Kapan Batas Waktu Meng-qadha Puasa Ramadhan?

Rabu, 17 Maret 2021 - 14:56 WIB
loading...
Kapan Batas Waktu Meng-qadha Puasa Ramadhan?
Perempuan memiliki kekhususan, karena tidak mungkin melaksanakan puasa penuh selama Ramadhan. Karenanya, seringkali ada catatan utang puasa yang harus diganti. Namun tentang batas waktu membayar utang puasa ini ada perbedaan pendapat di kalangan ulama.
A A A
Menjelang kedatangan bulan suci Ramadhan, sebagai umat muslim kita dianjurkan mempersiapkan diri dari segi fisik, mental maupun ibadah. Namun, bagi sebagian kalangan muslimah menyambut bulan suci ini kadang-kadang mengalami kebingungan , terutama terkait waktu untuk meng-qadha puasa. Adakah batas waktu untuk meng-qadha puasa Ramadhan sebelumnya?



Perempuan muslimah memang memiliki kekhususan , karena tidak mungkin melaksanakan puasa penuh selama Ramadhan. Karenanya, seringkali ada catatan utang puasa yang harus diganti. Kewajiban mengganti utang puasa, Allah sebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 185, “......Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS Al Baqarah : 185)

Terkait waktu membayar puasa, apalagi saat ini sudah memasuki bulan Sya'ban ada beberapa pendapat dari kalangan ulama. Dinukil dari beberapa sumber, pendapat pertama seseorang boleh menqadha puasa, meskipun sudah jatuh bulan Sya'ban. Dalil ini diperkuat oleh perkataan dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha.



Suatu ketika ia baru mampu mengqadha puasa saat bulan Sya'ban karena beliau begitu maksimal dalam melayani Rasulullah. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Bukhari. “Dulu aku memiliki utang puasa Ramadhan, sementara aku tidak bisa mengqadha’nya kecuali sampai bulan Sya’ban, karena sibuk melayani Rasulullah Shallallahu‘alaihi wa sallam.” (HR Bukhari dan Muslim)

Namun, ada juga yang berpendapat yang mengatakan adanya larangan berpuasa saat pertengahan Sya'ban. Artinya, jika belum pertengahan Sya'ban, maka masih bisa untuk menqadhanya. Dalil ini diperkuat menurut riwayat Abu Daud dan Imam Bukhari. Rasulullah bersabda, “Jika sudah masuk pertengahan Sya’ban, janganlah berpuasa.” (HR Abu Dawud dan Bukhari)



Dalam hadis yang lain, diterangkan Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian berpuasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan, kecuali seseorang yang punya kebiasaan puasa sunnah, maka bolehlah ia berpuasa.”

Namun dari kedua hadis tersebut, ada pengecualian bagi seseorang yang punya kebiasaan puasa sunnah. Maka diperbolehkan baginya berpuasa. Karena, Rasulullah merutinkan berpuasa selama Sya’ban. Bahkan pada suatu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, dikatakan bahwa beliau melakukan puasa Sya’ban sebulan penuh.

Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan, “Belum pernah Nabi Shallallahu‘alaihi wa sallam berpuasa satu bulan yang lebih banyak dari pada puasa bulan Sya’ban. Terkadang hampir beliau berpuasa Sya’ban sebulan penuh.” (HR. Bukhari dan Muslim).



Kewajiban Qadha yang Tertunda

Para ulama juga berbeda dalam menyikapi kewajiban qadha yang tertunda (melewati Ramadhan berikutnya). Kalau tertundanya pelaksanaan qadha itu atas dasar alasan syar’i, seperti sakit sepanjang tahun atau hal-hal lain yang menyulitkannya untuk mengganti, para ulama sepakat hanya berkewajiban mengganti puasa (qadha) saja.

Namun, bila tertundanya itu tanpa alasan syar’i, menurut ulama mazhab Maliki, Syafi’i, Hanbali, dan banyak ulama lainnya, ia berkewajiban mengganti (qadha) dan membayar kaffârah (penutup dosa) akibat keterlambatan itu.

Kaffârah itu berupa fidyah (tebusan) dengan memberi makan seorang miskin. Besar fidyahnya adalah satu mud makanan pokok, sebanyak hari yang ditinggalkannya.



Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang ukuran mud. Satu mud menurut ulama mazhab Hanafi adalah dua rithl Iraqi atau sekitar 812,5 gram (2 x 406,25 gram).

Menurut mayoritas ulama (jumhur), satu mud itu sama dengan satu sepertiga rithl Iraqi atau 510 gram (1,333 x 382,5 gram). Kalau penundaannya bertahun-tahun, menurut mazhab Syafi’i, fidyahnya berlipat sebanyak tahun yang tertunda.

Memang ada ulama lain dari kalangan mazhab Hanafi dan Imam al-Nakha’i mengatakan, tidak berkewajiban untuk membayar fidyah sebab tidak ada landasannya dari hadis-hadis yang sahih dari Nabi kecuali hanya pendapat atau riwayat dari para sahabat.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2435 seconds (0.1#10.140)