Ketika 175.000 Pasukan Muslimin Saling Bertempur di Antara Mereka Sendiri
loading...
A
A
A
SAMA seperti di medan-medan tempur lainnya, tiap tempat strategis pasti menjadi incaran pertama dari suatu gerakan militer. Dalam perang Shiffin , sungai Al Furat mempunyai nilai strategi yang sangat vital. Lebih-lebih dalam peperangan di zaman itu, di mana peperangan benar-benar merupakan adu tenaga dan kelincahan bermain senjata. Bukan hanya anggota-anggota pasukan saja yang membutuhkan air, melainkan ternak-ternak kendaraan seperti unta-unta dan kuda-kuda perang bahkan lebih banyak menghabiskan air daripada manusia.
Buku Sejarah Hidup Imam Ali ra karya H.M.H. Al Hamid Al Husaini memaparkan dalam perang Shiffin pihak yang menguasai sungai Al Furat pasti akan dapat bertahan lebih lama dibanding dengan pihak yang tidak memperoleh air cukup. Oleh karena itu pasukan Muawiyah yang datang lebih dulu di Shiffin, segera berusaha menduduki dan memperkuat posisi di daerah-daerah sekitar sungai Al Furat. Dengan tujuan untuk menguasai perbekalan air.
Dengan berhasil menguasai sungai itu, pasukan Syam yang berjumlah puluhan ribu orang tidak hanya terjamin kebutuhan airnya, tetapi sekaligus juga mereka akan dapat membuat pasukan lawan mati kehausan.
Setelah pasukan Syam menguasai sungai Al Furat, Muawiyah memerintahkan kepada semua anggota pasukan supaya jangan membiarkan ada seorang pun dari pasukan Ali bin Abu Thalib r.a. mengambil air dari sungai itu.
Dugaan memang tidak meleset. Pasukan Khalifah Ali bin Abu Thalib yang belum lama tiba dari Kufah sudah mulai kekurangan air minum. Mereka berusaha mendapatkan perbekalan air dari sungai.
Alangkah terkejutnya mereka, karena pasukan Syam dengan ketat sekali menjaganya agar pasukan Ali bin Abu Thalib tidak menginjakkan kaki di sepanjang tepi sungai itu. Ketika melihat ada beberapa orang pasukan Kufah mendekati sungai untuk mengambil air, pasukan Syam yang mengawal sungai itu berteriak-teriak melarang: "Tidak! Demi Allah, kalian takkan kami biarkan mengambil air barang setetes pun. Biarlah kalian mampus kehausan!"
Sambil berkata seperti itu ia menyiapkan busur dan anak panahnya. Anak buah Khalifah Ali bin Abu Thalib segera mundur, kembali ke induk pasukan, dan melapor kepada Ali bin Abu Thalib.
Khalifah Ali bin Abu Thalib menyadari benar, bahwa air sungai Al Furat sangat dibutuhkan oleh pasukannya dan hewan-hewan tunggangan. Jika pasukannya sampai tidak mendapat air berarti sudah kalah sebelum bertempur dan semua hewan tunggangan akan mati kehausan. Cepat-cepat Ali bin Abu Thalib r.a. mempersiapkan pasukan untuk melancarkan serangan kilat dan terbatas guna merebut lokasi yang sangat strategis itu.
Tak berapa lama kemudian terjadi pertempuran sengit antara kedua pasukan memperebutkan sungai Al-Furat. Dengan serangan kilat pasukan Syam terusir dari posisinya yang strategis dan pasukan Kufah bersama hewan tunggangannya dapat minum sepuas-puasnya.
Pasukan Syam kini menghadapi keadaan sebaliknya. Sekarang mereka menderita kepanasan dan kehausan setengah mati.
Beberapa sahabat Ali bin Abu Thalib r.a. mengusulkan supaya pasukan Syam jangan diberi kesempatan sama sekali mengambil air sungai: "Biar mereka mampus digorok kehausan! Kita tidak perlu susah-susah memerangi mereka."
Menanggapi usul tersebut Ali bin Abu Thalib r.a. berkata: "Demi Allah, tidak! Aku tak akan membalas dengan perbuatan seperti yang mereka lakukan terhadap kita. Berilah mereka kesempatan mengambil air minum. Keberanian kita mengadu pedang tidak membutuhkan perbuatan semacam itu!"
Orang-orang yang mendengar jawaban Ali bin Abu Thalib r.a. setegas itu merasa kagum terhadap sifat ksatriaannya. Sewaktu pasukan Syam datang mengambil air dari sungai, dengan penuh disiplin tak ada seorang pun dari pasukan Ali bin Abu Thalib r.a. yang menghalang-halangi.
Pasukan Ali bin Abu Thalib r.a. yang bertugas mengawal tepi sungai, sama sekali tidak memperlihatkan kesombongan karena menang. Banyak di antara anggota-anggota pasukan Muawiyah karena rasa kagumnya ingin menyeberang ke pihak Ali bin Abu Thalib r.a. Hanya saja mereka tidak mempunyai keberanian untuk melakukannya. Khawatir, kalau-kalau para anggota keluarga yang ditinggalkan di Syam akan mengalami tekanan dan berbagai kesulitan.
Pada tahap pertama pertempuran antara kedua pasukan itu hanya berlangsung secara kecil-kecilan saja, yaitu satu lawan satu, kelompok lawan kelompok. Pertempuran belum melibatkan seluruh pasukan.
Beberapa ahli sejarah menaksir pasukan yang berada di bawah pimpinan Khalifah Ali bin Abu Thalib r.a. berjumlah kurang lebih 100.000 orang. Pasukan ini dikenal sebagai "pasukan Iraq".
Sedangkan pasukan Muawiyah yang disebut sebagai "pasukan Syam" berjumlah kurang lebih 75.000 orang. Jadi di medan perang Shiffin pada akhir tahun 36 Hijriyah itu telah terkumpul tidak kurang 175.000 orang prajurit Islam.
Yang menarik bukan hanya karena besarnya jumlah pasukan tersebut. Sebab, sebelum itu pasukan Islam yang besar jumlahnya telah pernah bergerak dalam pertempuran menghadapi pasukan musuh, yang bukan Islam. Sedang kali ini 175.000 orang pasukan muslimin itu saling bertempur di antara mereka sendiri.
Sampai pada akhir bulan Haji tahun itu, di medan perang Shiffin hanya terjadi pertempuran kecil-kecil. Sedang pada bulan Muharram --bulan suci-- sebagai sesama pasukan muslimin, kedua pasukan itu dengan kesadaran masing-masing hanya saling berhadapan tanpa melakukan pertempuran.
Setelah bulan Safar tiba berkobar lagi pertempuran kecil-kecilan. Melihat hal ini Ali bin Abu Thalib r.a. tidak bisa bersabar lagi. Keadaan ini hanya mengulur-ulur waktu dan bisa berlarut-larut. Yang untung hanya Muawiyah, yang mempergunakan kesempatan itu guna menyebar fitnah untuk mematahkan semangat pasukan Ali bin Abu Thalib.
Khalifah Ali bin Abu Thalib r.a. segera mengeluarkan perintah serangan umum. Muawiyah yang juga telah menyiapkan pasukan segera bangkit menghadapi serangan besar itu. (Bersambung)
Buku Sejarah Hidup Imam Ali ra karya H.M.H. Al Hamid Al Husaini memaparkan dalam perang Shiffin pihak yang menguasai sungai Al Furat pasti akan dapat bertahan lebih lama dibanding dengan pihak yang tidak memperoleh air cukup. Oleh karena itu pasukan Muawiyah yang datang lebih dulu di Shiffin, segera berusaha menduduki dan memperkuat posisi di daerah-daerah sekitar sungai Al Furat. Dengan tujuan untuk menguasai perbekalan air.
Dengan berhasil menguasai sungai itu, pasukan Syam yang berjumlah puluhan ribu orang tidak hanya terjamin kebutuhan airnya, tetapi sekaligus juga mereka akan dapat membuat pasukan lawan mati kehausan.
Setelah pasukan Syam menguasai sungai Al Furat, Muawiyah memerintahkan kepada semua anggota pasukan supaya jangan membiarkan ada seorang pun dari pasukan Ali bin Abu Thalib r.a. mengambil air dari sungai itu.
Dugaan memang tidak meleset. Pasukan Khalifah Ali bin Abu Thalib yang belum lama tiba dari Kufah sudah mulai kekurangan air minum. Mereka berusaha mendapatkan perbekalan air dari sungai.
Alangkah terkejutnya mereka, karena pasukan Syam dengan ketat sekali menjaganya agar pasukan Ali bin Abu Thalib tidak menginjakkan kaki di sepanjang tepi sungai itu. Ketika melihat ada beberapa orang pasukan Kufah mendekati sungai untuk mengambil air, pasukan Syam yang mengawal sungai itu berteriak-teriak melarang: "Tidak! Demi Allah, kalian takkan kami biarkan mengambil air barang setetes pun. Biarlah kalian mampus kehausan!"
Sambil berkata seperti itu ia menyiapkan busur dan anak panahnya. Anak buah Khalifah Ali bin Abu Thalib segera mundur, kembali ke induk pasukan, dan melapor kepada Ali bin Abu Thalib.
Khalifah Ali bin Abu Thalib menyadari benar, bahwa air sungai Al Furat sangat dibutuhkan oleh pasukannya dan hewan-hewan tunggangan. Jika pasukannya sampai tidak mendapat air berarti sudah kalah sebelum bertempur dan semua hewan tunggangan akan mati kehausan. Cepat-cepat Ali bin Abu Thalib r.a. mempersiapkan pasukan untuk melancarkan serangan kilat dan terbatas guna merebut lokasi yang sangat strategis itu.
Tak berapa lama kemudian terjadi pertempuran sengit antara kedua pasukan memperebutkan sungai Al-Furat. Dengan serangan kilat pasukan Syam terusir dari posisinya yang strategis dan pasukan Kufah bersama hewan tunggangannya dapat minum sepuas-puasnya.
Pasukan Syam kini menghadapi keadaan sebaliknya. Sekarang mereka menderita kepanasan dan kehausan setengah mati.
Beberapa sahabat Ali bin Abu Thalib r.a. mengusulkan supaya pasukan Syam jangan diberi kesempatan sama sekali mengambil air sungai: "Biar mereka mampus digorok kehausan! Kita tidak perlu susah-susah memerangi mereka."
Menanggapi usul tersebut Ali bin Abu Thalib r.a. berkata: "Demi Allah, tidak! Aku tak akan membalas dengan perbuatan seperti yang mereka lakukan terhadap kita. Berilah mereka kesempatan mengambil air minum. Keberanian kita mengadu pedang tidak membutuhkan perbuatan semacam itu!"
Orang-orang yang mendengar jawaban Ali bin Abu Thalib r.a. setegas itu merasa kagum terhadap sifat ksatriaannya. Sewaktu pasukan Syam datang mengambil air dari sungai, dengan penuh disiplin tak ada seorang pun dari pasukan Ali bin Abu Thalib r.a. yang menghalang-halangi.
Pasukan Ali bin Abu Thalib r.a. yang bertugas mengawal tepi sungai, sama sekali tidak memperlihatkan kesombongan karena menang. Banyak di antara anggota-anggota pasukan Muawiyah karena rasa kagumnya ingin menyeberang ke pihak Ali bin Abu Thalib r.a. Hanya saja mereka tidak mempunyai keberanian untuk melakukannya. Khawatir, kalau-kalau para anggota keluarga yang ditinggalkan di Syam akan mengalami tekanan dan berbagai kesulitan.
Pada tahap pertama pertempuran antara kedua pasukan itu hanya berlangsung secara kecil-kecilan saja, yaitu satu lawan satu, kelompok lawan kelompok. Pertempuran belum melibatkan seluruh pasukan.
Beberapa ahli sejarah menaksir pasukan yang berada di bawah pimpinan Khalifah Ali bin Abu Thalib r.a. berjumlah kurang lebih 100.000 orang. Pasukan ini dikenal sebagai "pasukan Iraq".
Sedangkan pasukan Muawiyah yang disebut sebagai "pasukan Syam" berjumlah kurang lebih 75.000 orang. Jadi di medan perang Shiffin pada akhir tahun 36 Hijriyah itu telah terkumpul tidak kurang 175.000 orang prajurit Islam.
Yang menarik bukan hanya karena besarnya jumlah pasukan tersebut. Sebab, sebelum itu pasukan Islam yang besar jumlahnya telah pernah bergerak dalam pertempuran menghadapi pasukan musuh, yang bukan Islam. Sedang kali ini 175.000 orang pasukan muslimin itu saling bertempur di antara mereka sendiri.
Sampai pada akhir bulan Haji tahun itu, di medan perang Shiffin hanya terjadi pertempuran kecil-kecil. Sedang pada bulan Muharram --bulan suci-- sebagai sesama pasukan muslimin, kedua pasukan itu dengan kesadaran masing-masing hanya saling berhadapan tanpa melakukan pertempuran.
Setelah bulan Safar tiba berkobar lagi pertempuran kecil-kecilan. Melihat hal ini Ali bin Abu Thalib r.a. tidak bisa bersabar lagi. Keadaan ini hanya mengulur-ulur waktu dan bisa berlarut-larut. Yang untung hanya Muawiyah, yang mempergunakan kesempatan itu guna menyebar fitnah untuk mematahkan semangat pasukan Ali bin Abu Thalib.
Khalifah Ali bin Abu Thalib r.a. segera mengeluarkan perintah serangan umum. Muawiyah yang juga telah menyiapkan pasukan segera bangkit menghadapi serangan besar itu. (Bersambung)
(mhy)