Kisah Perlawanan Sengit Kaum Khawarij Terhadap Khalifah Ali bin Abu Thalib

Minggu, 07 Februari 2021 - 18:22 WIB
loading...
Kisah Perlawanan Sengit Kaum Khawarij Terhadap Khalifah Ali bin Abu Thalib
Ilustrasi Ali Bin Abi Thalib/Ist/mhy
A A A
Ali bin Abu Thalib r.a. adalah seorang yang tidak pernah berbuat sesuatu yang berlainan antara ucapan dan perbuatan. Ia menolak keras hasil perundingan antara Abu Musa dengan Amr bin Al-Ash , tetapi karena ia telah menyatakan kesediaan menerima "tahkim" --walaupun hanya karena ia ditekan oleh pengikutnya-- prinsip itu dipertahankan dengan konsekuen, selama pihak lawan benar-benar hendak mencari penyelesaian berdasarkan hukum Al-Qur'an .



Hal ini dapat dibuktikan dengan penjelasan-penjelasan yang diberikan kepada beberapa orang pengikutnya yang mengajukan pertanyaan.

Dalam penjelasannya itu Khalifah Ali bin Abu Thalib r.a. mengatakan: "Kami menerima tahkim. Oleh karena itu tahkim harus didasarkan kepada Kitab Allah, Al-Qur'an. Al-Qur'an itu tertulis pada lembaran-lembaran. Al-Qur'an tidak berbicara dengan lisan dan tidak bisa tidak memerlukan penafsiran. Penafsiran itu sudah tentu keluar dari ucapan orang. Setelah mereka minta kepada kami supaya kami mengadakan penyelesaian berdasarkan tahkim Al-Qur'an, kami tidak mau menjadi pihak yang berdiri di luar Al-Qur'an. Sebab Allah 'Azaa wa Jalla telah berfiman, artinya: "Jika kalian bertengkar mengenai sesuatu, maka kembalikanlah hal itu kepada Allah dan Rasul-Nya." (QS An Nisa: 59).

"Mengembalikan persoalan kepada Allah," kata Ali bin Abu Thalib r.a. seterusnya, "berarti kami harus mencari penyelesaian hukum di dalam Kitab Allah. Dan mengembalikan persoalan kepada Rasul-Nya, berarti kami harus mengambil sunnah Rasul Allah. Jika persoalan benar-benar hendak diselesaikan berdasar hukum yang ada dalam Kitab Allah, sesungguhnyalah kami lebih berhak berbuat daripada orang lain. Dan kalau hendak diselesaikan berdasarkan sunnah Rasul Allah, pun kami jugalah yang lebih berhak daripada orang lain."

Adapun ucapan mereka yang mengatakan: 'mengapa diadakan tenggang waktu (gencatan senjata) dalam menempuh jalan tahkim?'

Kata Ali bin Abu Thalib r.a. lebih lanjut, "hal itu kami lakukan agar menjadi jelas bagi orang yang tidak mengerti, dan agar menjadi mantap bagi orang yang sudah mengerti. Mudah-mudahan selama gencatan senjata itu Allah akan memperbaiki keadaan ummat, agar menjadi terang, dan awal kesesatan itu dapat segera diluruskan."

"Sesungguhnya yang paling afdhal di sisi Allah," kata Ali bin Abu Thalib r.a. pula, "ialah orang yang lebih menyukai berbuat kebenaran walau kebenaran itu mendatangkan kesukaran dan kerugian baginya. Yaitu orang yang pantang berbuat kebatilan, walau kebatilan itu akan mendatangkan kemudahan dan keuntungan baginya. Jadi, bagaimanakah kalian sampai menjadi bingung, dan dari manakah keraguan yang menghinggapi pikiran kalian?"

Digugat
Setelah ternyata politik tahkim itu benar-benar hanya tipu muslihat Muawiyah , kelompok kontra tahkim yang terdapat dalam pasukan Ali bin Abu Thalib r.a. menggugat, mengungkit dan melemparkan segala kesalahan kepada pundak Ali bin Abu Thalib r.a.

Lebih aneh lagi karena banyak yang tadinya pro tahkim, setelah kelompok kontra tahkim bergerak, mereka ikut-ikutan menentang Ali bin Abu Thalib r.a. dan bergabung dengan kelompok kontra tahkim.



Kelompok kontra tahkim itu dalam sejarah dikenal dengan nama Khawarij (orang-orang yang keluar meninggalkan barisan Ali bin Abu Thalib r.a.).

Pada suatu hari kelompok ini berkumpul di rumah Abdullah bin Wahb Ar Rasibiy. Di tempat pertemuan ini tampil tokoh-tokoh mereka bergantian beragitasi membakar semangat perlawanan terhadap Ali bin Abu Thalib r.a.

Abdullah Ar Rasibiy dalam pidatonya mengatakan: "Saudara-saudara, bagi kaum yang beriman kepada Allah Ar Rahman, yang patuh kepada hukum Al-Qur'an, kehidupan dunia ini harus diisi dengan amr ma'ruf dan nahi mungkar, serta dengan perkataan yang benar walau pahit dan berbahaya."

"Sekalipun pahit dan berbahaya, tetapi pada hari kiamat kelak orang akan memperoleh keridhoan Allah dan kekal menikmati kehidupan surga. Oleh karena itu marilah kita keluar meninggalkan negeri yang penduduknya sudah menjadi zalim ini dan pergi ke daerah lain! Kita harus menolak bid'ah yang sesat ini (yakni: tahkim) dan menentang hukum yang durhaka!"

Sedang Hurqush bin Zuhair berkata: "Saudara-saudara, kesenangan di dunia ini sungguh amat sedikit. Tidak ayal lagi, kita ini pasti akan berpisah dengan dunia. Oleh karena itu kalian jangan sampai merasa terikat oleh keindahan dan kegemerlapannya, atau ingin tetap hidup selama-lamanya! Janganlah kalian lengah dari kewajiban menuntut kebenaran dan menentang kebatilan. Sesungguhnya Allah senantiasa beserta orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebajikan."

"Hai saudara-saudara," lanjutnya, "Kita sudah bersepakat bulat mengenai kebenaran itu. Sekarang angkatlah salah seorang dari kalian sebagai pemimpin. Sebab bagaimana pun juga kalian tetap memerlukan tiang untuk bersandar, dan membutuhkan adanya suatu lambang di mana kalian akan berhimpun di sekitarnya dan kembali kepadanya."

Habis berkumpul di rumah Abdullah Ar Rasibiy, mereka pergi bersama-sama ke rumah Zafr bin Hushn At Tha'iy.

Di rumah ini Zafr beragitasi dengan hebatnya: "Hai saudara-saudara, sebenarnya kita ini telah berjanji setia kepada Allah SWT untuk berbuat amr ma'ruf dan nahi mungkar, berkata benar dan berjuang menegakkan jalan yang lurus."

"Allah sudah memerintahkan kepada Rasul-Nya, Daud: 'Hai Daud, engkau telah kami jadikan Khalifah di bumi, maka laksanakanlah hukum dengan adil di antara sesama manusia, dan janganlah engkau menuruti hawa nafsu, sebab hal itu akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan memperoleh siksa amat berat" (As Shad:26).

"Juga Allah telah berfirman," kata Zafr: "Barang siapa tidak menetapkan hukum menurut apa yang telah diturunkan Allah, mereka itu adalah orang-orang kafir." (Al-Ma'idah: 44).
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2182 seconds (0.1#10.140)