Zakat Harus Bermanfaat untuk Masyarakat Terdampak Covid-19

Rabu, 13 Mei 2020 - 07:45 WIB
loading...
Zakat Harus Bermanfaat untuk Masyarakat Terdampak Covid-19
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan zakat merupakan kewajiban setiap muslim untuk berbagi rezeki dan kebahagiaan dengan para penerima atau mustahik. Foto/Setpres
A A A
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan zakat merupakan kewajiban setiap muslim untuk berbagi rezeki dan kebahagiaan dengan para penerima atau mustahik. Dia berharap zakat yang dihimpun di bulan Ramadhan ini bisa bermanfaat bagi masyarakat di tengah pandemi Covid-19.

“Saya berharap dana zakat yang dihimpun Baznas dapat digunakan untuk membantu saudara-saudara kita yang mengalami kesulitan dampak dari pandemi Covid,” ujar Jokowi seusai menyerahkan zakat kepada Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) yang dilaksanakan secara online dan diterima langsung oleh Ketua Baznas Bambang Sudibyo.

Dia menyarankan para muzaki atau pemberi zakat untuk membayarkan zakat melalui Baznas supaya lebih aman, teratur, dan tepat penyalurannya. Dia juga berharap zakat yang dikeluarkan bisa menjadi penyempurna ibadah puasa yang dilaksanakan. “Semoga zakat yang kita keluarkan menyempurnakan ibadah puasa kita dan menyempurnakan ketaatan kita kepada Allah SWT,” ungkap mantan gubernur DKI Jakarta ini.

Usai Jokowi menyerahkan zakat, giliran Wakil Presiden Ma'ruf Amin juga melakukan hal serupa. Setelahnya, para menteri Kabinet Indonesia Maju dan peserta lain yang terhubung melalui telekonferensi tersebut turut membayarkan zakatnya masing-masing.

Zakat merupakan satu di antara fondasi agama Islam. Allah berfirman dalam Alquran: “Dan dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat. Dan, kebaikan apa saja yang kamu kerjakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya di sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Baqarah: 110)

Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Fachriyah Tangerang, Al-Habib Ahmad bin Novel Jindan menjelaskan seputar fikih zakat fitrah yang perlu diketahui masyarakat awam dan para panitia zakat. Satu di antaranya mengenai waktu menunaikan zakat fitrah.

Dia menjelaskan bahwa zakat fitrah wajib ditunaikan mulai dari terbenam matahari hari terakhir bulan Ramadhan. Walau demikian, zakat fitrah boleh ditunaikan sejak masuknya bulan Ramadhan.

“Saat yang paling tepat dan afdal adalah antara terbit fajar hari raya sampai salat Idul Fitri,” kata Habib Ahmad saat Daurah Fikih Zakat Fitrah di Ponpes Al-Fachriyah, Ciledug, Tangerang, belum lama ini.

Adapun menunaikannya setelah salat Idul Fitri sampai terbenam matahari hari raya hukumnya makruh. Apabila mengundurkannya hingga setelah terbenam matahari hari raya, maka hukumnya haram dan zakat fitrah tetap wajib ia tunaikan. (Baca: Rasulullah Membagi Manusia Menjadi 4 Kelompok, Apa Saja?)

Dia menjelaskan, ada delapan golongan yang berhak menerima zakat fitrah sebagaimana disebut dalam Alquran, Surah At-Taubah, ayat 60.

Pertama fakir. Orang yang tidak memiliki harta atau pekerjaan sama sekali, atau memiliki harta/pekerjaan yang tidak dapat menutupi setengah dari kebutuhannya.

Kedua miskin. Orang yang memiliki harta/pekerjaan yang hanya dapat menutupi di atas setengah dari kebutuhannya. Adapun yang dimaksud dengan kebutuhan tersebut di atas adalah kebutuhan primer yang sederhana. “Sehingga apabila harta/pekerjaannya tidak dapat menutupi setengah dari kebutuhan primernya yang sederhana, maka ia tergolong fakir. Dan, apabila dapat menutupi di atas setengah kebutuhan primernya yang sederhana, maka ia tergolong miskin,” tandas Habib Ahmad.

Kemudian ketiga adalah amil, yakni orang yang dilantik secara resmi oleh pemerintah untuk mengelola zakat. Amil hanya berhak menerima zakat apabila tidak mendapat gaji/upah dari pemerintah. Dan yang berhak mereka terima dari zakat hanyalah sekadar upah yang wajar. Apabila mereka menerima gaji/upah dari pemerintah, mereka tidak berhak menerima zakat. Adapun sebagian besar panitia zakat yang ada di masjid/musala, sekolah, majelis taklim, sebagaimana yang ada di masyarakat, mereka bukanlah amil yang dimaksud oleh syariah karena mereka tidak dilantik secara resmi oleh pemerintah. Status mereka hanyalah wakil/perantara dari orang yang berzakat. (Baca juga: Anjuran Memperbanyak Amalan di 10 Hari Terakhir Ramadhan)

Golongan keempat yang berkah menerima zakat adalah mualaf, yakni seseorang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah. Atau, seorang tokoh masyarakat yang masuk Islam yang imannya kuat yang dengan diberikan kepadanya zakat diharap keislaman orang-orang yang setaraf dengannya.

Kelima fir riqob, yakni budak yang mempunyai akad dengan majikannya bahwa dirinya akan merdeka apabila dia mampu kepada majikannya jumlah yang disepakatinya. Keenam ghorim, yakni seorang yang berutang bukan untuk maksiat. Ketujuh fi sabilillah yakni orang yang berperang di jalan Allah melawan orang kafir tanpa digaji oleh pemerintah. Adapun kiai, ustad, guru, pengurus masjid/musala, pesantren, madrasah, dan sebagainya, mereka bukanlah yang dimaksud dengan kata fi sabilillah sehingga mereka tidak diperbolehkan menerima zakat.

Sebab, tidak ada seorang pun dari ahli tafsir yang menafsirkan kata fi sabilillah dengan ulama, kiai, ustaz, pengurus masjid/musala. Akan tetapi, sebaliknya, mereka secara jelas menafsirkan fi sabilillahdengan orang yang berperang di jalan Allah. Bahkan di dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Al-Hakim yang juga disahihkan olehnya bahwa Nabi Muhammad SAW secara jelas menyebutkan bahwa fi sabilillah adalah orang yang berperang di jalan Allah.

“Terakhir adalah golongan Ibnu Sabil, yakni orang musafir atau orang yang memulai safar (perjalanan) yang tidak memiliki bekal untuk sampai ke tujuan,” tutup Habib Ahmad. (Dita Angga/Sindonews)
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2082 seconds (0.1#10.140)