Begini Teknik Salat di Kapal Laut dan Kapal Terbang

Kamis, 28 Januari 2021 - 07:39 WIB
loading...
Begini Teknik Salat di Kapal Laut dan Kapal Terbang
Suasana beribadah di Nurul Iman, masjid di atas kapal laut KM Tidar/Foto/Nur Terbit
A A A
ADA beberapa jenis kendaraan sehingga kita bisa dengan sempurna melaksanakan salat, misalnya kapal laut , pesawat udara , dan kereta api.

Di masa lalu Rasulullah SAW memerintahkan kepada Ja'far bin Abu Thalib untuk salat sambil berdiri di atas kapal yang membawanya pergi berhijrah ke Habasyah. (HR Al-Haitsami dan Al-Bazzar)

Dari Abdullah bin Atabah berkata,"Aku menemani Jabir bin Abdullah, Abu Said Al-Khudri dan Abu Hurairah naik kapal laut. Mereka salat berjamah dengan berdiri, salah seorang menjadi imam buat yang lainnya. (HR Said bin Manshur)

Buku " Shalat di Kendaraan " karya Ustaz Ahmad Sarwat menjelaskan di kapal laut salat bisa dikerjakan dengan sempurna. Kita bisa berdiri tegak, ruku’ sujud dan tentunya jelas menghadap kiblat, bila kita lakukan di atas kapal laut, baik kapal besar maupun kapal kecil.

Di masa sekarang ini, kapal laut yang besar bahkan memiliki masjid di dalamnya yang dapat menampung ratusan orang.

Salat di Pesawat Terbang
Salat fardhu dengan berdiri sempurna dan menghadap kiblat tepat ke arah ka'bah juga bisa dengan mudah dikerjakan di atas pesawat terbang, asalkan jenisnya bukan helikopter atau pesawat tempur.

Di dalam pesawat terbang komesial, selalu ada tempat yang agak luas untuk kita bisa melakukan salat dengan sempurna dilengkapi ruku' dan sujud.

Tempat itu adalah pada bagian pintu masuk atau keluar. Tempat itu tidak pernah diisi dengan kursi, karena merupakan jalan para penumpang masuk atau keluar ketika pesawat berada di darat.

"Pada saat pesawat sedang terbang di angkasa, tentunya tempat itu tidak berfungsi sebagai jalan keluar masuk. Di tempat itulah kita bisa melakukan salat dengan sempurna," tulis Ustaz Ahmad Sarwat.

Salat juga ke arah kiblat. Nyaris semua pesawat terbang dilengkapi dengan Global Positioning System (GPS). Di beberapa pesawat berbadan lebar, biasanya dipasang layar besar LCD di tengah kabin, dan salah satunya menampilkan posisi pesawat di atas peta dunia. Bahkan beberapa maskapai penerbangan yang baik menyediakan layar LCD di kursi masing-masing dan salah satu fungsinya bisa sebagai GPS.

Asalkan kita tidak terlalu awam dengan peta dunia, maka dengan mudah kita bisa menentukan mana arah kiblat kalau diukur dari posisi pesawat. Maka ke arah sanalah kita menghadapkan badan saat berdiri melaksanakan salat.

Bagaimana dengan Waktu Salat?
Waktu salat di atas pesawat international memang agak rancu. Mengingat kita tidak tahu di atas kota apa kita saat ini sedang terbang. Bahkan mungkin malah bukan di atas kota, tetapi di atas laut, hutan, pegunungan, padang pasir dan sejenisnya, di mana memang tidak pernah dibuatkan jadwal
waktu salatnya.

Jadi kalau pun kita tahu kita berada di atas titik koordinat tertentu, masih ada masalah besar yaitu tidak ada jadwal salat untuk titik koordinat tersebut. Maka yang jadi pertanyaan, kapan kita mulai salat?

"Jawabannya sebenarnya sederhana," kata Ustaz Ahmad Sarwat. "Di atas pesawat yang terbang tinggi di langit itu kita justru dengan mudah bisa mengenali waktu salat dengan sederhana. Untuk shalat zuhur dan Ashar yang memang boleh dijama' itu, kita bisa melihat ke luar jendela. Selama matahari sudah lewat dari atas kepala kita dan belum tenggelam di ufuk barat, kita masih bisa menjama' kedua salat itu. Untuk yakinnya, mari kita jama' ta'khir saja," jelas Ustaz Sarwat.



Kenapa? Karena jama' ta'khir itu kita lakukan di waktu Ashar dan waktu Ashar bisa kita kenali dengan melihat ke luar jendela pesawat. Selama matahari sudah condong ke arah Barat namun belum tenggelam, maka itulah waktu Ashar.

Untuk salat Maghrib dan Isya, agar kita tidak terlalu ragu, sebaiknya kita salat jama' ta'khir di waktu isya. Jadi setelah kita menyaksikan matahari betul-betul tenggelam di ufuk barat, kita tunggu kira-kira 1-2 jam. Saat itu kita amat yakin bahwa waktu Isya sudah masuk. Maka kita salat Maghrib dan Isya' dengan dijama' di waktu Isya'.

Bagaimana dengan salat subuh?
Salat subuh itu waktunya sejak terbit fajar hingga matahari terbit. Dan kalau kita berada di angkasa, mudah sekali mengenalinya. Cukup kita menengok keluar jendela, ketika gelap malam mulai hilang dan langit menunjukkan tanda-tanda terang namun matahari belum terbit, maka itulah waktu shubuh. Salatlah subuh pada waktu
itu dan jangan sampai terlanjur matahari menampakkan diri.

"Jadi di atas pesawat yang terbang di angkasa, kita dengan mudah bisa menetapkan waktu salat, bahkan tanpa harus melihat jam atau bertanya kepada awak pesawat," tulisnya.

Bagaimana wudhu'nya? Ini pertanyaan klasik tapi penting. Beberapa orang pernah berfatwa bahwa di dalam pesawat sebaiknya tidak usah wudhu' dan sebagai gantinya cukup bertayammum. "Fatwa ini kelihatan bagus," kata Ustaz Sarwat, "tetapi justru bermasalah besar". Mengapa?

"Ada dua masalah besar ketika orang mau tayammum di atas pesawat. Pertama, di dalam Al-Quran Al-Kariem Allah SWT menegaskan bahwa tayammum itu hanya boleh dikerjakan bila seseorang tidak menemukan air.

Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik, sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun. (QS An-Nisa' : 43)

Padahal di atas pesawat itu air berlimpah, baik untuk minum, juga untuk cuci muka bahkan untuk istinja'. Maka kebolehan tayammum menjadi gugur dengan sendiri dengan masih adanya air di atas pesawat.

Kedua, di dalam Al-Quran Al-Kariem Allah SWT juga menegtaskan bahwa bertayammum hanya dibolehkan menggunakan tanah yang bersih.

Masalah besarnya justru di atas pesawat itu malah tidak ada tanah. Jadi kalau mau bertayammum di atas pesawat, mau tidak mau para penumpang harus membawa bungkusan berisi tanah untuk dipakai tayammum.

Kalau semua penumpang membuka bungkusan berisi tanah di atas pesawat, lalu salah satunya ada yang bersin, maka buyarlah tanah itu. Yang lain akan tersenggol dan tanahnya tumpah. Dan akhirnya pesawat itu penuh dengan tanah.

Bukankah tayammum bisa dengan menggunakan permukaan kursi? Ustaz Ahmad Sarwat menjelaskan, inilah masalahnya. Perintah bertayammum di dalam Al-Quran itu adalah menggunakan tanah. Bunyi ayatnya fatayammamu sha'idan tayyiba, bukan fatayammamu kursiyyan thayyiba. Sebab kursi di dalam pesawat udara itu jelas bukan tanah. Segala debu dan kotoran tentunya sudah dibersihkan dengan vacum cleaner. Sehingga kursi itu menjadi steril dari debu yang kelihatan. Kalau kursi pesawat international berdebu, pastilah para penumpang langsung bersih-bersin dan terkena radang saluran pernafasan (ISPA).

Kalau pun kita masih ngotot mengatakan bahwa di kursi pesawat itu pasti masih tersisa debu, tentunya ada debu-debu ukuran mikroskopis, yang hanya bisa dilihat kalau kita mengintip lewat mikroskop. Tetapi perlu diingat bahwa debu atau molekul ukuran mikrospokis ini sesungguhnya bukan hanya ada di kursi, tetapi di udara yang kita hirup sekalipun juga ada.

Kalau debu ukuran mikroskopis itu bisa digunakan untuk bertayammum, maka seharusnya kita bisa bertayammum cukup dengan menggelenggelengkan kepala dan menggerak-gerakkan tangan saja, toh di udara sekitar wajah dan tangan kita ada banyak debu mikroskopis.

Ustaz Ahmad Sarwat memaparkan Majelis Bahtsul Masail Nahdhatul Ulama secara tegas menetapkan bahwa bertayammum menggunakan kursi pesawat terbang itu hukumnya tidak sah, karena tidak memenuhi ketentuan tayammum.
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1257 seconds (0.1#10.140)