahkan oleh imam Al-Kasani dalam menjelaskan hadis kebolehan membunuh ular dan kalajengking dan korelasinya dengan gerakan yang membatalkan salat di kitabnya Badai’u-s-shana’i:

Dan di antaranya (yang membatalkan salat) adalah aktivitas yang banyak yang bukan dari aktivitas salat ketika salat tanpa adanya unsur yang mendesak atau darurat, sedangkan aktivitas yang sedikit maka tidak membatalkan salat.

Ulama Hanafiah berbeda pendapat dalam batasan detail antara aktivitas yang banyak dan sedikit, di antara mereka berkata: gerakan yang banyak adalah yang membutuhkan dua tangan dan gerakan sedikit adalah yang tidak demikian, hingga mereka mencontohkan apabila seseorang mengancing bajunya, maka batal salatnya, dan apabila membenarkan posisi sarung atau kainnya (dengan satu tangan) maka salatnya tidak batal.

Dan sebagian yang lain berkata, setiap aktivitas yang dilihat dari jauh dan tidak diragukan tampak seperti bukan aktivitas salat, maka dikategorikan sebagai gerakan yang banyak, namun jika dilihat dari jauh masih nampak seperti orang salat maka gerakan itu masih dianggap sedikit, dan inilah pendapat yang benar.

Dan dari sini tidak termasuk (keringanan) apabila seseorang membunuh di tengah-tengah salatnya tanpa keadaan ketakutan, dan itu membatalkan salatnya karena termasuk kepada gerakan yang banyak di luar gerakan salat.

Dari dua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa gerakan yang membatalkan salat dalam pandangan mazhab Hanafi adalah gerakan yang banyak tanpa adanya unsur darurat, yang dilakukan berkali-kali tanpa jeda, dan terlihat sudah tidak seperti sedang salat. ( )

Malikiyyah
Mazhab Malikiyyah berpendapat gerakan di luar salat yang banyak akan membatalkan salat baik itu dalam keadaan sadar atau tidak sengaja.

Imam As-Shawi dalam Balaghatu-s-salik li Aqrabi-l-masalik menjelaskan matan syarah shogir Imam Dardir mengatakan:

Dan salat itu batal dengan gerakan yang banyak seperti menggaruk atau menggosok badan, mengelus-elus jenggot, meletakkan selendang di atas bahu, dan mencegah orang yang berjalan dan isyarat dengan tangan, maka sedikit dari gerakan di luar salat tidak membatalkannya seperti isyarat, menggaruk sedikit bagian kulit, sedangkan gerakan yang setengah-setengah antara sedikit dan banyak, seperti berpindah dari tempat salat, maka batal salatnya jika dilakukan sengaja dan dimaafkan bila dilakukan tanpa sengaja.

Dan perkataannya (Imam Dardir): seperti menggaruk seluruh badan, maka membatalkan salatnya, yakni apabila gerakannya banyak meski dilakukan tanpa sadar, dan gerakan yang banyak menurut kami yaitu yang tersirat bagi setiap orang yang melihatnya bahwa orang tersebut seperti sedang tidak salat.

Secara prinsip, Ijtihad Malikiyah terhadap gerakan yang membatalkan salat sama dengan definisi yang dihadirkan oleh mazhab Hanafiyah.

Syafi’iyyah
Imam Juwaini atau yang dikenal dengan imamul Haramain dari mazhab Syafiiyah berpendapat bahwa gerakan Rasulullah SAW memindahkan Ibnu Abbas RA dari kiri ke kanan saat salat sebagai gerakan yang sedikit dan tidak membatalkan salat, dikatakan dalam kitabnya Nihayatul Matlab:

"Gerakan yang banyak dalam bentuk yang berkelanjutan dan terus menerus secara sengaja – membatalkan salat. Dan dalil bahwa gerakan yang sedikit tidak membatalkan salat bahwa Nabi SAW memegang telinga Ibnu Abbas, kemudian memindahkannya dari kiri ke sebelah kanan beliau."

Lalu dijelaskan tentang batasannya: Apabila dikatakan apakah ada ketentuan tentang perbedaan antara gerakan yang banyak dan sedikit? Kami berpendapat: tidak diragukan bahwa hal tersebut dikembalikan kepada urf (kebiasaan) dan sekitarnya, dan tidak ada kepastian tentang ketentuan batasan dan kadar hal tersebut, dan sesungguhnya gerakan di luar salat bersifat asumtif, sementara menentukan batasan pada perkara yang asumtif adalah tidak mungkin

Kemudian imam Nawawi dalam kitabnya Imam Nawawi. Raudhatu-t-thalibin wa umdatu-l-muftiin menerangkan lebih rinci tentang sedikit dan banyaknya gerakan di luar salat:

Kemudian secara Ijma (Syafi’iyah) disebutkan bahwa gerakan yang banyak dapat membatalkan salat apabila dilakukan secara berturut-turut. Namun apabila berjarak seperti jika melangkah kemudian dalam durasi tertentu melangkah lagi, atau tiap dua langkah ada jeda, maka pendapat kami: hal tersebut adalah gerak yang sedikit.

Dan apabila berulang-ulang hingga banyak, tidak berpengaruh sama sekali. Dan batasan pembedanya adalah diulangnya gerakan kedua setelah jeda dari gerakan pertama. Dikatakan dalam kitab tahdzib, menurutku jeda antara dua gerakan adalah seperti satu rakaat.

Kemudian yang dimaksud dengan satu gerakan yang tak membatalkan adalah yang tidak keterlaluan, seperti melompat yang keterlaluan maka membatalkan secara mutlak.

Demikian juga dikatakan, tiga gerakan yang berturut-turut dapat membatalkan salat. Dimaksudkan di sini seperti melangkah dan sejenisnya.

Sedangkan gerakan ringan seperti menggerakkan jari dalam tasbih, menggaruk, maka yang benar adalah: hal tersebut tidak berpengaruh (tidak membatalkan) meskipun banyak dan berturut-turut.

Dipahami dari mazhab ini bahwa kadar gerakan sedikit dan banyak yang dilakukan di luar gerakan salat dikembalikan kepada urf atau kebiasaan yang difahami masyarakat.
Melakukan gerakan badan yang berturut-turut dapat membatalkan salat karena dalam pemahaman secara urf dianggap sebagai gerakan yang banyak, begitupula dengan gerakan tiga kali tanpa jeda sepanjang satu rakaat dianggap batal karena dikategorikan sebagai gerakan yang banyak secara urf masyarakat.

Sementara gerakan ringan seperti menggaruk-garuk badan tidak dianggap sebagai hal yang membatalkan, namun tetap dipandang makruh.

Hanabilah
Mazhab ini tidak jauh berbeda dengan mazhab Syafi’iyah, karena mengembalikan kadar banyak dan sedikit kepada urf, serta menerangkan detail setelahnya, seperti yang dipaparkan Hasan bin Ibrahim Al-Khalil dalam Syarhu Zadi-l-Mustaqni:

"Hukum gerakan yang banyak, maka jika lama gerakanya dalam pandangan urf, tanpa ada unsur darurat dan tanpa jeda, maka batal salatnya".

Kemudian dijelaskan rinci lagi, disyaratkan dalam gerakan banyak yang membatalkan salat adalah gerakan yang terus-menerus, maka jika terjadi dengan jeda durasi tertentu, tidak akan membatalkan salat, bahkan jika kita berasumsi bahwa gerakan tersebut dikumpulkan maka akan menjadi gerakan yang sangat banyak, tetap salatnya tidak batal.

Dan dalil atas hal ini, telah disebutkan bahwa Nabi SAW menggendong Umamah dan gerakan ini bila dikumpulkan dan digabungkan masing-masingnya maka akan menjadi gerakan yang banyak di mana beliau meletakkanya di setiap rakaat dan menggendongnya kembali dalam rakaat yang lain.

Berbeda-beda
Ternyata para ulama dalam menyimpulkan riwayat tentang gerakan Nabi SAW di luar gerakan salat berbeda-beda. Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa apabila orang lain melihat gerakan tersebut sudah tidak seperti kondisi orang salat maka batal salatnya.

Kemudian Syafi’iyah dan Hanabilah mengembalikan banyaknya gerakan yang dianggap batal kepada urf masyarakat, di mana gerakan berat yang dilakukan tiga kali berturut-turut secara urf dianggap sebagai gerakan yang banyak dan membatalkan salat, berbeda dengan gerakan yang memakai jeda.

Sekalipun berbeda kesimpulan, kedua pendapat di atas cukup mempunyai korelasi erat di mana keduanya sama-sama menitik beratkan kepada gerakan yang dilakukan di luar gerakan salat, tidak dalam kondisi darurat, dilakukan terus-menerus tanpa jeda, dan bukan gerakan yang ringan. Wallahu'alam
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2968 seconds (0.1#10.140)