Mencapai Ambang Pintu Kenabian, Menurut Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani
loading...
![Mencapai Ambang Pintu...](https://pict.sindonews.net/dyn/732/pena/news/2020/12/30/69/284572/mencapai-ambang-pintu-kenabian-menurut-syaikh-abdul-qadir-aljilani-zsf.jpg)
Hadrat Syaikh Abdul Qadir/Foto/Ilustrasi/Ist
A
A
A
SETIAP mukmin ragu dan waspada di kala menerima sesuatu, hingga hukum membolehkannya, sebagaimana Nabi Suci bersabda: “Sesungguhnya, si mukmin itu waspada, sedang si munafik menyambar (segala yang datang kepadanya).”
“Seorang mukmin ragu-ragu, campakkanlah segala penyebab keragu-raguan, dan ambillah segala yang tak menimbulakan keragu-raguan.”
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani dalam kitabnya berjudul Futuh Al-Ghaib bertutur, seorang mukmin ragu-ragu terhadap segala makanan , minuman, busana, perkawinan dan segala hal, sebelum dikukuhkan oleh hukum. Bila ia saleh; dikukuhkan oleh perintah batin. Bila ia seorang wali; dikukuhkan oleh ma’rifat. Bila ia seorang badal dan ghauts; dikukuhkan oleh tindakan-Nya, bila ia dalam keadaan fana. ( )
Lalu datanglah keadaan, yang di dalamnya didapat segala yang datang kepada orang, perintah batin atau ma’rifat; tapi bila hal-hal ini bertentangan dengan keadaan sebelumnya, yang di dalamnya berkuasa keragu-raguan dan pemudahan, sedang pada keadaan kedua, berkuasa penerimaan dan penggunaan hal-hal yang dibutuhkan.
"Datanglah keadaan ketiga, yang di dalamnya penerimaan dan penggunaan hal-hal yang dibutuhkan menjadi rahmat. Inilah hakikat ka-fana-an," ujarnya. ( )
Pada keadaan ini, sang mukmin menjadi kebal terhadap segala bencana dan pelanggaran hukum, dan segala kejahatan terjauhkan darinya, sebagaimana Allah yang Mahamulia berfirman: “Demikianlah, agar Kami palingkan darinya kemungkaran dan kekejian; sesungguhnya dia termasuk hamba-hamba pilihan Kami.” (QS.12:24)
Maka sang hamba menjadi terlindung dari segala pelanggaran hukum. Segala yang datang kepadanya telah terbersihkan dari segala kesulitan di dunia dan akhirat, dan demikian selaras dengan kehendak dan ridha-Nya. Tiada keadaan melebihi ini. Inilah tujuannya. ( )
"Inilah yang dimaksudkan bagi kepala-kepala para wali besar, yang tersucikan, yang memiliki hikmah – orang yang telah mencapai ambang pintu kenabian," demikian Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani.
“Seorang mukmin ragu-ragu, campakkanlah segala penyebab keragu-raguan, dan ambillah segala yang tak menimbulakan keragu-raguan.”
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani dalam kitabnya berjudul Futuh Al-Ghaib bertutur, seorang mukmin ragu-ragu terhadap segala makanan , minuman, busana, perkawinan dan segala hal, sebelum dikukuhkan oleh hukum. Bila ia saleh; dikukuhkan oleh perintah batin. Bila ia seorang wali; dikukuhkan oleh ma’rifat. Bila ia seorang badal dan ghauts; dikukuhkan oleh tindakan-Nya, bila ia dalam keadaan fana. ( )
Lalu datanglah keadaan, yang di dalamnya didapat segala yang datang kepada orang, perintah batin atau ma’rifat; tapi bila hal-hal ini bertentangan dengan keadaan sebelumnya, yang di dalamnya berkuasa keragu-raguan dan pemudahan, sedang pada keadaan kedua, berkuasa penerimaan dan penggunaan hal-hal yang dibutuhkan.
"Datanglah keadaan ketiga, yang di dalamnya penerimaan dan penggunaan hal-hal yang dibutuhkan menjadi rahmat. Inilah hakikat ka-fana-an," ujarnya. ( )
Pada keadaan ini, sang mukmin menjadi kebal terhadap segala bencana dan pelanggaran hukum, dan segala kejahatan terjauhkan darinya, sebagaimana Allah yang Mahamulia berfirman: “Demikianlah, agar Kami palingkan darinya kemungkaran dan kekejian; sesungguhnya dia termasuk hamba-hamba pilihan Kami.” (QS.12:24)
Maka sang hamba menjadi terlindung dari segala pelanggaran hukum. Segala yang datang kepadanya telah terbersihkan dari segala kesulitan di dunia dan akhirat, dan demikian selaras dengan kehendak dan ridha-Nya. Tiada keadaan melebihi ini. Inilah tujuannya. ( )
"Inilah yang dimaksudkan bagi kepala-kepala para wali besar, yang tersucikan, yang memiliki hikmah – orang yang telah mencapai ambang pintu kenabian," demikian Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani.
(mhy)