Hukum Menghidupkan Malam Nisfu Syaban (2)
loading...
A
A
A
Pengasuh Yayasan Al-Hawthah Al-Jindaniyah, Al-Habib Ahmad Bin Novel Bin Salim Bin Jindan menerangkan hukum menghidupkan makam Nisfu Syaban. Berikut penjelasan beliau saat mengisi daurah bertema Keutamaan Bulan Syaban.
Al-Imam Ishak Ibnu Rohaweih (seorang ahli hadits besar dan guru dari Al Imam Al-Bukhari) menyatakan bahwa memakmurkan malam Nisfu Sya'ban di masjid dengan beribadah kepada Allah bukanlah perkara yang bid'ah. Pernyataan Al Imam Ishak Ibnu Rohaweih itu diriwayatkan oleh Harb Al Karmani dalam Al Masail. Beberapa ulama lain juga berpendapat bahwa memakmurkan malam Nisfu Sya'ban dengan beribadah adalah bukan perkara yang dilarang oleh agama. Namun mereka berpendapat bahwa memakmurkannya di rumah (bukan secara berkelompok di masjid) adalah lebih baik.
Di antara mereka adalah Imam Al-Auza’i (salah seorang pemimpin ulama di Negeri Syam). Diriwayatkan oleh Imam Al Baihaki dalam As Sunan Al Kubro bahwa Imam Asy Syafi’i telah berkata: "Telah sampai kepada kami bahwa doa dikabulkan oleh Allah pada 5 malam, yaitu malam Jumat, malam Idul Fitri, malam Idul Adha, malam pertama bulan Rajab, dan malam Nisfu Sya’ban."
Sebagaimana diriwayatkan oleh Amiril Mukminin Umar Ibnu ‘Aziz menuliskan surat kepada wakil atau gubernurnya di Basrah, "Hendaknya engkau memperhatikan 4 malam dalam 1 tahun, karena sesungguhnya Allah mencurahkan rahmat‐Nya yang sangat besar pada 4 malam tersebut, yaitu malam pertama pada bulan suci Rajab, malam Nisfu Sya’ban, malam Idul Fitri, dan malam Idul Adha."
"Apa yang kami paparkan di atas adalah beberapa kutipan yang dinyatakan oleh para ulama besar, walaupun di sana juga banyak ulama lain yang tidak menyetujui tentang malam Nisfu Sya’ban. Namun ketidaksetujuan mereka adalah ijtihad mereka, sebab memakmurkan malam Nisfu Sya’ban dengan ibadah kepada Allah adalah permasalahan ijtihad (masalah far’iyah/masalah cabang, bukan masalah akidah)," kata Habib Ahmad yang juga lulusan Hadhramaut Yaman.
Ini adalah masalah yang luas, yang memerlukan kelapangan dada. Bagi yang menyetujuinya silakan dan bagi yang tidak menyetujuinya pun silahkan. Perkara ijtihad disebutkan oleh Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم. "Orang yang berijtihad, apabila dia benar dalam ijtihadnya maka mendapatkan 2 pahala dari Allah Subhanahu wa ta’ala, dan apabila dia salah dalam ijtihadnya maka mendapatkan 1 pahala dari Allah."
Di antara hadits yang shahih ialah yang diriwayatkan oleh Al Imam At Tabrani, sebagaimana telah diriwayatkan dan sishahihkan oleh Al Imam Ibnu Hibban dari Muadz bin Jabbal bahwa Rasulullah bersabda:
يطلع االله إلى جميع خلقه ليلة النصف من شعبان فيغفر لجميع خلقه إلا لمشرك أو مشاحن
"Allah memberikan perhatian‐Nya kepada seluruh makhluk‐Nya pada malam Nisfu Sya’ban. Dan Allah mengampuni seluruh makhluk‐Nya kecuali orang yang musyrik dan orang yang saling berdengki satu sama lain."
Di antara hadits kemuliaan malam Nisfu Sya'ban adalah yang iriwayatkan oleh Al Bazar dan Imam Baihaki dari Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
ينزل االله إلى السماء الدنيا ليلة النصف من شعبان فيغفر لكل شيء إلا لرجل مشرك أو رجل في قلبه شحناء
"Allah turun ke langit dunia ini dengan menurunkan rahmat‐Nya pada malam Nisfu Sya’ban, sehingga Allah mengampuni segala sesuatu kecuali orang yang musyrik dan orang yang di dalam hatinya terdapat kedengkian."
Berkata Al-Hafidz Al Mundziri bahwa Isnaduhu La Ba'sa bihi yakni sanad hadits ini tidak ada keburukan. Al-Ustaz Nashiruddin Al-Albani, walaupun banyak dari ulama‐ulama ahli hadits di berbagai penjuru dunia tidak menganggapnya sebagai pakar hadits, dan sangat banyak kitab yang ditulis untuk membantah pendapat‐pendapat menyimpang Al-Albani, namun saya ingin mengutip suatu hadits dari karya beliau karena banyak dari kelompok‐kelompok yang mengingkari kemulian malam Nisfu Sya'ban adalah orang‐orang yang bertumpu dan fanatik berpegang kepada segala pendapat beliau.
Dalam suatu karya beliau yang berjudul Shahih Ibn Maajah yang merangkum seluruh hadits‐hadits shohih Ibn Maajah. Pada jilid 1 halaman 414‐415 Ustaz Nashiruddin Al-Albani mengutip suatu hadits dari sahabat Abu Musa Al Asy'ary dari Rasulullah bersabda:
إن االله ليطلع في ليلة النصف من شعبان فيغفر لجميع خلقه إلا لمشرك و مشاحن
"Sesungguhnya Allah memandang pada malam Nisfu Sya'ban, maka Allah mengampuni seluruh makhluk‐Nya kecuali orang musyrik dan orang yang mendengki".
Ketiga hadits di atas cukup untuk menjadi landasan kemuliaan malam Nisfu Sya’ban agar dimakmurkan dan diistimewakan. Al-Imam Abdullah bin Muhammad Al‐Ghumari membawakan sekitar 10 hadits yang menyebutkan kemuliaan malam Nisfu Sya’ban, sebagaimana Imam Ibnu Rajab Al Hambali di dalam Kitabnya yaitu Lathaiful Ma’arif juga meriwayatkan beberapa hadis tentang kemuliaan malam Nisfu Sya’ban, sebagaimana Imam Suyuti di dalam tafsirnya yaitu Ad Durr Al Mantsur juga menyebutkan tentang kemuliaan malam Nisfu Sya’ban. Dan masih banyak ulama‐ulama besar lainnya yang menyebutkan hadits‐hadits tentang kemuliaan malam Nisfu Sya’ban.
Walaupun hadits dhaif tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dan lndasan hukum, namun dapat dijadikan sebagai landasan di dalam fadhail a'mal (keutamaan beramal) dengan syarat‐syaratnya. Ketika banyak hadits dhaif yang meriwayatkan tentang perkara tertentu, maka status kedha’ifannya terangkat menjadi kuat dengan banyaknya dukungan dari hadits dhaif lainnya.
Apa yang dilakukan oleh para ulama sejak dahulu di Negeri Syam dan di beberapa negeri lainnya dalam memakmurkan malam nisfu sya’ban sudah cukup dapat dijadikan sebagai hujjah, contoh dan teladan. Dinyatakan bahwa menyatakan hukum tentang suatu perkara tertentu tidak dapat dilakukan sebelum seseorang atau ahli fatwa memahami betul secara keseluruhan tentang perkara tersebut sebelum dia menyatakan hukum terhadapnya.
Al-Imam Ishak Ibnu Rohaweih (seorang ahli hadits besar dan guru dari Al Imam Al-Bukhari) menyatakan bahwa memakmurkan malam Nisfu Sya'ban di masjid dengan beribadah kepada Allah bukanlah perkara yang bid'ah. Pernyataan Al Imam Ishak Ibnu Rohaweih itu diriwayatkan oleh Harb Al Karmani dalam Al Masail. Beberapa ulama lain juga berpendapat bahwa memakmurkan malam Nisfu Sya'ban dengan beribadah adalah bukan perkara yang dilarang oleh agama. Namun mereka berpendapat bahwa memakmurkannya di rumah (bukan secara berkelompok di masjid) adalah lebih baik.
Di antara mereka adalah Imam Al-Auza’i (salah seorang pemimpin ulama di Negeri Syam). Diriwayatkan oleh Imam Al Baihaki dalam As Sunan Al Kubro bahwa Imam Asy Syafi’i telah berkata: "Telah sampai kepada kami bahwa doa dikabulkan oleh Allah pada 5 malam, yaitu malam Jumat, malam Idul Fitri, malam Idul Adha, malam pertama bulan Rajab, dan malam Nisfu Sya’ban."
Sebagaimana diriwayatkan oleh Amiril Mukminin Umar Ibnu ‘Aziz menuliskan surat kepada wakil atau gubernurnya di Basrah, "Hendaknya engkau memperhatikan 4 malam dalam 1 tahun, karena sesungguhnya Allah mencurahkan rahmat‐Nya yang sangat besar pada 4 malam tersebut, yaitu malam pertama pada bulan suci Rajab, malam Nisfu Sya’ban, malam Idul Fitri, dan malam Idul Adha."
"Apa yang kami paparkan di atas adalah beberapa kutipan yang dinyatakan oleh para ulama besar, walaupun di sana juga banyak ulama lain yang tidak menyetujui tentang malam Nisfu Sya’ban. Namun ketidaksetujuan mereka adalah ijtihad mereka, sebab memakmurkan malam Nisfu Sya’ban dengan ibadah kepada Allah adalah permasalahan ijtihad (masalah far’iyah/masalah cabang, bukan masalah akidah)," kata Habib Ahmad yang juga lulusan Hadhramaut Yaman.
Ini adalah masalah yang luas, yang memerlukan kelapangan dada. Bagi yang menyetujuinya silakan dan bagi yang tidak menyetujuinya pun silahkan. Perkara ijtihad disebutkan oleh Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم. "Orang yang berijtihad, apabila dia benar dalam ijtihadnya maka mendapatkan 2 pahala dari Allah Subhanahu wa ta’ala, dan apabila dia salah dalam ijtihadnya maka mendapatkan 1 pahala dari Allah."
Di antara hadits yang shahih ialah yang diriwayatkan oleh Al Imam At Tabrani, sebagaimana telah diriwayatkan dan sishahihkan oleh Al Imam Ibnu Hibban dari Muadz bin Jabbal bahwa Rasulullah bersabda:
يطلع االله إلى جميع خلقه ليلة النصف من شعبان فيغفر لجميع خلقه إلا لمشرك أو مشاحن
"Allah memberikan perhatian‐Nya kepada seluruh makhluk‐Nya pada malam Nisfu Sya’ban. Dan Allah mengampuni seluruh makhluk‐Nya kecuali orang yang musyrik dan orang yang saling berdengki satu sama lain."
Di antara hadits kemuliaan malam Nisfu Sya'ban adalah yang iriwayatkan oleh Al Bazar dan Imam Baihaki dari Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
ينزل االله إلى السماء الدنيا ليلة النصف من شعبان فيغفر لكل شيء إلا لرجل مشرك أو رجل في قلبه شحناء
"Allah turun ke langit dunia ini dengan menurunkan rahmat‐Nya pada malam Nisfu Sya’ban, sehingga Allah mengampuni segala sesuatu kecuali orang yang musyrik dan orang yang di dalam hatinya terdapat kedengkian."
Berkata Al-Hafidz Al Mundziri bahwa Isnaduhu La Ba'sa bihi yakni sanad hadits ini tidak ada keburukan. Al-Ustaz Nashiruddin Al-Albani, walaupun banyak dari ulama‐ulama ahli hadits di berbagai penjuru dunia tidak menganggapnya sebagai pakar hadits, dan sangat banyak kitab yang ditulis untuk membantah pendapat‐pendapat menyimpang Al-Albani, namun saya ingin mengutip suatu hadits dari karya beliau karena banyak dari kelompok‐kelompok yang mengingkari kemulian malam Nisfu Sya'ban adalah orang‐orang yang bertumpu dan fanatik berpegang kepada segala pendapat beliau.
Dalam suatu karya beliau yang berjudul Shahih Ibn Maajah yang merangkum seluruh hadits‐hadits shohih Ibn Maajah. Pada jilid 1 halaman 414‐415 Ustaz Nashiruddin Al-Albani mengutip suatu hadits dari sahabat Abu Musa Al Asy'ary dari Rasulullah bersabda:
إن االله ليطلع في ليلة النصف من شعبان فيغفر لجميع خلقه إلا لمشرك و مشاحن
"Sesungguhnya Allah memandang pada malam Nisfu Sya'ban, maka Allah mengampuni seluruh makhluk‐Nya kecuali orang musyrik dan orang yang mendengki".
Ketiga hadits di atas cukup untuk menjadi landasan kemuliaan malam Nisfu Sya’ban agar dimakmurkan dan diistimewakan. Al-Imam Abdullah bin Muhammad Al‐Ghumari membawakan sekitar 10 hadits yang menyebutkan kemuliaan malam Nisfu Sya’ban, sebagaimana Imam Ibnu Rajab Al Hambali di dalam Kitabnya yaitu Lathaiful Ma’arif juga meriwayatkan beberapa hadis tentang kemuliaan malam Nisfu Sya’ban, sebagaimana Imam Suyuti di dalam tafsirnya yaitu Ad Durr Al Mantsur juga menyebutkan tentang kemuliaan malam Nisfu Sya’ban. Dan masih banyak ulama‐ulama besar lainnya yang menyebutkan hadits‐hadits tentang kemuliaan malam Nisfu Sya’ban.
Walaupun hadits dhaif tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dan lndasan hukum, namun dapat dijadikan sebagai landasan di dalam fadhail a'mal (keutamaan beramal) dengan syarat‐syaratnya. Ketika banyak hadits dhaif yang meriwayatkan tentang perkara tertentu, maka status kedha’ifannya terangkat menjadi kuat dengan banyaknya dukungan dari hadits dhaif lainnya.
Apa yang dilakukan oleh para ulama sejak dahulu di Negeri Syam dan di beberapa negeri lainnya dalam memakmurkan malam nisfu sya’ban sudah cukup dapat dijadikan sebagai hujjah, contoh dan teladan. Dinyatakan bahwa menyatakan hukum tentang suatu perkara tertentu tidak dapat dilakukan sebelum seseorang atau ahli fatwa memahami betul secara keseluruhan tentang perkara tersebut sebelum dia menyatakan hukum terhadapnya.