Jalan Sufi dan Para Pencari Stabilitas Sosial

Rabu, 30 Desember 2020 - 10:15 WIB
loading...
Jalan Sufi dan Para Pencari Stabilitas Sosial
Ilustrasi/Ist
A A A
Guru-guru Sufi secara tegas membeda-bedakan antara tulisan dan ceramah yang diberikan untuk audiens khusus dan para pujangga, dengan nilai emosional serta kultural tersendiri.

Idries Shah dalam bukunya berjudul The Way of the Sufi menjelaskan semua ajaran sufi, pada dasarnya diadakan untuk masa-masa mereka sendiri. Pesan-pesan sufi dalam bentuk tulisan dianggap memiliki efektikitas yang terbatas, baik kedalaman maupun daya tahannya. Hal ini karena "sesuatu yang begitu disebarkan pada wilayah (bidang), waktu, akan jatuh korban untuk memorak-porandakan waktu". ( )

Akibatnya, seperti perumpamaan gelombang laut yang sering digunakan kaum sufi, secara konstan sufisme diperbarui oleh guru-guru penerus teladan.

"Guru-guru ini tidak hanya menafsirkan ulang materi-materi sufi lama; mereka memilih, menerima, mengenalkan dan mengerjakan materi-materi literal yang memungkinkan untuk melanjutkan fungsi dinamisnya," ujar Idries dalam buku yang telah diterjemahkan Joko S. Kahhar dan Ita Masyitha dengan judul " Jalan Sufi: Reportase Dunia Ma'rifat ".

Murid-murid sufi mungkin berani, mungkin pula tidak, untuk membiasakan diri mereka dengan Sufisme Klasik tradisional.

Bagaimanapun, ada Pembimbing Sufi yang mengusulkan kurikulum ke masing-masing lingkaran atau murid; potongan-potongan dari materi klasik, tulisan dan ceramah, dari ibadat-ibadat tradisional yang diterapkan pada tahap masyarakat tertentu, pada kelompok-kelompok khusus, pada individu tertentu.

Penggunaan materi-materi ini secara tegas memisahkan ideologi sufi dari jenis lainnya yang telah tercatat. Sikap ini mencegah sufisme dari kristalisasi, yang kemudian menjadi hasil karya ulama dan tradisionalisme.

Pada awalnya, menurut Idries Shah, pengelompokan sufi dimana fosilisasi ini mengambil tempat, perasaan mendalam mereka terhadap penggunaan materi sufi secara berulang-ulang memberi peringatan terhadap calon sufi, bahwa organisasi seperti itu telah "menggabungkan-dunia". ( )

Pencari Stabilitas Sosial
Menarik untuk dicatat, dari sudut pandang psikologi kontemporer, bagaimana kelompok-kelompok studi -- dalam sufisme di mana saja -- selalu menghadapi tantangan. Tantangan ini adalah, apakah kelompok akan menstabilisasi diri sejak awal pada penopang yang menyenangkan (seperti terpaan, latihan, tokoh otoritas) atau apakah grup memiliki stabilitas memadai untuk menggapai realitas yang melebihi keadaan lahiriahnya, faktor-faktor sosial.

Komposisi kelompoklah yang akan memutuskan hal-hal tersebut. Jika anggotanya sudah siap memiliki keseimbangan sosial yang kuat, mereka tidak perlu mengubah atmosfir studi mereka menjadi sumber stabilitas dan kepastian. Bila anggota sudah memperoleh kepuasan fisik dan intelektual, mereka tidak perlu berusaha menyaringnya dari kelompok sufi mereka. ( )

Mereka ini para pencari stabilitas sosial, intelektual dan emosional yang merupakan kandidat yang gagal untuk ajaran sufi dalam aliran-aliran asli. Aliran-aliran tiruan (diketahui atau sebaliknya) menggunakan bagian luar Sufi --termasuk tulisan dan ceramah berikut-- dan beroperasi sebagai kelompok-kelompok sosio-psikologis tersamar. Aktivitas Sufi yang sangat bernilai ini bukan persyaratan untuk 'pengetahuan tentang manusia yang lebih tinggi'.

Namun ini bukan berarti bahwa pengelompokan-pengelompokan otomimetis yang dianggap banyak orang sebagai sufi, secara tiba-tiba dapat dikenal oleh seorang kandidat sebagai pengelompokan sosial semata. "Sebaliknya, jika murid bersungguh-sungguh membutuhkan kepastian, petualangan, katarsis, keseimbangan sosial dan psikologis, ia akan sangat berterima kasih dan tidak mempertanyakan lagi bila ditarik ke aktivitas tingkat rendah ini," jelas Idries Shah.

Ini karena ia akan menjawab untuk apa kelompok-kelompok yang ditawarkan dalam praktik, bukan apa yang dapat ditawarkan sufisme.

Lagi, secara tradisional kelompok-kelompok para Pencari bergabung bersama dalam usaha memperingati praktik-praktik dan teori-teori sufisme, dengan harapan bahwa hasrat mereka dapat terwujud atau menjadi sempurna dengan kehadiran guru yang asli.

Dasar studi ini lebih berbahaya daripada diusulkan secara umum, karena ketika keanggotaan dari suatu kelompok secara luas mengkomposisikan orang-orang yang menggunakannya untuk tujuan psikologis lebih rendah, kelompok sebagai keseluruhan akan cenderung kehilangan kapasitas dan hasrat untuk mengenal sumber-sumber di level lebih tinggi.

Dalam kasus demikian, perkembangan alamiah kepekaan sosial dalam pengelompokan, menghalangi aspirasi. Hanya pengenalan perbedaan tipe orang kepada kelompok, dalam usaha setidaknya memperbaikinya untuk suatu contoh masyarakat normal, kemungkinan akan menghidupkan kembali posibilitas kelompok.

"Tetapi suatu kelompok sosial jenis ini hampir secara definitif bermusuhan dengan pengenalan-pengenalan semacam; orang-orang yang tampak berpikir dengan cara berbeda dianggap bermusuhan atau tidak dapat dipilih," demikian Idries Shah. ( )
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4703 seconds (0.1#10.140)