Misi Gagal Abu Hurairah dan Abu Darda Mendamaikan Ali bin Abu Thalib dengan Muawiyah
loading...
A
A
A
PASUKAN Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan telah sama-sama memusatkan kubu pertahanannya masing-masing di lembah Shiffin. Jalan damai sudah buntu. Mengompromikan dua pendirian yang berlawanan sangat sulit. Dua belah pihak sama berkeyakinan, bahwa satu-satunya jalan penyelesaian yang bisa di tempuh ialah perang. Yang satu berjuang untuk kekuasaaan dan keduniaan dan yang lainnya berjuang untuk kepentingan agama dan kehidupan akhirat.
Buku Sejarah Hidup Imam Ali ra karya H.M.H. Al Hamid Al Husai memaparkan keadaan yang sangat tragis itu benar-benar membingungkan kaum muslimin dalam memilih pihak. Mereka sudah pasti menghendaki kebahagiaan dunia dan akhirat.
Tentang kebahagiaan akhirat sudah tidak menjadi persoalan lagi, karena Islam telah memberikan penjelasan dengan gamblang. Yang sulit ialah bagaimana menetapkan definisi (pembatasan-pembatasan) tentang kebahagiaan dunia.
Pihak Syam berusaha meraihnya lewat jalan kekuasaan dan kekayaan. Sedang pihak Kufah berusaha mencapainya melalui jalan takwa kepada Allah swt dan patuh kepada teladan RasulNya.
Bagaimana menserasikan dua jalan itu tidak ditemukan pemecahannya oleh kaum muslimin pada zaman itu. Tetapi bagaimana pun juga, semua kaum muslimin adalah saudara. Semua ingin hidup rukun tentram, damai dan sejahtera.
Pikiran seperti itu tetap menjiwai kehidupan kaum muslimin sepanjang zaman, tetapi realisasinya tidak semudah seperti yang didambakan. Namun usaha ke arah itu tak boleh berhenti. Pegangan pokok sudah diletakkan oleh Islam, yaitu Kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya. Siapa yang teguh berpegang pada dua-duanya pasti selamat, dan siapa yang meninggalkan dua-duanya pasti sesat. Itulah rupanya yang menjadi pemikiran Abu Hurairah dan Abu Darda untuk mencoba mendamaikan dua pihak yang berhadapan siap perang.
Misi Abu Hurairah
Diriwayatkan, bahwa Abu Hurairah dan Abu Darda sengaja datang dari Himsh untuk bertemu dengan Muawiyah di Shiffin. Kepada Muawiyah dua orang itu mengingatkan: "Hai Muawiyah, mengapa anda memerangi Ali bin Abi Thalib, padahal engkau tahu ia lebih berhak memegang kekhalifahan daripada anda, baik disebabkan karena keutamaan pribadinya, maupun oleh kediniannya memeluk Islam. Ia seorang dari kaum Muhajirin yang pertama, dan terdahulu pula dalam hal iman dan ihsan. Sedang anda seorang dari kaum thulaqa, dan ayah anda pun dulu seorang pemimpin kaum musyrikin dalam perang Ahzab melawan kaum muslimin."
"Demi Allah, aku ingin berkata terus terang kepada anda, bahwa kami ini lebih menyukai Irak daripada Syam. Tetapi kelestarian hidup, lebih kami sukai daripada kehancuran, dan kebaikan lebih kami sukai daripada kerusakan."
Terhadap pernyataan yang serba blak-blakan dari dua orang sahabat Rasulullah SAW itu, Muawiyah memberikan tanggapan: "Aku tidak menganggap diriku lebih berhak daripada Ali untuk memegang kekhalifahan. Aku memerangi dia hanya supaya ia mau meyerahkan orang-orang yang membunuh Utsman bin Affan kepadaku!"
"Seandainya Ali bin Abi Thalib mau menyerahkan mereka kepada anda," tanya Abu Hurairah dan Abu Darda, "lantas apakah yang kira-kira akan anda lakukan?"
"Aku akan bersikap seperti kaum muslimin yang lain," jawab Muawiyah.
"Cobalah kalian datang kepada Ali bin Abi Thalib. Jika ia menyerahkan para pembunuh Utsman itu kepada kalian, masalah kekhalifahan akan kuserahkan kepada kaum muslimin!"
Abu Hurairah dan Abu Darda memang bukan diplomat dan bukan pula orang-orang politik seperti Muawiyah atau Amr bin Al Ash. Mereka berdua itu orang-orang bertakwa, lugu dan polos. Tampaknya mereka tidak dapat meraba apa-apa yang ada di balik ucapan Muawiyah.
Mungkin dua orang itu menganggap Muawiyah sama dengan diri mereka, jujur, terus terang dan tidak bermain lidah. Pergilah dua orang itu meninggalkan kubu-kubu pertahanan Muawiyah menuju ke kubu-kubu pertahanan Ali bin Abu Thalib r.a. Setibanya di sana, mereka diterima oleh Al Asytar, yang ketika itu bertindak selaku Panglima pasukan Kufah.
Setelah Abu Hurairah dan Abu Darda menjelaskan maksud kedatangan mereka dan menyampaikan apa yang menjadi pendirian Muawiyah dan pendirian mereka sendiri, Al Asytar memberi jawaban: "Hai Abu Hurairah dan Abu Darda, kalian datang kepada orang-orang Syam bukan karena kalian menyukai Muawiyah. Kalian mengatakan Muawiyah hanya menuntut diserahkannya pembunuh-pembunuh Utsman."
"Dari siapa kalian bisa mengetahui para pembunuh itu? Apakah dari mereka yang melakukan pembunuhan itu sendiri, ataukah dari mereka yang memberi bantuan dalam pembunuhan? Atau kalian mendapat keterangan dari mereka yang memisahkan diri dari Utsman karena mereka tahu dosanya Utsman? Atau kalian mencari penjelasan dari Muawiyah yang menuduh bahwa pembunuh Utsman ialah Ali?"
"Wahai kawan-kawan," kata Al Asytar lebih lanjut, "Bertaqwalah kalian kepada Allah. Kami inilah yang menyaksikan sendiri, sedang kalian tidak mengetahui terjadinya peristiwa itu. Kamilah yang lebih dapat menetapkan hukumnya dibanding dengan orang-orang lain yang tidak menyaksikan sendiri terjadinya peristiwa itu!"
Setelah menerima penjelasan panjang lebar dari Al Asytar, keesokan harinya mereka bertemu dengan Ali bin Abu Thalib ra. Kepada Ali bin Abu Thalib, Abu Hurairah dan Abu Darda menerangkan: "Anda memang mempunyai keutamaan yang tidak dapat disangkal oleh siapa pun. Anda telah menempuh cara gagah berani dalam menghadapi orang-orang yang buruk perangai. Muawiyah minta supaya anda mau menyerahkan para pembunuh Utsman kepadanya. Jika anda sudah berbuat itu dan Muawiyah masih tetap memerangi anda, kami akan bersama-sama anda melawan dia."
"Apakah engkau tahu siapa-siapa yang membunuh Utsman?" tanya Ali bin Abu Thalib r.a. sambil tersenyum.
"Ya," jawab kedua orang itu dengan tak ragu-ragu.
Buku Sejarah Hidup Imam Ali ra karya H.M.H. Al Hamid Al Husai memaparkan keadaan yang sangat tragis itu benar-benar membingungkan kaum muslimin dalam memilih pihak. Mereka sudah pasti menghendaki kebahagiaan dunia dan akhirat.
Tentang kebahagiaan akhirat sudah tidak menjadi persoalan lagi, karena Islam telah memberikan penjelasan dengan gamblang. Yang sulit ialah bagaimana menetapkan definisi (pembatasan-pembatasan) tentang kebahagiaan dunia.
Pihak Syam berusaha meraihnya lewat jalan kekuasaan dan kekayaan. Sedang pihak Kufah berusaha mencapainya melalui jalan takwa kepada Allah swt dan patuh kepada teladan RasulNya.
Bagaimana menserasikan dua jalan itu tidak ditemukan pemecahannya oleh kaum muslimin pada zaman itu. Tetapi bagaimana pun juga, semua kaum muslimin adalah saudara. Semua ingin hidup rukun tentram, damai dan sejahtera.
Pikiran seperti itu tetap menjiwai kehidupan kaum muslimin sepanjang zaman, tetapi realisasinya tidak semudah seperti yang didambakan. Namun usaha ke arah itu tak boleh berhenti. Pegangan pokok sudah diletakkan oleh Islam, yaitu Kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya. Siapa yang teguh berpegang pada dua-duanya pasti selamat, dan siapa yang meninggalkan dua-duanya pasti sesat. Itulah rupanya yang menjadi pemikiran Abu Hurairah dan Abu Darda untuk mencoba mendamaikan dua pihak yang berhadapan siap perang.
Misi Abu Hurairah
Diriwayatkan, bahwa Abu Hurairah dan Abu Darda sengaja datang dari Himsh untuk bertemu dengan Muawiyah di Shiffin. Kepada Muawiyah dua orang itu mengingatkan: "Hai Muawiyah, mengapa anda memerangi Ali bin Abi Thalib, padahal engkau tahu ia lebih berhak memegang kekhalifahan daripada anda, baik disebabkan karena keutamaan pribadinya, maupun oleh kediniannya memeluk Islam. Ia seorang dari kaum Muhajirin yang pertama, dan terdahulu pula dalam hal iman dan ihsan. Sedang anda seorang dari kaum thulaqa, dan ayah anda pun dulu seorang pemimpin kaum musyrikin dalam perang Ahzab melawan kaum muslimin."
"Demi Allah, aku ingin berkata terus terang kepada anda, bahwa kami ini lebih menyukai Irak daripada Syam. Tetapi kelestarian hidup, lebih kami sukai daripada kehancuran, dan kebaikan lebih kami sukai daripada kerusakan."
Terhadap pernyataan yang serba blak-blakan dari dua orang sahabat Rasulullah SAW itu, Muawiyah memberikan tanggapan: "Aku tidak menganggap diriku lebih berhak daripada Ali untuk memegang kekhalifahan. Aku memerangi dia hanya supaya ia mau meyerahkan orang-orang yang membunuh Utsman bin Affan kepadaku!"
"Seandainya Ali bin Abi Thalib mau menyerahkan mereka kepada anda," tanya Abu Hurairah dan Abu Darda, "lantas apakah yang kira-kira akan anda lakukan?"
"Aku akan bersikap seperti kaum muslimin yang lain," jawab Muawiyah.
"Cobalah kalian datang kepada Ali bin Abi Thalib. Jika ia menyerahkan para pembunuh Utsman itu kepada kalian, masalah kekhalifahan akan kuserahkan kepada kaum muslimin!"
Abu Hurairah dan Abu Darda memang bukan diplomat dan bukan pula orang-orang politik seperti Muawiyah atau Amr bin Al Ash. Mereka berdua itu orang-orang bertakwa, lugu dan polos. Tampaknya mereka tidak dapat meraba apa-apa yang ada di balik ucapan Muawiyah.
Mungkin dua orang itu menganggap Muawiyah sama dengan diri mereka, jujur, terus terang dan tidak bermain lidah. Pergilah dua orang itu meninggalkan kubu-kubu pertahanan Muawiyah menuju ke kubu-kubu pertahanan Ali bin Abu Thalib r.a. Setibanya di sana, mereka diterima oleh Al Asytar, yang ketika itu bertindak selaku Panglima pasukan Kufah.
Setelah Abu Hurairah dan Abu Darda menjelaskan maksud kedatangan mereka dan menyampaikan apa yang menjadi pendirian Muawiyah dan pendirian mereka sendiri, Al Asytar memberi jawaban: "Hai Abu Hurairah dan Abu Darda, kalian datang kepada orang-orang Syam bukan karena kalian menyukai Muawiyah. Kalian mengatakan Muawiyah hanya menuntut diserahkannya pembunuh-pembunuh Utsman."
"Dari siapa kalian bisa mengetahui para pembunuh itu? Apakah dari mereka yang melakukan pembunuhan itu sendiri, ataukah dari mereka yang memberi bantuan dalam pembunuhan? Atau kalian mendapat keterangan dari mereka yang memisahkan diri dari Utsman karena mereka tahu dosanya Utsman? Atau kalian mencari penjelasan dari Muawiyah yang menuduh bahwa pembunuh Utsman ialah Ali?"
"Wahai kawan-kawan," kata Al Asytar lebih lanjut, "Bertaqwalah kalian kepada Allah. Kami inilah yang menyaksikan sendiri, sedang kalian tidak mengetahui terjadinya peristiwa itu. Kamilah yang lebih dapat menetapkan hukumnya dibanding dengan orang-orang lain yang tidak menyaksikan sendiri terjadinya peristiwa itu!"
Setelah menerima penjelasan panjang lebar dari Al Asytar, keesokan harinya mereka bertemu dengan Ali bin Abu Thalib ra. Kepada Ali bin Abu Thalib, Abu Hurairah dan Abu Darda menerangkan: "Anda memang mempunyai keutamaan yang tidak dapat disangkal oleh siapa pun. Anda telah menempuh cara gagah berani dalam menghadapi orang-orang yang buruk perangai. Muawiyah minta supaya anda mau menyerahkan para pembunuh Utsman kepadanya. Jika anda sudah berbuat itu dan Muawiyah masih tetap memerangi anda, kami akan bersama-sama anda melawan dia."
"Apakah engkau tahu siapa-siapa yang membunuh Utsman?" tanya Ali bin Abu Thalib r.a. sambil tersenyum.
"Ya," jawab kedua orang itu dengan tak ragu-ragu.