Sifat Shalat Nabi yang Rajih, Menurut Tarjih Siapa? (2)
loading...
A
A
A
Ustaz Hanif Luthfi Lc MA
Pengajar Rumah Fiqih Indonesia
Awalnya, kata tarjih digunakan para ahli ushul fiqih dalam kaitan ber-ta'amul dengan dalil-dalil fiqih. Khususnya ketika terjadi ta'arudh atau pertentangan dari beberapa dalil secara zahir. Meski secara asli, dalil yang sama sumbernya dari wahyu yang shahih, tak mungkin saling bertentangan satu sama lain, karena sumbernya satu.
Maka, tarjih adalah salah satu metode daf’u Ta'arudh Al-Adillah; mengkompromikan dalil-dalil syariat yang secara dzahir bertentangan. Sebagaimana disebutkan oleh Imam al-Amidi (wafat 631 H):
فإن الترجيح إنما يطلب عند التعارض لا مع عدمه (الإحكام في أصول الأحكام، أبو الحسن سيد الدين علي بن أبي علي بن محمد بن سالم الثعلبي الآمدي (المتوفى: 631هـ) ،4/ 239)
Tarjih itu dibutuhkan ketika terjadi pertentangan antar dalil. Ketika tak ada pertentangan ya tak perlu tarjih. (Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, h. 4/ 239).
(Baca Juga: Sikap Terbaik Menyikapi Khilafiyah, Mari Simak Kisah Sahabat Nabi Ini)
Dalam memahami teks syariat yang bertentangan secara dzahir, pertama yang ditempuh adalah Al-Jam'u wa At-Taufiq; dikumpulkan dan dipakai semua jika bisa. Jika tidak mungkin dipakai semua dalil itu, dan diketahui urutan waktu pensyariatannya, maka dipakailah metode An-Naskhu; diganti hukumnya. Jika tak memungkinkan, baru ditempuh dengan jalan tarjih, itu pun metodenya sangat beragam. (Yahya bin Syaraf an-Nawawi w. 676 H, Mukaddimah Syarah Shahih Muslim, h. 1/ 35).
Siapa yang Melakukan Tarjih?
Secara logika sederhana, orang yang bisa mengetahui suatu barang itu lebih bagus dari barang lain adalah orang yang mengetahui semua item yang akan dipilih.
Bisakah orang yang tak tahu pesawat, atau orang yang pernah sesekali naik pesawat disuruh jawab pertanyaan: "Manakah pesawat-pesawat ini yang paling nyaman? Apakah A: Boeing 737-400, B. B: Airbus A-330, C. C: Hercules C-130. Tentu tak bisa?
Kenapa? Karena belum pernah naik pesawat itu semua. Jika kita ditanya, "Lebih bagus mana antara Handphone Samsung S8 dengan iphone 7 plus?". Jika tak punya semuanya, akan susah me-rajih-kan salah satunya.
Tapi jika kita mau beli, untuk memilih salah satunya kita bisa mempercayai hasil review dari para ahli yang sudah ahli di bidangnya. Itulah yang bisa dilakukan oleh orang awam teknologi. Taklid kepada perkataan orang yang sudah ahli. Atau kalau tak mau disebut taklid, diperhalus menjadi ittiba'.
Kegiatan tarjih tentu dilakukan oleh orang yang tahu akan kekurangan dan kelebihan tiap item yang diperbandingkan. Dalam bahasa syariah, orang itu disebut mujtahid. Sebagai pembelajar awam, kita percaya saja terhadap hasil review yang telah dilakukan dan dibuktikan oleh para ahli atau para mujtahid itu.
Rumus sederhana dikemukakan oleh Syaikh Utsaimin (wafat 1421 H). Beliau menyebut bahwa cara yang mudah bagi awam adalah ikuti saja ulama negerinya sendiri.
أما عامة الناس فإنهم يلزمون بما عليه علماء بلدهم؛ لئلا ينفلت العامة (لقاء الباب المفتوح، محمد بن صالح بن محمد العثيمين (المتوفى : 1421هـ) ، 49/ 14، بترقيم الشاملة آليا)
Seorang awam itu ikuti saja ulama di negerinya. (Muhammad Shalih Utsaimin, Liqa’ Bab al-Maftuh, 49/ 12).
[Baca Juga: Sifat Shalat Nabi yang Rajih, Menurut Tarjih Siapa? (1)]
Wallahu A'lam
(Bersambung)!
Pengajar Rumah Fiqih Indonesia
Awalnya, kata tarjih digunakan para ahli ushul fiqih dalam kaitan ber-ta'amul dengan dalil-dalil fiqih. Khususnya ketika terjadi ta'arudh atau pertentangan dari beberapa dalil secara zahir. Meski secara asli, dalil yang sama sumbernya dari wahyu yang shahih, tak mungkin saling bertentangan satu sama lain, karena sumbernya satu.
Maka, tarjih adalah salah satu metode daf’u Ta'arudh Al-Adillah; mengkompromikan dalil-dalil syariat yang secara dzahir bertentangan. Sebagaimana disebutkan oleh Imam al-Amidi (wafat 631 H):
فإن الترجيح إنما يطلب عند التعارض لا مع عدمه (الإحكام في أصول الأحكام، أبو الحسن سيد الدين علي بن أبي علي بن محمد بن سالم الثعلبي الآمدي (المتوفى: 631هـ) ،4/ 239)
Tarjih itu dibutuhkan ketika terjadi pertentangan antar dalil. Ketika tak ada pertentangan ya tak perlu tarjih. (Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, h. 4/ 239).
(Baca Juga: Sikap Terbaik Menyikapi Khilafiyah, Mari Simak Kisah Sahabat Nabi Ini)
Dalam memahami teks syariat yang bertentangan secara dzahir, pertama yang ditempuh adalah Al-Jam'u wa At-Taufiq; dikumpulkan dan dipakai semua jika bisa. Jika tidak mungkin dipakai semua dalil itu, dan diketahui urutan waktu pensyariatannya, maka dipakailah metode An-Naskhu; diganti hukumnya. Jika tak memungkinkan, baru ditempuh dengan jalan tarjih, itu pun metodenya sangat beragam. (Yahya bin Syaraf an-Nawawi w. 676 H, Mukaddimah Syarah Shahih Muslim, h. 1/ 35).
Siapa yang Melakukan Tarjih?
Secara logika sederhana, orang yang bisa mengetahui suatu barang itu lebih bagus dari barang lain adalah orang yang mengetahui semua item yang akan dipilih.
Bisakah orang yang tak tahu pesawat, atau orang yang pernah sesekali naik pesawat disuruh jawab pertanyaan: "Manakah pesawat-pesawat ini yang paling nyaman? Apakah A: Boeing 737-400, B. B: Airbus A-330, C. C: Hercules C-130. Tentu tak bisa?
Kenapa? Karena belum pernah naik pesawat itu semua. Jika kita ditanya, "Lebih bagus mana antara Handphone Samsung S8 dengan iphone 7 plus?". Jika tak punya semuanya, akan susah me-rajih-kan salah satunya.
Tapi jika kita mau beli, untuk memilih salah satunya kita bisa mempercayai hasil review dari para ahli yang sudah ahli di bidangnya. Itulah yang bisa dilakukan oleh orang awam teknologi. Taklid kepada perkataan orang yang sudah ahli. Atau kalau tak mau disebut taklid, diperhalus menjadi ittiba'.
Kegiatan tarjih tentu dilakukan oleh orang yang tahu akan kekurangan dan kelebihan tiap item yang diperbandingkan. Dalam bahasa syariah, orang itu disebut mujtahid. Sebagai pembelajar awam, kita percaya saja terhadap hasil review yang telah dilakukan dan dibuktikan oleh para ahli atau para mujtahid itu.
Rumus sederhana dikemukakan oleh Syaikh Utsaimin (wafat 1421 H). Beliau menyebut bahwa cara yang mudah bagi awam adalah ikuti saja ulama negerinya sendiri.
أما عامة الناس فإنهم يلزمون بما عليه علماء بلدهم؛ لئلا ينفلت العامة (لقاء الباب المفتوح، محمد بن صالح بن محمد العثيمين (المتوفى : 1421هـ) ، 49/ 14، بترقيم الشاملة آليا)
Seorang awam itu ikuti saja ulama di negerinya. (Muhammad Shalih Utsaimin, Liqa’ Bab al-Maftuh, 49/ 12).
[Baca Juga: Sifat Shalat Nabi yang Rajih, Menurut Tarjih Siapa? (1)]
Wallahu A'lam
(Bersambung)!
(rhs)