Sunan Kudus: Sang Eksekutor Syekh Siti Jenar dan Kebo Kenanga

Minggu, 25 April 2021 - 19:49 WIB
loading...
A A A
Itulah mengapa Raden Patah kemudian memerintahkan Sunan Kudus untuk mengadili pembangkangan Ki Ageng Pengging ini.

Pagi itu, suasana Kadipaten Pengging benar-benar lenggang. Penduduk pergi ke sawah dan ladang masing-masing. Pendapa atau istana Kadipaten tidak kelihatan. Di pusat bekas pemerintahan Adipati Handayaningrat itu hanya ada sebuah rumah yang tak seberapa besar, bentuknya seperti rumah penduduk lainnya.

Sunan Kudus memerintahkan tujuh orang pengikutnya menunggu di ujung desa. Dia sendiri berjalan menuju rumah Ki Ageng Pengging. Langkahnya mantap. Dia yakin tugasnya kali ini akan membawa hasil.

Seperti sudah dilambangkan oleh Bende Kyai Sima, yaitu pusaka warisan dari mertuanya yang disembunyikan di dalam hutan saat dia kemalaman. Bila bende itu dipukul bunyinya seperti harimau maka tandanya akan berhasil, bila tidak mengeluarkan auman harimau berarti dia akan menemui kegagalan.

Di depan pintu rumah Ki Ageng Pengging ada seorang pelayan wanita setengah baya. Sunan Kudus memberi salam kemudian mengutarakan maksud kedatangannya untuk menemui Ki Ageng Pengging.

“Maaf Tuan, sudah beberapa hari Ki Ageng mengurung diri di dalam kamarnya, beliau tidak bisa menemui tamu.” kata pelayan itu.

“Aku bukan tamu biasa,” kata Sunan Kudus. “Katakan aku adalah utusan Tuhan yang datang dari Kudus. Ingin bertemu dengan Ki Ageng Pengging.”

Pelayan itu masuk ke dalam rumah menyampaikan pesan Sunan Kudus yang dianggapnya aneh. Ternyata Ki Ageng bersedia menerima tamunya. Sunan Kudus dipersilahkan masuk ke dalam rumahnya.

Istri Ki Ageng Pengging membuatkan minuman untuk menghormat tamu khusus itu. Tinggallah di ruang tamu itu Ki Ageng Pengging dan Sunan Kudus.

“Wahai Ki Ageng, saya diperintahnya oleh Sultan Demak Bintoro. Manakah yang kau pilih. Di luar atau di dalam? Di atas atau di bawah?” tanya Sunan Kudus.

Ki Ageng Pengging menghela nafas, tiga tahun yang lalu dia juga diberi pertanyaan serupa oleh Ki Wanasalam, Patih Demak Bintoro.

“Jawabanku tetap sama dengan tiga tahun yang lalu,” kata Ki Ageng Pengging. “Atas-bawah, luar-dalam adalah milikku. Aku tak bisa memilihnya,” tuturnya.



Jawaban itu bagi Sunan Kudus sudah sangat jelas. Berarti Ki Ageng Pengging punya maksud ganda. Ingin menjadi rakyat atau bawahan Demak Bintoro sekaligus ingin menjadi penguasa Demak Bintoro. Jelasnya dia tidak mau mengakui Raden Patah sebagai raja Demak. Ini pembangkangan namanya. Kasarnya memberontak!

Bahwa Ki Ageng Pengging itu murid Syekh Siti Jenar, gurunya itu sudah dihukum mati karena kesesatannya. Sunan Kudus ingin mengetahui apakah Ki Ageng Pengging masih meyakini ilmu dari Syekh Siti Jenar itu atau sudah meninggalkan sama sekali.

“Saya pernah mendengar bahwa Ki Ageng bisa hidup di dalam mati dan mati di dalam hidup,” ujar Sunan Kudus. “Benarkah apa yang saya dengar itu? Saya ingin melihat buktinya.”

“Memang begitu!” jawab Ki Ageng Pengging. “Kau anggap apa aku ini maka aku akan menurut apa yang kau sangka. Kau anggap aku santri memang aku santri, kau anggap aku ini raja, memang aku keturunan raja, kau anggap aku ini rakyat memang aku rakyat, dan kau anggap aku ini Allah aku memang Allah!” lanjut Ki Ageng, panjang lebar.

Klop sudah! Ki Ageng Pengging adalah pengikut Syekh Siti Jenar yang berpaham Wihdatul Wujud atau berfilsafat serba Tuhan. Paham itu adalah bertentangan dengan Islam yang disiarkan para Wali, sehingga Syekh Siti Jenar dihukum mati.

Sunan Kudus juga cerdik, dia tahu murid-murid Syekh Siti Jenar itu mempunyai ilmu-ilmu yang aneh, kadangkala mereka kebal, tak mempan senjata apapun juga. Maka Sunan Kudus bermaksud mengorek kelemahan Ki Ageng Pengging dengan jalan diplomasi.

“Seperti pengakuan Ki Ageng bahwa Ki Ageng dapat mati di dalam hidup. Saya ingin melihat buktinya!” ujar Sunan Kudus lagi.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2446 seconds (0.1#10.140)