Teperdaya Amr bin Al-Ash, Abu Musa Berhentikan Ali bin Abu Thalib sebagai Khalifah

Sabtu, 06 Februari 2021 - 20:08 WIB
loading...
Teperdaya Amr bin Al-Ash, Abu Musa Berhentikan Ali bin Abu Thalib sebagai Khalifah
Ilustrasi/Ist
A A A
BEBERAPA orang pengikut Khalifah Ali bin Abu Thalib r.a. kemudian berangkat untuk menemui Muawiyah guna mengadakan persetujuan tertulis mengenai prinsip disetujuinya tahkim oleh kedua belah fihak.

Buku Sejarah Hidup Imam Ali ra karya H.M.H. Al Hamid Al Husaini memaparkan,wakil pihak Kufah (Ali bin Abu Thalib r.a.) menuliskan dalam teks perjanjian sebuah kalimat: "Inilah yang telah disetujui oleh Amirul Mukminin…"

Baru sampai di situ Muawiyah cepat-cepat memotong: "Betapa jeleknya aku ini, kalau aku mengakui dia sebagai Amirul Mukminin tetapi aku memerangi dia!"

Amr bin Al Ash menyambung: "Tuliskan saja namanya dan nama ayahnya. Dia itu Amir (penguasa) kalian dan bukan Amir kami!"

Wakil-wakil pihak Kufah kembali menghadap Ali bin Abu Thalib r.a. untuk minta pendapat mengenai penghapusan sebutan "Amirul Mukminin".

Ternyata Ali bin Abu Thalib r.a. memerintahkan supaya sebutan itu dihapus saja dari teks perjanjian. Tetapi Al Ahnaf cepat-cepat mengingatkan: "Sebutan Amirul Mukminin jangan sampai dihapus. Kalau sampai dihapus, aku khawatir pemerintahan (imarah) tak akan kembali lagi kepadamu untuk selama-lamanya. Jangan... jangan dihapus, walau peperangan akan berkecamuk terus!"

Setelah mendengar naselat Al Ahnaf itu untuk beberapa saat lamanya Ali bin Abu Thalib r.a. berpikir hendak mempertahankan sebutan "Amirul Mukminin" dalam teks perjanjian, tetapi keburu Al Asy'ats datang lagi dan mendesak supaya sebutan itu dihapuskan saja.

Dengan perasaan amat kecewa Ali bin Abu Thalib r.a. berucap: "Laa llaaha Illahllaah . . . Allaahu Akbar! Sunnah yang dulu sekarang disusul lagi dengan sunnah baru."

"Demi Allah, bukankah persoalan seperti itu dahulu pernah juga kualami? Yaitu waktu diadakan perjanjian Hudaibiyyah?! Waktu itu atas perintah Rasulullah SAW aku menulis dalam teks perjanjian. Inilah perjanjian yang dibuat oleh Muhammad Rasul Allah dan Suhail bin Amr."

Ketika itu Suhail berkata: "Aku tidak mau menerima teks yang berisi tulisan 'Rasul Allah'. Sebab kalau aku percaya bahwa engkau itu Rasul Allah, tentu aku tidak akan memerangimu! Adalah perbuatan zalim kalau aku melarangmu bertawaf di Baitullah, padahal engkau itu adalah Rasul Allah! Tidak, tuliskan saja 'Muhammad bin Abdullah', baru aku mau menerimanya…!"

"Waktu itu Rasul Allah memberi perintah kepadaku: 'Hai Ali, aku ini adalah Rasul Allah dan aku pun Muhammad bin Abdullah. Teks perjanjian dengan mereka yang hanya menyebutkan Muhammad bin Abdullah tidak akan menghapuskan kerasulanku. Oleh karena itu tulis saja Muhammad bin Abdullah !' Waktu itu beberapa saat lamanya aku dibuat bingung oleh kaum musyrikin. Tetapi sekarang, di saat aku sendiri membuat perjanjian dengan anak-anak mereka, pun mengalami hal-hal yang sama seperti yang dahulu dialami oleh Rasulullah SAW…"

Teks perjanjian itu akhirnya ditulis juga tanpa menyebut kedudukan Ali bin Abu Thalib r.a. sebagai Amirul Mukminin. Al Asytar kemudian dipanggil untuk menjadi saksi.

Sebagai reaksi Al Asytar berkata pada Ali bin Abu Thalib: "Anda akan kehilangan segala-galanya bila perjanjian ditulis seperti itu. Bukankah anda ini berdiri di atas kebenaran Allah? Bukankah anda ini benar-benar yakin bahwa musuhmu itu orang yang memang sesat? Kemudian ia berkata kepada mereka: "Apakah kalian tidak melihat kemenangan sudah di ambang pintu seandainya kalian tidak berteriak minta belas kasihan kepada musuh?!"

Al Asy'ats menyahut: "Demi Allah, aku tidak melihat kemenangan dan tidak pula meminta belas kasihan kepada musuh. Ayohlah berjanji, bahwa engkau akan taat! Akuilah apa yang tertulis dalam teks perjanjian ini!"

Al Asytar menjawab: "Demi Allah, dengan pedangku ini Allah telah menumpahkan darah orang-orang yang menurut penilaianku lebih baik daripada engkau, dan aku tidak menyesali darah mereka! Aku hanya mau mengikuti apa yang dilakukan oleh Amirul Mukminin. Apa yang diperintahkan, akan kulaksanakan, dan apa yang dilarang akan kuhindari, sebab perintahnya selalu benar dan tepat!"

Pada saat itu datanglah Sulaiman bin Shirid menghadap Amirul Mukminin, sambil membawa seorang yang luka parah akibat pukulan pedang. Waktu Ali bin Abu Thalib r.a. menoleh kepada orang yang luka parah itu, Sulaiman berkata mengancam: "Ada orang yang sudah menjalani nasibnya dan ada pula yang sedang menunggu nasib! Dan... engkau termasuk orang-orang yang sedang menunggu nasib seperti orang ini!"

Ada lagi yang datang menghadap, lalu berkata: "Ya Amirul Mukminin, seandainya engkau masih mempunyai orang-orang yang mendukungmu, tentu engkau tidak akan menulis teks perjanjian seperti itu. Demi Allah, aku sudah berkeliling ke sana dan ke mari untuk mengerahkan orang-orang supaya mau melanjutkan peperangan. Tetapi ternyata hanya tinggal beberapa gelintir saja yang masih sanggup melanjutkan peperangan!"

Ada orang lain lagi datang menghadap, lalu berkata: "Ya Amirul Mukminin, apakah tidak ada jalan untuk membatalkan perjanjian itu? Demi Allah, aku sangat khawatir kalau-kalau perjanjian itu akan membuat kita hina dan nista!"

Ali bin Abu Thalib r.a. menjawab: "Apakah kita akan membatalkan perjanjian yang sudah ditulis itu? Itu tidak boleh terjadi!"

Ali bin Abu Thalib r.a. terpaksa menyetujui adanya perjanjian dengan Muawiyah mengenai prinsip penyelesaian damai berdasarkan hukum Al Qur'an. Banyak di antara pengikutnya yang merasa kecewa dan menyesal, tetapi sikap tersebut sudah terlambat.

Karena sangat kecewa dan menyesal, mereka lalu berteriak kepada semua orang di mana saja: "Tiada hukum selain hukum Allah! Hukum di tangan Allah dan bukan di tanganmu, hai Ali! Kami tidak rela ada orang-orang yang akan menetapkan hukum terhadap agama Allah! Hukum Allah bagi Muawiyah dan pengikut-pengikutnya sudah jelas, yaitu mereka harus kita perangi atau harus kita tundukkan kepada pemerintahan kita! Kita telah terperosok dan tergelincir pada saat kita menyetujui tahkim!"

"Sekarang kita telah bertaubat dan tidak mau lagi mengakui perjanjian itu! Dan engkau, hai Ali, tinggalkanlah perjanjian itu dan bertaubatlah kepada Allah seperti yang sudah kita lakukan. Kalau tidak, kita tidak turut bertanggung jawab!"

Ali bin Abu Thalib r.a. bukanlah orang yang biasa menciderai perjanjian, walau perjanjian itu akan mengakibatkan dirinya harus menanggung resiko kezaliman orang lain.

Kepada orang-orang yang menuntut supaya ia menciderai perjanjian dan segera bertaubat, ia menjawab: "Celakalah kalian! Apakah setelah kita sendiri mau menyetujui perjanjian itu lantas sekarang harus berbuat cidera?"

"Bukankah Allah telah memerintahkan supaya kita menjaga baik-baik dan memenuhi perjanjian? Bukankah Allah telah berfirman (yang artinya): 'Tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpahmu sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat" (S. An Nahl: 91)".

Beberapa hari setelah peperangan berhenti, dalam salah satu khutbahnya Ali bin Abu Thalib r.a. berkata: "Perintahku masih kalian ikuti terus seperti yang kuinginkan sampai saat kalian dilanda perpecahan pikiran. Demi Allah, kalian tahu bahwa peperangan itu sama sekali tidak menghilangkan kekhalifahanku. Itu masih tetap ada. Bahkan peperangan itu sebenarnya lebih memporak-porandakan musuh kalian."

"Di tengah-tengah kalian, kemarin aku masih memerintah, tetapi hari ini aku sudah menjadi orang yang diperintah. Kemarin aku masih menjadi orang yang bisa melarang, tetapi hari ini aku menjadi orang yang dilarang. Kalian ternyata sudah menjadi orang-orang yang lebih menyukai hidup, dan aku tidak dapat lagi mengajak kalian kepada apa yang tidak kalian sukai…"

Penyimpangan Abu Musa
Beberapa bulan kemudian, bertemulah dua orang perunding di sebuah tempat yang letaknya tidak jauh dari Shiffin. Amr bin Al Ash mewakili Muawiyah, dan Abu Musa Al Asy'ariy mewakili Ali bin Abu Thalib r.a.

Dalam perundingan itu Amr dengan gigih bertahan membela Muawiyah, sedangkan Abu Musa berpendirian "asal damai" dan "asal selamat". Dengan berbagai siasat dan muslihat, akhirnya Amr berhasil menyeret Abu Musa kepada suatu konsepsi yang meniadakan kekhalifahan Ali bin Abu Thalib r.a.

Berdasarkan prinsip "asal damai" dan "asal selamat", Abu Musa mengusulkan supaya pihak Amr bersedia menerima Abdullah bin Umar Ibnul Khattab sebagai calon Khalifah yang akan menggantikan Ali bin Abu Thalib.

Usul Abu Musa itu dijawab oleh Amr: "mengapa anda tidak mengusulkan anak lelakiku yang bernama Abdullah? Anda kan tahu sendiri anakku itu seorang yang shaleh!"

Pembicaraan berlangsung terus. Setelah lama berunding akhirnya dua orang itu sepakat untuk memberhentikan Ali bin Abu Thalib r.a. sebagai Khalifah dan memberhentikan Muawiyah sebagai pemimpin di Syam dan menyerahkan kepada ummat Islam untuk memilih Khalifah lain yang disukainya.

Begitu licinnya Amr mengelabui Abu Musa, sampai Abu Musa sendiri merasa adil dalam melaksanakan tugas sebagai wakil Ali bin Abu Thalib r.a. Selain itu Abu Musa sedikit pun tidak mempunyai kecurigaan bahwa Amr akan menyimpang dari kesepakatan.

Selesai berunding, Amr dan Abu Musa sepakat akan mengumumkan hasil perundingan itu di depan khalayak ramai. Untuk merealisasinya, oleh Amr diminta kepada Abu Musa supaya lebih dulu mengumumkan pemberhentian Ali bin Abu Thalib, kemudian barulah Amr akan mengumumkan pemberhentian Muawiyah. Seperti orang terkena sihir Abu Musa mengiakan saja apa yang diminta oleh Amr, kendatipun ia telah diperingatkan oleh Ibnu Abbas agar jangan bicara lebih dulu.

Di depan orang banyak Abu Musa mengumumkan, bahwa dua orang perunding telah bersepakat untuk memberhentikan Ali bin Abu Thalib dan Muawiyah, demi kerukunan dan perdamaian di antara kaum muslimin.

Setelah memberi penjelasan sedikit, dengan lantang Abu Musa berkata: "Sekarang aku menyatakan pemberhentian Ali sebagai Khalifah!" Selesai Abu Musa, tampillah Amr bin Al Ash. Ia tidak berbicara seperti Abu Musa. Ia tidak mengumumkan bahwa dua orang perunding telah sepakat memberhentikan Ali bin Abu Thalib dan Muawiyah.

Amr hanya mengatakan: "Abu Musa tadi telah menyatakan dengan resmi pemberhentian Ali bin Abi Thalib dari kedudukannya sebagai Khalifah. Mulai saat ini ia tidak lagi menjadi Khalifah! Sekarang aku mengumumkan bahwa aku mengukuhkan kedudukan Muawiyah sebagai Khalifah, pemimpin kaum muslimin!"

Mendengar kata-kata Amr, Abu Musa sangat marah. Ia tak mungkin lagi menjilat ludah yang suda jatuh. Abu Musa pergi meninggalkan tempat perundingan. Sejak itu namanya tidak pernah disebut-sebut lagi dalam sejarah.

Beberapa waktu sebelum Abu Musa menghilang, ia masih menerima sepucuk surat dari Abdullah bin Umar Ibnul Khattab, sebagai reaksi terhadap usul pencalonannya, yang diucapkan Abu Musa dalam perundingan.

Reaksi Abdullah bin Umar
Surat Abdullah tersebut sebagai berikut: "Hai Abu Musa, engkau membawa-bawa diriku ke dalam persoalan yang engkau sendiri tidak mengetahui bagaimana pikiranku mengenai hal itu."

"Apakah engkau mengira bahwa aku akan bersedia mencampuri urusan yang engkau mengira aku ini lebih terkemuka dibanding Ali bin Abi Thalib? Bukankah sudah sangat jelas bahwa ia jauh lebih baik daripada diriku?"

Engkau sungguh sia-sia, dengan begitu engkau sendirilah yang menderita rugi. Aku sama sekali bukan orang yang mengambil sikap permusuhan. Engkau benar-benar telah membuat marah Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah karena ucapanmu mengenai diriku."

"Lebih-lebih Ali bin Abi Thalib, karena melihat engkau telah tertipu oleh Amr. Padahal engkau itu seorang pengajar Al Qur'an, seorang yang pernah menjadi utusan penduduk Yaman untuk menghadap Rasulullah SAW, seorang yang pernah diberi kepercayaan membagi-bagikan ghanimah pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar. Ternyata sekarang telah tertipu oleh ucapan-ucapan Amr bin Al Ash, sampai engkau lancang dan memecat Ali sebelum memecat Muawiyah!"

Menanggapi surat Abdullah bin Umar Ibnul Khattab tersebut, Abu Musa menulis: "Aku bukannya hendak mendekatimu dengan jalan mendudukkan dirimu atau membai'atmu sebagai Khalifah. Yang kuinginkan hanyalah keridhoan Allah s.w.t. Kesediaanku memikul tugas ummat ini bukan suatu hal yang buruk atau tercela. Sebab ummat ini seolah-olah sedang berada di ujung pedang."

"Selama hidup sampai mati aku akan tetap mengatakan, bahwa yang kuinginkan ialah agar ummat ini selalu damai. Sebab jika tidak, ummat ini tidak akan dapat kembali kepada kebesaran semula."

Seterusnya Abu Musa mengatakan: "Adapun mengenai ucapanku tentang dirimu yang dapat membuat marah Ali dan Muawiyah, sebenarnya dua orang itu sudah lebih dulu marah kepadaku. Tentang tipu muslihat Amr terhadap diriku, demi Allah, tipu muslihatnya itu tidak merugikan Ali bin Abi Thalib dan juga tidak menguntungkan Muawiyah. Sebab syarat yang sudah kami tetapkan bersama ialah, bahwa kami hanya terikat oleh apa yang sudah disepakati bersama, dan bukan terikat oleh apa yang kami perselisihkan."

"Adapun mengenai apa yang engkau dilarang melakukannya oleh ayahmu, demi Allah, seandainya persoalan ini dapat diselesaikan, engkau akan terpaksa menerimanya!"

Dari surat jawaban Abu Musa kepada Abdullah itu jelaslah, bahwa Abu Musa benar-benar pikirannya dicekam rasa rindu perdamaian. Dan demi perdamaian ia tidak segan-segan menyimpang jauh dari tugas yang dipikulnya dan rela menjebloskan pemimpinnya sendiri. (Bersambung)

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3325 seconds (0.1#10.140)