Mu'adzah binti Abdillah, Perempuan yang Selalu Menghidupkan Salat Malam
loading...
A
A
A
Dia seorang tabi’iyah . Namanya Mu’adzah bintu Abdillah Al-’Adawiyyah Al-Bashriyyah rahimahallah. Dikenal sebagai seorang perempuan ahli ibadah pada masanya. Tak jarang ia dipanggil Ummu Sahba. Mu’adzah juga dikenal sebagai sosok perempuan yang terpercaya, cerdas, berilmu dan senantiasa beribadah kepada Allah.
Dia mengambil hadis Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dari ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Aisyah Ummul Mukminin, Hisyam bin ‘Amir Al-Anshari, dan Ummu ‘Amr bintu ‘Abdillah bin Az-Zubair. Sederet ulama meriwayatkan hadis darinya.
(Baca juga : Kenikmatan dan Kebahagiaan Ketika Sakit )
Al-Imam Yahya bin Ma’in rahimahullah menyatakan bahwa Mu’adzah adalah seorang yang tsiqah (terpercaya) hujjah, mengisyaratkan akan kekokohan riwayatnya. Hadis yang diriwayatkannya adalah hadis-hadis yang dapat menjadi hujjah, termaktub dalam kitab-kitab yang mengumpulkan hadis-hadis shahih. Mu'adzah telah mendapatkan cakupan besar dalam upaya pembelajaran ilmu agama, spiritual, dan ibadah yang ia hasilkan dari para pembela Al-Qur’an dan hadis Nabi SAW.
Dikutip dari buku 'Kisah 101 Tabi'in' dan sumber 'Siyar A’lam an-Nubala’:Adz-Dzahabi', digambarkan bahwa dalam kesehariannya, Mu'adzah sangat gemar membaca Al-Qur’an di waktu subuh hari dengan disaksikan oleh para malaikat. Ia selalu membaca Al-Qur’an di pagi dan sore hari. Hatinya selalu mengalunkan zikir pada Allah Subhanahu wa ta'ala. Tak ada sesuatu pun yang menyibukkannya dari rutinitas ini hingga hari pernikahannya.
Suami Muadzah al-Adawiyyah adalah Shilah bin Asyyam Abu ash-Shahba al-Adawi al-Bashri yang juga merupakan salah seorang tabi’in terhormat, pemimpin teladan, pemilik kemuliaan, zuhud dan rajin beribadah. Kedua suami istri ini adalah lautan ilmu dan fiqh, sikap wara’ dan zuhud.
(Baca juga : Tips Cantik yang Membuat Para Istri Disayang Suami )
Pernikahannya menyisakan cerita yang menyentuh hati karena didalamnya ada kebaikan tutur kata yang terpatri dalam kenangan masyarakat saat itu. Dari situ mereka menularkannya kepada orang lain agar senantiasa abadi hingga waktu yang Allah kehendaki.
Saat hari pernikahan Muadzah al-Adawiyyah, saat ia diserahkan pada suaminya Shilah bin Asyyam, keponakan Shilah datang dan mengajaknya masuk ke kamar kemudian mendandaninya dengan pakaian terbaik lalu mengantarkannya di rumah yang penuh dengan aroma wangi, memancarkan sebaik-baik minyak wangi.
Setelah suami istri itu bersama-sama dalam satu rumah, Shilah mengucapkan salam kepada Muadzah. Kemudian berdiri untuk salat, lalu Muadzah pun berdiri mengikutinya salat. Keduanya larut dalam salat. Kaeduanya masih salat hingga tiang-tiang fajar menyongsong keduanya. Subuh datang mengendus, keduanya lupa bahwa mereka berada dalam malam pengantin.
(Baca juga : Orang-orang yang Dibenci Allah Ta'ala )
Keesokan harinya, ia didatangi lagi oleh keponakannya untuk memeriksa keadaannya. Akhirnya ia tahu bahwa ia habiskan waktu untuk salat sampai subuh menampakan dirinya. Ia pun berkata pada pamannya itu,”Wahai pamanku, putri pamanmu telah diserahkan padamu tadi malam. Lalu engkau melaksanakan salat dan membiarkannya?”
Shilah menjawab,”Wahai keponakanku! Sesungguhnya engkau telah memasukan diriku kemarin disebuah rumah yang engkau ingatkan aku pada neraka. Kemudian engkau masukkan aku ke sebuah rumah yang engkau ingatkan aku pada surga. Dan pikiranku itu terus menerus ada pada keduanya hingga keesokan hari.”
Dalam suasana seperti ini, Mu'adzah dan suaminya meneruskan kehidupannya dalam rangka mencari keridhaan Allah SWT. Mu'adzah telah melukiskan gambaran hidup tentang ibadah suaminya. Ia berkata,” Abu ash-Shahba’ selalu salat hingga tak mampu datang ke tempat tidurnya kecuali dengan merangkak.”
(Baca juga : Waskita Karya Sukses Kantongi Kontrak Baru Senilai Rp15 Triliun )
Ibnu Syaudzab menceritakan, Muadzah al-Adawiyyah berkata, Shilah tidak pulang dari masjid rumahnya menuju ke tempat tidurnya kecuali dengan merangkak. Ia berdiri hingga tak tegak lagi dalam salat.
Lain waktu, Muadzah mengomentari suaminya ketika bersama teman-temannya. ”Apabila Shilah dan teman-temannya bertemu, mereka saling berpelukan satu sama lain.”
Ia mengambil teladan dari suaminya dalam hal ibadah hingga ia menjadi salah satu perempuan yang menjadi simbol dalam ibadah. Ia menjadi seorang mukmin yang ikhlas karena Allah. Mu'adzah adalah seorang perempuan yang beriman yang wara’, rajin beribadah dan bersikap zuhud. Ia menghidupkan semua malamnya untuk beribadah, sehingga sifat bijaksananya mengalir dari lisannya seperti aliran telaga yang bening.
(Baca juga : DPR Gandeng KPK Awasi Dana Otonomi Khusus )
Menghidupan Semua Malamnya untuk Salat
Kata-kata Mu'adzah menunjukan kefasihannya dalam bertutur kata, seni bahasa dan kemapanannya berbicara telah diabadikan. Di antara kata-katanya adalah,” Saya heran kepada mata yang tidur, padahal ia tahu betapa lamanya terpuruk dalam kegelapan kubur.”
Perkataannya tak pernah lepas dari nasihat dan peringatan tentang dunia. Ia pernah berkata kepada perempuan yang disusuinya,” Wahai anakku, jadikanlah pertemuan dengan Allah SWT dengan diiringi sikap waspada dan pengharapan. Sebab, saya melihat orang yang berharap mendapatkan hak dengan kebaikan tempat kembali di hari ia menghadapNya. Saya melihat orang yang takut mendapatkan angannya akan keselamatan di hari di mana orang-orang berdiri menghadap Tuhan semesta Alam.”
Ia pernah memperingatkan untuk tidak tertipu dan terfokus pada dunia. ”Saya temani dunia selama 70 tahun. Saya tak melihat ketenangan mata sama sekali didalamnya.”
(Baca juga : Dihantam Longsor, Jalan Nasional di Madina Lumpuh Total )
Mu'adzah telah menyerahkan dirinya untuk beribadah dan salat. Hampir tak tersisa waktu kecuali ia dalam kesiagaan dengan salatnya. Ia menghidupkan semua malamnya untuk salat, berzikir dan bertasbih. Ia melaksanakan salat pada setiap siang dan malam sebanyak 700 rakaat.
Ia membaca Al-Qur’an setiap malam. Allah menggambarkan perempuan-perempuan shalihah dalam firmanNya,
” Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).”(QS. An-Nisa:34) .
Perempuan yang memelihara diri dan harta saat suaminya tidak ada adalah nilai terbesar yang diidamkan dalam diri wanita. Mu'adzah al-Adawiyyah termasuk dalam golongan ini. Ketika datang malam, ia berkata, ”Ini adalah hari kematianku.”Ia tidak mau tidur.”
(Baca juga : PW Muhammadiyah Jatim Kritik Naskah Khutbah Jumat Kemenag, Ini Alasannya )
Ketika datang malam, ia berkata,”Ini adalah malam kematianku.” Maka ia tidak tidur hingga pagi. Lalu ketika dia tertidur, ia bangkit dan berlari dalam rumahnya dan mencela dirinya sendiri. Kemudian ia terus-menerus berkeliling hingga pagi karena takut kematian saat ia lengah dan tertidur.
Saat musim dingin datang menyerang, Muadzah sengaja mengenakan pakaian dengan bahan yang lebih tipis hingga udara dingin itu menghalanginya tertidur dan ia tidak bermalas-malasan dari beribadah dan berdoa. Dengan ditemani suaminya, ia bekerja keras untuk ibadah hingga keduanya menjadi perumpamaan.
Abu as-Siwar al-Adawi mengatakan,”Bani Adiy adalah komunitas yang paling keras berusaha. Inilah Abu ash-Shahba yang tak tidur malam hari dan tidak berbuka di siang hari. Inilah istrinya Mu'adzah binti Abdullah yang tak pernah mengangkat kepalanya ke langit selama 40 tahun.”
(Baca juga : Trump Menolak Menyerah Meski Proses Transisi Sudah Dimulai )
Di samping dikenal sebagai ahli ibadah, Mu'adzah juga dikenal sebagai seorang perempuan ahli fiqih dan alim. Yahya bin Ma’in mengomentari tentang dirinya, ” Mu'adzah seorang yang tsiqah dan menjadi hujjah.” Ibnu Hibban juga memasukannya dalam jajaran perawi tsiqah juga memberikan pujian kepadanya.
Pada tahun 62 H, suami dan anaknya menemui syahid di Sajistan. Saat berita sampai padanya, ia tak menampar muka atau merobek pakaian, tetapi sabar dan mengembalikannya kepada Allah. Banyak perempuan berkumpul di rumahnya untuk menyampaikan belasungkawa. Namun, Mu'adzah berkata kepada mereka,”Selamat datang kepada kalian jika kalian datang untuk menyampaikan ucapan selamat. Namun jika kalian datang bukan untuk tujuan tersebut, pulanglah.”
Para perempuan itu terkagum dengan kesabaran Mu'adzah. Mereka keluar dengan membicarakan kesabaran yang telah Allah berikan padanya. Peristiwa ini semakin menambah kedudukannya dan posisinya di mata mereka.
(Baca juga : Ibra Ngamuk Wajah dan Namanya Dipakai Game FIFA 21 tanpa Izin! )
Ummu al-Aswad binti Zaid al-Adawiyyah yang pernah disusui olehnya berkata,”Mu'adzah berkata kepadaku saat Abu ash-Shahba dan anaknya terbunuh,”Demi Allah, wahai putriku!Tidaklah kecintaanku untuk tetap tinggal di dunia untuk kesenangan hidup dan ketenangan jiwa. Tapi sungguh saya tidak suka tetap tinggal kecuali untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan berbagai cara. Semoga Allah mengumpulkan antara diriku dengan Abu ash-Shahba beserta anaknya di surga.
Mu'adzah mewujudkan perkataan ini dalam perbuatan. Tak ada malam yang ia lewati kecuali senantiasa berdoa kepada Tuhannya dengan perasaan takut dan berharap bertemu denganNya serta berangan-angan mendapatkan rahmatNya. Sejak suaminya syahid, ia tak lagi bersandar di kasur tidurnya hingga meninggal, karena khawatir merasakan kelembutan kasur hingga lupa dengan apa yang ia janjikan kepada Allah untuk senantiasa berdoa.
Dalam kitab Tahdzib at-Tahdzib, Ibnu hajar menuturkan kehormatan tertinggi bagi Mu'adzah yang menunjukan kedudukannya dalam ibadah. Ada seorang warga Bashrah mengatakan,”Saya mendatangi Mu'adzah, lalu Muadzah berkata,” Saya mengeluhkan perutku.”Ia telah memberikan resepnya dengan tuak guci. Maka, saya berikan kepadanya secangkir tuak itu dan saya letakkan, maka Mu'adzah berkata,’Ya Allah, seandainya Engkau mengetahu bahwa Aisyah memberikan hadis padaku, sesungguhnya Nabi SAW, melarang tuak guci maka cukupkanlah diriku dengan apa yang Engkau kehendaki.”
Ia menceritakan,”Maka cangkir itu dibalik dan menumpahkan tuak yang ada didalamnya. Lalu Allah menghilangkan rasa sakit diperutnya.
(Baca juga : Raffi Ahmad Kaget Wajah Ayahnya Juga Mirip Ayah Dimas Ramadhan, sang Kembaran )
Sepeninggal suaminya, Muadzah masih hidup lebih 20 tahun. Setiap hari yang ia lewati, senantiasa ia siapkan untuk bertemu dengan Allah SWT. Ia berharap dapat berkumpul kembali dengan suami dan anaknya dalam naungan kasih sayangNya.
Dikisahkan saat menjelang ajalnya, Muadzah menangis kemudian tertawa. Lalu ia ditanya,” Apa alasan untuk menangis dan apa alasan untuk tertawa?”
Ia menjawab,”Adapun tangisanku yang kalian lihat karena saya mengingat perpisahan dengan aktivitas puasa, salat dan zikir. Itulah tangisan tadi. Adapun senyuman dan tawa, karena saya melihat Abu ash-Shahba telah menyambutku di beranda rumah dengan dua kalung berwarna hijau. Dan ia bersama dalam rombongan. Sungguh saya tidak melihat mereka mempunyai kalung yang menyamainya. Maka saya tertawa.”
Itulah firasatnya. Ia wafat sebelum masuk waktu salat, pada tahun 83 H. Usai sudah lembaran hidup perempuan yang saleha dan rajin beribadah ini. Namun sejarah terus menebar keutamaannya agar menjadi teladan bagi para perempuan.
Wallahu A'lam
Dia mengambil hadis Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dari ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Aisyah Ummul Mukminin, Hisyam bin ‘Amir Al-Anshari, dan Ummu ‘Amr bintu ‘Abdillah bin Az-Zubair. Sederet ulama meriwayatkan hadis darinya.
(Baca juga : Kenikmatan dan Kebahagiaan Ketika Sakit )
Al-Imam Yahya bin Ma’in rahimahullah menyatakan bahwa Mu’adzah adalah seorang yang tsiqah (terpercaya) hujjah, mengisyaratkan akan kekokohan riwayatnya. Hadis yang diriwayatkannya adalah hadis-hadis yang dapat menjadi hujjah, termaktub dalam kitab-kitab yang mengumpulkan hadis-hadis shahih. Mu'adzah telah mendapatkan cakupan besar dalam upaya pembelajaran ilmu agama, spiritual, dan ibadah yang ia hasilkan dari para pembela Al-Qur’an dan hadis Nabi SAW.
Dikutip dari buku 'Kisah 101 Tabi'in' dan sumber 'Siyar A’lam an-Nubala’:Adz-Dzahabi', digambarkan bahwa dalam kesehariannya, Mu'adzah sangat gemar membaca Al-Qur’an di waktu subuh hari dengan disaksikan oleh para malaikat. Ia selalu membaca Al-Qur’an di pagi dan sore hari. Hatinya selalu mengalunkan zikir pada Allah Subhanahu wa ta'ala. Tak ada sesuatu pun yang menyibukkannya dari rutinitas ini hingga hari pernikahannya.
Suami Muadzah al-Adawiyyah adalah Shilah bin Asyyam Abu ash-Shahba al-Adawi al-Bashri yang juga merupakan salah seorang tabi’in terhormat, pemimpin teladan, pemilik kemuliaan, zuhud dan rajin beribadah. Kedua suami istri ini adalah lautan ilmu dan fiqh, sikap wara’ dan zuhud.
(Baca juga : Tips Cantik yang Membuat Para Istri Disayang Suami )
Pernikahannya menyisakan cerita yang menyentuh hati karena didalamnya ada kebaikan tutur kata yang terpatri dalam kenangan masyarakat saat itu. Dari situ mereka menularkannya kepada orang lain agar senantiasa abadi hingga waktu yang Allah kehendaki.
Saat hari pernikahan Muadzah al-Adawiyyah, saat ia diserahkan pada suaminya Shilah bin Asyyam, keponakan Shilah datang dan mengajaknya masuk ke kamar kemudian mendandaninya dengan pakaian terbaik lalu mengantarkannya di rumah yang penuh dengan aroma wangi, memancarkan sebaik-baik minyak wangi.
Setelah suami istri itu bersama-sama dalam satu rumah, Shilah mengucapkan salam kepada Muadzah. Kemudian berdiri untuk salat, lalu Muadzah pun berdiri mengikutinya salat. Keduanya larut dalam salat. Kaeduanya masih salat hingga tiang-tiang fajar menyongsong keduanya. Subuh datang mengendus, keduanya lupa bahwa mereka berada dalam malam pengantin.
(Baca juga : Orang-orang yang Dibenci Allah Ta'ala )
Keesokan harinya, ia didatangi lagi oleh keponakannya untuk memeriksa keadaannya. Akhirnya ia tahu bahwa ia habiskan waktu untuk salat sampai subuh menampakan dirinya. Ia pun berkata pada pamannya itu,”Wahai pamanku, putri pamanmu telah diserahkan padamu tadi malam. Lalu engkau melaksanakan salat dan membiarkannya?”
Shilah menjawab,”Wahai keponakanku! Sesungguhnya engkau telah memasukan diriku kemarin disebuah rumah yang engkau ingatkan aku pada neraka. Kemudian engkau masukkan aku ke sebuah rumah yang engkau ingatkan aku pada surga. Dan pikiranku itu terus menerus ada pada keduanya hingga keesokan hari.”
Dalam suasana seperti ini, Mu'adzah dan suaminya meneruskan kehidupannya dalam rangka mencari keridhaan Allah SWT. Mu'adzah telah melukiskan gambaran hidup tentang ibadah suaminya. Ia berkata,” Abu ash-Shahba’ selalu salat hingga tak mampu datang ke tempat tidurnya kecuali dengan merangkak.”
(Baca juga : Waskita Karya Sukses Kantongi Kontrak Baru Senilai Rp15 Triliun )
Ibnu Syaudzab menceritakan, Muadzah al-Adawiyyah berkata, Shilah tidak pulang dari masjid rumahnya menuju ke tempat tidurnya kecuali dengan merangkak. Ia berdiri hingga tak tegak lagi dalam salat.
Lain waktu, Muadzah mengomentari suaminya ketika bersama teman-temannya. ”Apabila Shilah dan teman-temannya bertemu, mereka saling berpelukan satu sama lain.”
Ia mengambil teladan dari suaminya dalam hal ibadah hingga ia menjadi salah satu perempuan yang menjadi simbol dalam ibadah. Ia menjadi seorang mukmin yang ikhlas karena Allah. Mu'adzah adalah seorang perempuan yang beriman yang wara’, rajin beribadah dan bersikap zuhud. Ia menghidupkan semua malamnya untuk beribadah, sehingga sifat bijaksananya mengalir dari lisannya seperti aliran telaga yang bening.
(Baca juga : DPR Gandeng KPK Awasi Dana Otonomi Khusus )
Menghidupan Semua Malamnya untuk Salat
Kata-kata Mu'adzah menunjukan kefasihannya dalam bertutur kata, seni bahasa dan kemapanannya berbicara telah diabadikan. Di antara kata-katanya adalah,” Saya heran kepada mata yang tidur, padahal ia tahu betapa lamanya terpuruk dalam kegelapan kubur.”
Perkataannya tak pernah lepas dari nasihat dan peringatan tentang dunia. Ia pernah berkata kepada perempuan yang disusuinya,” Wahai anakku, jadikanlah pertemuan dengan Allah SWT dengan diiringi sikap waspada dan pengharapan. Sebab, saya melihat orang yang berharap mendapatkan hak dengan kebaikan tempat kembali di hari ia menghadapNya. Saya melihat orang yang takut mendapatkan angannya akan keselamatan di hari di mana orang-orang berdiri menghadap Tuhan semesta Alam.”
Ia pernah memperingatkan untuk tidak tertipu dan terfokus pada dunia. ”Saya temani dunia selama 70 tahun. Saya tak melihat ketenangan mata sama sekali didalamnya.”
(Baca juga : Dihantam Longsor, Jalan Nasional di Madina Lumpuh Total )
Mu'adzah telah menyerahkan dirinya untuk beribadah dan salat. Hampir tak tersisa waktu kecuali ia dalam kesiagaan dengan salatnya. Ia menghidupkan semua malamnya untuk salat, berzikir dan bertasbih. Ia melaksanakan salat pada setiap siang dan malam sebanyak 700 rakaat.
Ia membaca Al-Qur’an setiap malam. Allah menggambarkan perempuan-perempuan shalihah dalam firmanNya,
” Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).”(QS. An-Nisa:34) .
Perempuan yang memelihara diri dan harta saat suaminya tidak ada adalah nilai terbesar yang diidamkan dalam diri wanita. Mu'adzah al-Adawiyyah termasuk dalam golongan ini. Ketika datang malam, ia berkata, ”Ini adalah hari kematianku.”Ia tidak mau tidur.”
(Baca juga : PW Muhammadiyah Jatim Kritik Naskah Khutbah Jumat Kemenag, Ini Alasannya )
Ketika datang malam, ia berkata,”Ini adalah malam kematianku.” Maka ia tidak tidur hingga pagi. Lalu ketika dia tertidur, ia bangkit dan berlari dalam rumahnya dan mencela dirinya sendiri. Kemudian ia terus-menerus berkeliling hingga pagi karena takut kematian saat ia lengah dan tertidur.
Saat musim dingin datang menyerang, Muadzah sengaja mengenakan pakaian dengan bahan yang lebih tipis hingga udara dingin itu menghalanginya tertidur dan ia tidak bermalas-malasan dari beribadah dan berdoa. Dengan ditemani suaminya, ia bekerja keras untuk ibadah hingga keduanya menjadi perumpamaan.
Abu as-Siwar al-Adawi mengatakan,”Bani Adiy adalah komunitas yang paling keras berusaha. Inilah Abu ash-Shahba yang tak tidur malam hari dan tidak berbuka di siang hari. Inilah istrinya Mu'adzah binti Abdullah yang tak pernah mengangkat kepalanya ke langit selama 40 tahun.”
(Baca juga : Trump Menolak Menyerah Meski Proses Transisi Sudah Dimulai )
Di samping dikenal sebagai ahli ibadah, Mu'adzah juga dikenal sebagai seorang perempuan ahli fiqih dan alim. Yahya bin Ma’in mengomentari tentang dirinya, ” Mu'adzah seorang yang tsiqah dan menjadi hujjah.” Ibnu Hibban juga memasukannya dalam jajaran perawi tsiqah juga memberikan pujian kepadanya.
Pada tahun 62 H, suami dan anaknya menemui syahid di Sajistan. Saat berita sampai padanya, ia tak menampar muka atau merobek pakaian, tetapi sabar dan mengembalikannya kepada Allah. Banyak perempuan berkumpul di rumahnya untuk menyampaikan belasungkawa. Namun, Mu'adzah berkata kepada mereka,”Selamat datang kepada kalian jika kalian datang untuk menyampaikan ucapan selamat. Namun jika kalian datang bukan untuk tujuan tersebut, pulanglah.”
Para perempuan itu terkagum dengan kesabaran Mu'adzah. Mereka keluar dengan membicarakan kesabaran yang telah Allah berikan padanya. Peristiwa ini semakin menambah kedudukannya dan posisinya di mata mereka.
(Baca juga : Ibra Ngamuk Wajah dan Namanya Dipakai Game FIFA 21 tanpa Izin! )
Ummu al-Aswad binti Zaid al-Adawiyyah yang pernah disusui olehnya berkata,”Mu'adzah berkata kepadaku saat Abu ash-Shahba dan anaknya terbunuh,”Demi Allah, wahai putriku!Tidaklah kecintaanku untuk tetap tinggal di dunia untuk kesenangan hidup dan ketenangan jiwa. Tapi sungguh saya tidak suka tetap tinggal kecuali untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan berbagai cara. Semoga Allah mengumpulkan antara diriku dengan Abu ash-Shahba beserta anaknya di surga.
Mu'adzah mewujudkan perkataan ini dalam perbuatan. Tak ada malam yang ia lewati kecuali senantiasa berdoa kepada Tuhannya dengan perasaan takut dan berharap bertemu denganNya serta berangan-angan mendapatkan rahmatNya. Sejak suaminya syahid, ia tak lagi bersandar di kasur tidurnya hingga meninggal, karena khawatir merasakan kelembutan kasur hingga lupa dengan apa yang ia janjikan kepada Allah untuk senantiasa berdoa.
Dalam kitab Tahdzib at-Tahdzib, Ibnu hajar menuturkan kehormatan tertinggi bagi Mu'adzah yang menunjukan kedudukannya dalam ibadah. Ada seorang warga Bashrah mengatakan,”Saya mendatangi Mu'adzah, lalu Muadzah berkata,” Saya mengeluhkan perutku.”Ia telah memberikan resepnya dengan tuak guci. Maka, saya berikan kepadanya secangkir tuak itu dan saya letakkan, maka Mu'adzah berkata,’Ya Allah, seandainya Engkau mengetahu bahwa Aisyah memberikan hadis padaku, sesungguhnya Nabi SAW, melarang tuak guci maka cukupkanlah diriku dengan apa yang Engkau kehendaki.”
Ia menceritakan,”Maka cangkir itu dibalik dan menumpahkan tuak yang ada didalamnya. Lalu Allah menghilangkan rasa sakit diperutnya.
(Baca juga : Raffi Ahmad Kaget Wajah Ayahnya Juga Mirip Ayah Dimas Ramadhan, sang Kembaran )
Sepeninggal suaminya, Muadzah masih hidup lebih 20 tahun. Setiap hari yang ia lewati, senantiasa ia siapkan untuk bertemu dengan Allah SWT. Ia berharap dapat berkumpul kembali dengan suami dan anaknya dalam naungan kasih sayangNya.
Dikisahkan saat menjelang ajalnya, Muadzah menangis kemudian tertawa. Lalu ia ditanya,” Apa alasan untuk menangis dan apa alasan untuk tertawa?”
Ia menjawab,”Adapun tangisanku yang kalian lihat karena saya mengingat perpisahan dengan aktivitas puasa, salat dan zikir. Itulah tangisan tadi. Adapun senyuman dan tawa, karena saya melihat Abu ash-Shahba telah menyambutku di beranda rumah dengan dua kalung berwarna hijau. Dan ia bersama dalam rombongan. Sungguh saya tidak melihat mereka mempunyai kalung yang menyamainya. Maka saya tertawa.”
Itulah firasatnya. Ia wafat sebelum masuk waktu salat, pada tahun 83 H. Usai sudah lembaran hidup perempuan yang saleha dan rajin beribadah ini. Namun sejarah terus menebar keutamaannya agar menjadi teladan bagi para perempuan.
Wallahu A'lam
(wid)