Idul Fitri dan Keselamatan Jiwa
loading...
A
A
A
Arif Jamali Muis
Relawan Muhammadiyah Covid-19 Command Center
IDUL fitri 1441 H tahun ini, mungkin menjadi perayaan kemenangan pertama kali dalam sejarah hidup kita tidak dirayakan dengan salat di lapangan terbuka, silaturahmi yang dibatasi dan mudik yang dilarang. Sebab, idul fitri tahun ini dalam kondisi wabah pandemi Covid-19 , yang proses penularannya melalui kontak antar-manusia. Tentu kita paham bukan salatnya yang dilarang, bukan silaturahminya yang tidak diperbolehkan akan tetapi berkumpul dan kontak antarmanusia yang dikhawatirkan akan terjadi penularan virus Covid-19.
Islam Menyelamatkan Kemanusiaan
Ketika saya mewakili Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DIY membahas pelaksanaan salat idul fitri, bersama organisasi-organisasi keagamaan dan pemerintah daerah di kantor wilayah kementerian agama DIY, yang salah satu hasilnya adalah salat idul fitri dilaksanakan di rumah masing-masing, ada pertanyaan kenapa Muhammadiyah menganjurkan ibadah di rumah?
Ada sebagian pihak yang membandingkan komitmen beribadah di rumah ini dengan kenyataan bahwa ruang publik seperti pasar dan mall dan sarana kegiatan ekonomi lainnya tidak dibatasi juga.
Ada beberapa alasan. Pertama, Islam sebagai dasar persyarikatan Muhammadiyah dipahami sebagai agama fitrah kemanusiaan yang menempatkan nilai keimanan selaras dengan misi mulia menjunjung kehidupan ekosistem. Salah satu tujuan paling hakiki agama diturunkan adalah untuk “memberi petunjuk” supaya umat manusia memperoleh keselamatan di dunia dan akhirat. “Keselamatan” ini bisa berarti banyak. “Selamat” secara akidah, juga “selamat” secara lahiriah-jasadiah.
Maka semua proses peribadatan yang dilakukan bisa dipastikan memperhatikan keselamatan jiwa manusia. Jika prosedur tempat pelaksanaan ibadah harus disesuaikan selama masa penyebaran pandemi, itu semua demi menghadirkan ketenangan, kekhusyukan dan kehidmatan berjumpa dengan Allah.
Islam selalu membuat alternatif atau jalan keluar dari persoalan-persoalan ibadah yang sulit dilakukan manusia. Contoh yang paling sederhana, jika pelaksanaan salat berdiri tidak mampu dan membahayakan, maka salat bisa dilaksanakan dengan duduk atau berbaring. Begitu pula seandainya dalam niat hendak berangkat ke masjid tapi tidak dimungkinkan oleh sebab kejadian-kejadian tertentu, maka muadzin di masjid bisa menyerukan “salatlah kamu di rumah” (صَلُّوا فِى بُيُوتِكُمْ). Itulah bukti bahwa Islam merupakan agama yang berpihak pada kondisi nyata tantangan manusia.
Kedua, Muhammadiyah melandaskan keputusannya atas dasar ketentuan-ketentuan dalil (nash) baik yang termaktub dalam kitab suci Al-Qur’an maupun hadis Nabi Muhammad SAW. Maklumat atau himbauan salat idul fitri di rumah, merupakan rekomendasi agama sesuai dengan semangat ketarjihan Muhammadiyah.
Ketiga, maklumat ibadah di rumah saat pandemi termasuk dilandaskan pada pertimbangan ilmu pengetahuan. Wabah virus Covid-19 berdasarkan hasil riset para ahli menyebar melalui interaksi manusia. Daya penularan virus ini sangat cepat dengan risiko berbahaya. Oleh karena itu, sangat gampang tertular jika manusia berkerumun, tidak menjaga jarak.
Kegiatan keagamaan yang mengumpulkan orang banyak termasuk salat berjamaah sangat berpotensi terjadi penularan covid19. Berdasarkan pertimbangan dalil ilmu pengetahuan itulah yang juga menjadi landasan Muhammadiyah memutuskan maklumat ibadah di rumah.
Perlu dipahami bahwa keputusan perihal keagamaan dengan mempertimbangkan ilmu pengetahuan merupakan ciri Muhammadiyah. KH Ahmad Dahlan telah mencontohkannya dengan menata ulang arah kiblat salat. KH Ahmad Dahlan membetulkan arah kiblat berdasarkan ilmu geografi dengan alat peta dunia. Metode seperti ini dulu dianggap aneh dan keluar dari kelaziman beragama. Saat ini, semua orang mengakui jika ilmu pengetahuan dapat membantu manusia meningkatkan kualitas peribadahan yang sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an.
Contoh lainnya, yakni saat Muhammadiyah mempergunakan perhitungan matematis dalam ilmu astronomi untuk penentuan awal ramadhan dan akhir bulan Ramadan. Tantangan Muhammadiyah hari ini dengan menggunakan pemodelan matematis dalam mempertimbangkan penyebaran wabah pandemi juga memperoleh respon sama persis. Ikhtiar memberikan panduan keagamaan yang benar dan mashlahat sangatlah penting.
Sebagai gerakan keislaman modern, Muhammadiyah punya tanggungjawab besar berperan dalam menuntun jalan tengah keluar dari problem dunia modern. Itu tidak mudah. Tapi muhammadiyah harus mempertahankan cara berpikir Islam yang berkemajuan ini.
Benteng Terakhir Kewarasan
Pemeran utama dalam “perang” melawan penyebaran wabah covid19 ini adalah pemerintah. Sebab, pemerintahlah pemegang amanat rakyat untuk melindungi segenap rakyat Indonesia termasuk di dalamnya melindungi dari krisis pandemi.
Selama masa bencana, kondisi psikologi masyarakat cenderung panik. Kondisi ini memaksa pemerintah harus tampil prima sebagai otoritas politik yang menggelorakan semangat kepentingan publik untuk tetap waras dan bertindak sesuai dengan aturan yang ada.
Respon pemerintah pusat selama masa pandemi berlangsung memang jauh dari ekspektasi umum. Institusi dan pejabat publik kita kurang terlatih berhadapan dengan situasi krisis. Komunikasi publik yang bertentangan dengan perkembangan global, masalah transparansi informasi dan sikap empati atas kepanikan masyarakat, telah mendelegitimasi otoritas politik.
Dalam konteks ini, situasi sosial dan ekonomi tengah terganggu. Maka kekuatan masyarakat sipil keislaman seperti Muhammadiyah harus mengambil peran semakin luas dan sistemik. Hingga hari ini sudah ratusan milyar dana konsolidari persyarikatan ini untuk menanggulangi masa krisis. Sembari itu, Muhammadiyah secara hati-hati berupaya merumuskan panduan keagamaan yang tepat.
Segala upaya Muhammadiyah ini adalah bentuk jawaban atas makin menguatnya nada dan nuansa protes di ruang publik. Apalagi, menjelang masa puncak wabah, beredar tagar #IndonesiaTerserah. Ini tentu saja tidak sepenuhnya problem masyarakat. Kondisi ini mendorong Muhammadiyah harus menjadi telaga di tengah gurun kegundahan masyarakat.
Muhammadiyah harus terus merespon perkembangan krisis ini demi kemashlahatan banyak orang. Semuanya semata-mata demi kebaikan masyarakat. Mereka punya hak untuk didampingi selama masa pandemi, baik aspek ekonomi, sosial, politik dan spiritual.
Idul fitri tahun ini adalah momentum kita sebagai umat Islam dan umat manusia bekerja untuk kebaikan bersama demi terciptanya ekosistem kehidupan yang lebih baik. (m.muhammadiyah)
Relawan Muhammadiyah Covid-19 Command Center
IDUL fitri 1441 H tahun ini, mungkin menjadi perayaan kemenangan pertama kali dalam sejarah hidup kita tidak dirayakan dengan salat di lapangan terbuka, silaturahmi yang dibatasi dan mudik yang dilarang. Sebab, idul fitri tahun ini dalam kondisi wabah pandemi Covid-19 , yang proses penularannya melalui kontak antar-manusia. Tentu kita paham bukan salatnya yang dilarang, bukan silaturahminya yang tidak diperbolehkan akan tetapi berkumpul dan kontak antarmanusia yang dikhawatirkan akan terjadi penularan virus Covid-19.
Islam Menyelamatkan Kemanusiaan
Ketika saya mewakili Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DIY membahas pelaksanaan salat idul fitri, bersama organisasi-organisasi keagamaan dan pemerintah daerah di kantor wilayah kementerian agama DIY, yang salah satu hasilnya adalah salat idul fitri dilaksanakan di rumah masing-masing, ada pertanyaan kenapa Muhammadiyah menganjurkan ibadah di rumah?
Ada sebagian pihak yang membandingkan komitmen beribadah di rumah ini dengan kenyataan bahwa ruang publik seperti pasar dan mall dan sarana kegiatan ekonomi lainnya tidak dibatasi juga.
Ada beberapa alasan. Pertama, Islam sebagai dasar persyarikatan Muhammadiyah dipahami sebagai agama fitrah kemanusiaan yang menempatkan nilai keimanan selaras dengan misi mulia menjunjung kehidupan ekosistem. Salah satu tujuan paling hakiki agama diturunkan adalah untuk “memberi petunjuk” supaya umat manusia memperoleh keselamatan di dunia dan akhirat. “Keselamatan” ini bisa berarti banyak. “Selamat” secara akidah, juga “selamat” secara lahiriah-jasadiah.
Maka semua proses peribadatan yang dilakukan bisa dipastikan memperhatikan keselamatan jiwa manusia. Jika prosedur tempat pelaksanaan ibadah harus disesuaikan selama masa penyebaran pandemi, itu semua demi menghadirkan ketenangan, kekhusyukan dan kehidmatan berjumpa dengan Allah.
Islam selalu membuat alternatif atau jalan keluar dari persoalan-persoalan ibadah yang sulit dilakukan manusia. Contoh yang paling sederhana, jika pelaksanaan salat berdiri tidak mampu dan membahayakan, maka salat bisa dilaksanakan dengan duduk atau berbaring. Begitu pula seandainya dalam niat hendak berangkat ke masjid tapi tidak dimungkinkan oleh sebab kejadian-kejadian tertentu, maka muadzin di masjid bisa menyerukan “salatlah kamu di rumah” (صَلُّوا فِى بُيُوتِكُمْ). Itulah bukti bahwa Islam merupakan agama yang berpihak pada kondisi nyata tantangan manusia.
Kedua, Muhammadiyah melandaskan keputusannya atas dasar ketentuan-ketentuan dalil (nash) baik yang termaktub dalam kitab suci Al-Qur’an maupun hadis Nabi Muhammad SAW. Maklumat atau himbauan salat idul fitri di rumah, merupakan rekomendasi agama sesuai dengan semangat ketarjihan Muhammadiyah.
Ketiga, maklumat ibadah di rumah saat pandemi termasuk dilandaskan pada pertimbangan ilmu pengetahuan. Wabah virus Covid-19 berdasarkan hasil riset para ahli menyebar melalui interaksi manusia. Daya penularan virus ini sangat cepat dengan risiko berbahaya. Oleh karena itu, sangat gampang tertular jika manusia berkerumun, tidak menjaga jarak.
Kegiatan keagamaan yang mengumpulkan orang banyak termasuk salat berjamaah sangat berpotensi terjadi penularan covid19. Berdasarkan pertimbangan dalil ilmu pengetahuan itulah yang juga menjadi landasan Muhammadiyah memutuskan maklumat ibadah di rumah.
Perlu dipahami bahwa keputusan perihal keagamaan dengan mempertimbangkan ilmu pengetahuan merupakan ciri Muhammadiyah. KH Ahmad Dahlan telah mencontohkannya dengan menata ulang arah kiblat salat. KH Ahmad Dahlan membetulkan arah kiblat berdasarkan ilmu geografi dengan alat peta dunia. Metode seperti ini dulu dianggap aneh dan keluar dari kelaziman beragama. Saat ini, semua orang mengakui jika ilmu pengetahuan dapat membantu manusia meningkatkan kualitas peribadahan yang sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an.
Contoh lainnya, yakni saat Muhammadiyah mempergunakan perhitungan matematis dalam ilmu astronomi untuk penentuan awal ramadhan dan akhir bulan Ramadan. Tantangan Muhammadiyah hari ini dengan menggunakan pemodelan matematis dalam mempertimbangkan penyebaran wabah pandemi juga memperoleh respon sama persis. Ikhtiar memberikan panduan keagamaan yang benar dan mashlahat sangatlah penting.
Sebagai gerakan keislaman modern, Muhammadiyah punya tanggungjawab besar berperan dalam menuntun jalan tengah keluar dari problem dunia modern. Itu tidak mudah. Tapi muhammadiyah harus mempertahankan cara berpikir Islam yang berkemajuan ini.
Benteng Terakhir Kewarasan
Pemeran utama dalam “perang” melawan penyebaran wabah covid19 ini adalah pemerintah. Sebab, pemerintahlah pemegang amanat rakyat untuk melindungi segenap rakyat Indonesia termasuk di dalamnya melindungi dari krisis pandemi.
Selama masa bencana, kondisi psikologi masyarakat cenderung panik. Kondisi ini memaksa pemerintah harus tampil prima sebagai otoritas politik yang menggelorakan semangat kepentingan publik untuk tetap waras dan bertindak sesuai dengan aturan yang ada.
Respon pemerintah pusat selama masa pandemi berlangsung memang jauh dari ekspektasi umum. Institusi dan pejabat publik kita kurang terlatih berhadapan dengan situasi krisis. Komunikasi publik yang bertentangan dengan perkembangan global, masalah transparansi informasi dan sikap empati atas kepanikan masyarakat, telah mendelegitimasi otoritas politik.
Dalam konteks ini, situasi sosial dan ekonomi tengah terganggu. Maka kekuatan masyarakat sipil keislaman seperti Muhammadiyah harus mengambil peran semakin luas dan sistemik. Hingga hari ini sudah ratusan milyar dana konsolidari persyarikatan ini untuk menanggulangi masa krisis. Sembari itu, Muhammadiyah secara hati-hati berupaya merumuskan panduan keagamaan yang tepat.
Segala upaya Muhammadiyah ini adalah bentuk jawaban atas makin menguatnya nada dan nuansa protes di ruang publik. Apalagi, menjelang masa puncak wabah, beredar tagar #IndonesiaTerserah. Ini tentu saja tidak sepenuhnya problem masyarakat. Kondisi ini mendorong Muhammadiyah harus menjadi telaga di tengah gurun kegundahan masyarakat.
Muhammadiyah harus terus merespon perkembangan krisis ini demi kemashlahatan banyak orang. Semuanya semata-mata demi kebaikan masyarakat. Mereka punya hak untuk didampingi selama masa pandemi, baik aspek ekonomi, sosial, politik dan spiritual.
Idul fitri tahun ini adalah momentum kita sebagai umat Islam dan umat manusia bekerja untuk kebaikan bersama demi terciptanya ekosistem kehidupan yang lebih baik. (m.muhammadiyah)
(mhy)