Diragukan, Kebenaran Kisah Masyithoh Saat Rasulullah Isra' Mi'raj

Selasa, 23 Februari 2021 - 05:00 WIB
loading...
Diragukan, Kebenaran Kisah Masyithoh Saat Rasulullah Isra Miraj
Ilustrasi/Ist
A A A
MEMBACA kisah, memang asyik dan menyenangkan, penuh dengan ibrah dan pelajaran, apalagi kisah para nabi dan orang-orang shalih , tentulah sarat dengan mutiara-mutiara hikmah yang sangat berharga. Tentang kisah para nabi, Allah SWT berfirman:

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ

Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal. (QS Yusuf: 111)



Adapun kisah orang-orang shalih, Imam Sufyan bin ‘Uyainah berkata: “Ketika membicarakan kisah mereka, turunlah rahmat Allah SWT."

Sebagian orang menganggap ucapan ini sebagai hadis, padahal tidak ada asalnya dari Nabi, yang benar itu adalah ucapan Sufyan bin ‘Uyainah sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh al-‘Iraqi dan Ibnu Hajar. (Lihat Al-Maqoshidul Hasanah as-Sakhawi hlm. 338 dan al-Asror al-Marfu’ah Mula Ali al-Qori hlm. 240).

Sungguh alangkah indahnya ucapan seorang penyair:

Ceritakanlah kepadaku tentang kisah mereka wahai sahabatku. Sungguh kisah mereka dapat mencairkan hati yang membeku.

Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi dalam bukunya berjudul " Waspada Terhadap Kisah-kisah Tak Nyata " mengatakan pengetahuan tentang kisah memang asyik lagi menarik. Tetapi sayang, pengetahuan yang mulia ini telah ternodai oleh goresan tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, dengan memutarbalikkan fakta sejarah yang sebenarnya, lalu menebarkan kisah-kisah yang tidak shahih.

Ironisnya, justru kisah-kisah itulah yang banyak beredar dan banyak dikomsumsi masyarakat, padahal kebanyakan kisah-kisah tersebut mengandung kerusakan aqidah , celaan kepada para Nabi dan ulama serta dampak negatif lainnya.

"Maka hendaknya bagi kita untuk berhati-hati dan mengoreksi terlebih dahulu tentang keshahihan kisah sebelum kita menyampaikannya," paparnya.

Salah satu kisah yang dianggap bermasalah itu adalah kisah Masyithoh (Masyithoh artinya wanita tukang sisir).



Kisahnya adalah sebagai berikut:

Pada malam saat Nabi Muhammad SAW melakukan perjalanan isra’ ditemani oleh Jibril , beliau mencium aroma yang wangi, lalu bertanya: “Wahai Jibril, aroma wangi apa ini?”

Jibril menjawab: “Ini adalah aroma Masyithah putri Fir’aun beserta anak-anaknya”.

Nabi bertanya: “Bagaimana ceritanya?”

Jibril menjawab: “Pada suatu hari, tatkala dia tengah menyisir rambut putri Fir’aun, tiba-tiba sisirnya jatuh dari tangannya lantas dengan reflek dia berkata: ‘Bismillah (dengan nama Allah)’.

Sang Putri bertanya: 'Ayahanda?'.

'Tidak', jawabnya. 'Tetapi Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah'.

Putri berkata: ‘Saya akan laporkan kepada ayahanda’.

Dia menyahut, ‘Silakan’.

Fir’aun lantas memanggilnya seraya bertanya: ‘Wahai fulanah, apakah ada Tuhan selain diriku?’


Jawabnya: ‘Ya, Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah’.

Mendengar jawabannya, Fir’aun berang dan memerintahkan kepada anak buahnya agar memanaskan patung sapi hingga meleleh lalu menyuruh agar tukang sisir beserta anak-anaknya dilemparkan ke dalamnya?

Masyithah berkata: ‘Sebelum saya meninggal, saya memohon kepadamu satu permohonan’.

‘Apa permohonanmu?’ tanya Fir’aun.

Dia menjawab: ‘Saya mohon agar tuan nanti mengumpulkan tulangku dan tulang anak-anakku dalam satu kafan lalu tuan kuburkan kami’.

Fir’aun berkata: ‘Itu adalah hal yang sangat mudah’.

Akhirnya, anak-anaknya dilemparkan satu persatu di hadapannya sehingga tiba giliran bocah bayinya yang masih disusuinya, seakan-akan sang ibu terlambat disebabkan rasa iba terhadap bayinya.

Ketika itu, bayinya dapat berbicara: ‘Wahai ibu, masuklah! Sesungguhnya siksaan di dunia lebih ringan daripada siksa Akhirat’.

Ibnu Abbas ra mengatakan: Ada empat bayi yang dapat berbicara, Isa bin Maryam, shahib Juraij, saksi Yusuf dan anak Masyithoh (tukang sisir) Fir’aun.

Takhrij Kisah
Kisah ini juga sangat masyhur sekali. Diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnadnya (1/309) At-Thobaroni dalam Al-Mu’jamul Kabir (11/450) dan Al-Bazzar sebagaimana dalam Kasyful Astar (1/37) seluruhnya dari jalan Hammad bin Salamah dari Atho’ bin Saib dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas.

Derajat kisah dhoif. Disebabkan Atho’ bin Saib, beliau mengalami perubahan hafalan di akhir hidupnya. Hal ini dalam bidang ilmu mustholah hadits disebut Mukhtalith.

Dari penjelasan para pakar ahli hadits dapat disimpulkan bahwa Hammad bin Salamah meriwayatkan dari Atho’ sebelum berubah hafalan dan juga setelah berubah hafalannya.

Oleh karena itu, maka riwayatnya tertolak disebabkan tidak bisa dibedakan.

Syaikh Al-Albani mengatakan: “Atho’ bin Saib telah berubah hafalannya. Hammad bin Salamah meriwayatkan darinya sebelum hafalannya berubah dan sesudahnya juga, berbeda dengan dugaan sebagian orang-orang masa kini”. [Ad-Dho’ifah (2/272 no.880].

Beliau juga berkata: “Sebagian rowi meriwayatkan hadis dari mukhtalith (berubah hafalannya) sebelum dan sesudahnya. Di antara mereka adalah Hammad bin Salamah, beliau mendengar dari Atho’ sebelum dan sesudah perubahan hafalan Atho’ sebagaimana dijelaskan Al-Hafidz dalam At-Tahdzib.

Dengan demikian, maka tidak boleh berhujjah dengan hadisnya, berbeda dengan sebagaian ulama ahli hadits masa kini. Semoga Allah SWT mengampuni kita dan mengampuninya”. [Ad-Dho’ifah (3/165 no.1053)].

Kesimpulannya, kisah ini adalah dha’if sehingga kita temukan penguatnya. Kisah ini dilemahkan oleh Syaikh al-Albani dalam ban yak kitabnya. [Al-Isro’ wal Mi’raj hal. 80, Dho’if Jami Shoghir: 10242].
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1449 seconds (0.1#10.140)