Sunan Kudus: Sang Eksekutor Syekh Siti Jenar dan Kebo Kenanga
loading...
A
A
A
Sunan Kudus atau Jakfar Shodiq di dalam Babad Tanah Jawa disebut sebagai Senopati atau Panglima Perang Kerajaan Demak Bintoro. Selain itu, beliau adalah Senopati waliullah artinya beliau itu menjadi Senopatinya para wali. Sebagai Senopati Kerajaan Demak, beliau pernah memimpin peperangan melawan Majapahit yang kala itu dipimpin oleh Adipati Terung.
Sedangkan sebagai Senopati para wali beliau pernah ditugaskan untuk mengeksekusi Syekh Siti Jenar , seorang Wali yang meremehkan syariat sehingga dianggap sesat.
Setelah mengeksekusi Syekh Siti Jenar, tugas selanjutnya adalah menjinakkan muridnya yang keturunan Raja Majapahit, Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging.
Buku Kisah dan Ajaran Wali Sanga karya H Lawrens Rasyidi mengisahkan, penduduk desa Pengging yang terletak di tepi hutan, malam itu tak dapat tidur. Suara auman harimau terus menerus terdengar pada malam itu.
Para penduduk berjaga-jaga. Mereka khawatir harimau akan masuk ke dalam desa. Tapi sampai pagi tidak ada seekor harimau pun tampak masuk kampung. Para penduduk penasaran. Mereka beramai-ramai masuk ke dalam hutan untuk memeriksa, apakah benar di dalam hutan itu ada harimaunya.
Di tengah hutan, bukan harimau yang mereka dapatkan, melainkan tujuh orang santri dan seorang berjubah putih yang tampak agung berwibawa. Orang itu tak lain adalah Sunan Kudus dan tujuh prajurit Demak yang menyamar sebagai santri biasa.
“Apakah tuan melihat harimau di sekitar hutan ini?” tanya tetua desa.
“Tidak,” jawab Sunan Kudus, “Semalam kami tidur di hutan ini tapi tidak melihat seekor pun harimau.”
“Aneh, semalam kami tak dapat tidur karena auman suara harimau yang terus menerus,” guman tetua desa.
“Kalau begitu namakanlah tempat ini desa Sima. Karena kau mendengar suara Sima (harimau) padahal tak ada Sima,” kata Sunan Kudus kemudian.
Tetua desa itu menurut, hingga sekarang tempat Sunan Kudus bermalam itu dinamakan Desa Sima. Sunan Kudus kemudian meneruskan perjalanannya ke Pengging untuk menemui Adipati Kebo Kenanga atau lebih dikenal sebagai Ki Ageng Pengging.
Kedatangan Sunan Kudus ke Pengging adalah atas perinah Raja Demak, Raden Patah. Tiga tahun sebelumnya, Sang Raja sudah mengutus Patih Wanasalam dengan ugas yang sama. Jadi, bagi Sunan Kudus, ini adalah tugas lanjutan dari Patih Wanasalam.
Sunan Kudus bertugas meminta ketegasan Ki Ageng Pengging, apakah ia bersedia mengakui Raden Patah selaku Raja Demak Bintoro dan penerus dinasti Majapahit atau sebaliknya Ki Ageng Pengging ingin menjadi Raja Demak.
Pada saat Patih Wanasalam menemui Ki Ageng Pengging, pertanyaan itu tidak pernah dijawab dengan tegas. Selanjutnya Patih Wanasalam memberi batas waktu tiga tahun untuk berpikir dan menentukan pilihan.
Kini tiga tahun telah berlalu, Ki Ageng Pengging tidak pernah menghadap ke Demak. Bahkan Kadipaten Pengging yang dulu pernah mengalami kejayaan di zaman ayahnya yaitu Adipati Handayaningrat tidak diurus lagi.
Kebo Kenanga , cucu Raja Majapahit itu malah tenggelam dalam dunia kebatinan yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar. Walau tampaknya Ki Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging itu tak mengurus pemerintahan Kadipaten, tapi sesungguhnya para prajurit masih setia kepadanya, mereka menyembunyikan diri di balik baju petani.
Sewaktu-waktu mereka bisa digerakkan saat diperlukan oleh Ki Ageng Pengging. Hal ini disadari oleh pemerintah pusat Demak Bintoro.
Itulah mengapa Raden Patah kemudian memerintahkan Sunan Kudus untuk mengadili pembangkangan Ki Ageng Pengging ini.
Pagi itu, suasana Kadipaten Pengging benar-benar lenggang. Penduduk pergi ke sawah dan ladang masing-masing. Pendapa atau istana Kadipaten tidak kelihatan. Di pusat bekas pemerintahan Adipati Handayaningrat itu hanya ada sebuah rumah yang tak seberapa besar, bentuknya seperti rumah penduduk lainnya.
Sunan Kudus memerintahkan tujuh orang pengikutnya menunggu di ujung desa. Dia sendiri berjalan menuju rumah Ki Ageng Pengging. Langkahnya mantap. Dia yakin tugasnya kali ini akan membawa hasil.
Seperti sudah dilambangkan oleh Bende Kyai Sima, yaitu pusaka warisan dari mertuanya yang disembunyikan di dalam hutan saat dia kemalaman. Bila bende itu dipukul bunyinya seperti harimau maka tandanya akan berhasil, bila tidak mengeluarkan auman harimau berarti dia akan menemui kegagalan.
Di depan pintu rumah Ki Ageng Pengging ada seorang pelayan wanita setengah baya. Sunan Kudus memberi salam kemudian mengutarakan maksud kedatangannya untuk menemui Ki Ageng Pengging.
“Maaf Tuan, sudah beberapa hari Ki Ageng mengurung diri di dalam kamarnya, beliau tidak bisa menemui tamu.” kata pelayan itu.
“Aku bukan tamu biasa,” kata Sunan Kudus. “Katakan aku adalah utusan Tuhan yang datang dari Kudus. Ingin bertemu dengan Ki Ageng Pengging.”
Pelayan itu masuk ke dalam rumah menyampaikan pesan Sunan Kudus yang dianggapnya aneh. Ternyata Ki Ageng bersedia menerima tamunya. Sunan Kudus dipersilahkan masuk ke dalam rumahnya.
Istri Ki Ageng Pengging membuatkan minuman untuk menghormat tamu khusus itu. Tinggallah di ruang tamu itu Ki Ageng Pengging dan Sunan Kudus.
“Wahai Ki Ageng, saya diperintahnya oleh Sultan Demak Bintoro. Manakah yang kau pilih. Di luar atau di dalam? Di atas atau di bawah?” tanya Sunan Kudus.
Ki Ageng Pengging menghela nafas, tiga tahun yang lalu dia juga diberi pertanyaan serupa oleh Ki Wanasalam, Patih Demak Bintoro.
“Jawabanku tetap sama dengan tiga tahun yang lalu,” kata Ki Ageng Pengging. “Atas-bawah, luar-dalam adalah milikku. Aku tak bisa memilihnya,” tuturnya.
Jawaban itu bagi Sunan Kudus sudah sangat jelas. Berarti Ki Ageng Pengging punya maksud ganda. Ingin menjadi rakyat atau bawahan Demak Bintoro sekaligus ingin menjadi penguasa Demak Bintoro. Jelasnya dia tidak mau mengakui Raden Patah sebagai raja Demak. Ini pembangkangan namanya. Kasarnya memberontak!
Bahwa Ki Ageng Pengging itu murid Syekh Siti Jenar, gurunya itu sudah dihukum mati karena kesesatannya. Sunan Kudus ingin mengetahui apakah Ki Ageng Pengging masih meyakini ilmu dari Syekh Siti Jenar itu atau sudah meninggalkan sama sekali.
“Saya pernah mendengar bahwa Ki Ageng bisa hidup di dalam mati dan mati di dalam hidup,” ujar Sunan Kudus. “Benarkah apa yang saya dengar itu? Saya ingin melihat buktinya.”
“Memang begitu!” jawab Ki Ageng Pengging. “Kau anggap apa aku ini maka aku akan menurut apa yang kau sangka. Kau anggap aku santri memang aku santri, kau anggap aku ini raja, memang aku keturunan raja, kau anggap aku ini rakyat memang aku rakyat, dan kau anggap aku ini Allah aku memang Allah!” lanjut Ki Ageng, panjang lebar.
Klop sudah! Ki Ageng Pengging adalah pengikut Syekh Siti Jenar yang berpaham Wihdatul Wujud atau berfilsafat serba Tuhan. Paham itu adalah bertentangan dengan Islam yang disiarkan para Wali, sehingga Syekh Siti Jenar dihukum mati.
Sunan Kudus juga cerdik, dia tahu murid-murid Syekh Siti Jenar itu mempunyai ilmu-ilmu yang aneh, kadangkala mereka kebal, tak mempan senjata apapun juga. Maka Sunan Kudus bermaksud mengorek kelemahan Ki Ageng Pengging dengan jalan diplomasi.
“Seperti pengakuan Ki Ageng bahwa Ki Ageng dapat mati di dalam hidup. Saya ingin melihat buktinya!” ujar Sunan Kudus lagi.
“Jadi itukah yang dikehendaki Sultan Demak?” ujar Ki Ageng dengan suara parau. “Baiklah, tidak ada orang mati tanpa sebab, maka kau harus membuat sebab kematianku. Tapi jangan melibatkan orang lain. Cukup aku saja yang mati,” ujarnya kemudian.
Sunan Kudus menyanggupi permintaan Ki Ageng. “Tusuklah siku lenganku ini …!” ujar Ki Ageng membuka titik kelemahannya. Sunan Kuduspun melakukannya.
Siku Ki Ageng ditusuk dengan ujung keris, seketika matilah Ki Ageng Pengging.
Sunan Kudus kemudian keluar rumah Ki Ageng Pengging dengan langkah tenang. Disambut oleh tujuh pengikutnya di ujung desa. Mereka berjalan menuju Demak Bintoro.
Sementara itu istri Ki Ageng Pengging yang hendak menghidangkan jamuan makan menjerit keras manakala melihat suaminya mati di ruang tamu. Penduduk sekitar berdatangan ke rumahnya. Setelah tahu pemimpinnya dibunuh mereka memanggil penduduk lainnya dan bersama-sama mengejar Sunan Kudus.
Paling tidak 200 orang bekas prajurit dan perwira dipimpin oleh bekas Senopati Kadipaten Pengging mencabut senjata dan berteriak-teriak memanggil Sunan Kudus dari kejauhan.
Sunan Kudus berhenti. Dibunyikannya Bende Kyai Sima. Tiba-tiba muncul ribuan prajurit Demak yang berlarian ke arah timur. Orang-orang Pengging mengejar ke arah timur, padahal Sunan Kudus dan pengikutnya berada di sebelah utara.
Tidak berapa lama kemudian 10 ribuan prajurit itu lenyap. Orang Pengging kebingungan, tak tahu harus berbuat apa. Akal mereka seperti hilang. Sunan Kudus kasihan melihat keadaan mereka, akhirnya mereka dibuat sadar kembali.
“Jangan turut campur urusan besar ini. Ki Ageng Pengging sudah diperingatkan selama tiga tahun. Tapi dia tetap tak mau menghadap ke Demak. Itu berarti dia sengaja hendak memberontak! Nah, kalian rakyat kecil, tak ada hubungannya dengan urusan ini. Pulanglah!” suara Sunan Kudus terdengar berat dan mengandung perbawa kuat.
Penduduk Pengging itu seperti baru sadar dan mengerti bahwa yang mereka hadapi adalah seorang Senopati Demak Bintoro yang kondang mempunyai seribu satu macam kesaktian. Mereka tak akan mampu menghadapinya.
“Ada tugas yang lebih penting daripada berbuat kesia-siaan ini,” kata Sunan Kudus. “Segeralah kalian urus jenazah Ki Ageng. Itulah penghormatan kalian yang terakhir kepada pemimpin kalian.”
Orang-orang Pengging itu tak menemukan pilihan lain. Akhirnya mereka kembali ke rumah Ki Ageng untuk menguburkan jenazah pemimpin mereka.
Sunan Kudus sangat dihormat para penguasa pada zamannya. Baik oleh Raja Pajang yaitu Sultan Hadiwijaya maupun Raja Jipang yaitu Ario Penangsang. Beliau wafat dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Jami Kudus. Jika orang memandang Menara Masjid Kudus yang lain sangat aneh dan artistik tersebut pasti akan segera teringat pada pendirinya yaitu Sunan Kudus.
Sedangkan sebagai Senopati para wali beliau pernah ditugaskan untuk mengeksekusi Syekh Siti Jenar , seorang Wali yang meremehkan syariat sehingga dianggap sesat.
Setelah mengeksekusi Syekh Siti Jenar, tugas selanjutnya adalah menjinakkan muridnya yang keturunan Raja Majapahit, Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging.
Buku Kisah dan Ajaran Wali Sanga karya H Lawrens Rasyidi mengisahkan, penduduk desa Pengging yang terletak di tepi hutan, malam itu tak dapat tidur. Suara auman harimau terus menerus terdengar pada malam itu.
Para penduduk berjaga-jaga. Mereka khawatir harimau akan masuk ke dalam desa. Tapi sampai pagi tidak ada seekor harimau pun tampak masuk kampung. Para penduduk penasaran. Mereka beramai-ramai masuk ke dalam hutan untuk memeriksa, apakah benar di dalam hutan itu ada harimaunya.
Di tengah hutan, bukan harimau yang mereka dapatkan, melainkan tujuh orang santri dan seorang berjubah putih yang tampak agung berwibawa. Orang itu tak lain adalah Sunan Kudus dan tujuh prajurit Demak yang menyamar sebagai santri biasa.
“Apakah tuan melihat harimau di sekitar hutan ini?” tanya tetua desa.
“Tidak,” jawab Sunan Kudus, “Semalam kami tidur di hutan ini tapi tidak melihat seekor pun harimau.”
“Aneh, semalam kami tak dapat tidur karena auman suara harimau yang terus menerus,” guman tetua desa.
“Kalau begitu namakanlah tempat ini desa Sima. Karena kau mendengar suara Sima (harimau) padahal tak ada Sima,” kata Sunan Kudus kemudian.
Tetua desa itu menurut, hingga sekarang tempat Sunan Kudus bermalam itu dinamakan Desa Sima. Sunan Kudus kemudian meneruskan perjalanannya ke Pengging untuk menemui Adipati Kebo Kenanga atau lebih dikenal sebagai Ki Ageng Pengging.
Kedatangan Sunan Kudus ke Pengging adalah atas perinah Raja Demak, Raden Patah. Tiga tahun sebelumnya, Sang Raja sudah mengutus Patih Wanasalam dengan ugas yang sama. Jadi, bagi Sunan Kudus, ini adalah tugas lanjutan dari Patih Wanasalam.
Sunan Kudus bertugas meminta ketegasan Ki Ageng Pengging, apakah ia bersedia mengakui Raden Patah selaku Raja Demak Bintoro dan penerus dinasti Majapahit atau sebaliknya Ki Ageng Pengging ingin menjadi Raja Demak.
Pada saat Patih Wanasalam menemui Ki Ageng Pengging, pertanyaan itu tidak pernah dijawab dengan tegas. Selanjutnya Patih Wanasalam memberi batas waktu tiga tahun untuk berpikir dan menentukan pilihan.
Kini tiga tahun telah berlalu, Ki Ageng Pengging tidak pernah menghadap ke Demak. Bahkan Kadipaten Pengging yang dulu pernah mengalami kejayaan di zaman ayahnya yaitu Adipati Handayaningrat tidak diurus lagi.
Kebo Kenanga , cucu Raja Majapahit itu malah tenggelam dalam dunia kebatinan yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar. Walau tampaknya Ki Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging itu tak mengurus pemerintahan Kadipaten, tapi sesungguhnya para prajurit masih setia kepadanya, mereka menyembunyikan diri di balik baju petani.
Sewaktu-waktu mereka bisa digerakkan saat diperlukan oleh Ki Ageng Pengging. Hal ini disadari oleh pemerintah pusat Demak Bintoro.
Itulah mengapa Raden Patah kemudian memerintahkan Sunan Kudus untuk mengadili pembangkangan Ki Ageng Pengging ini.
Pagi itu, suasana Kadipaten Pengging benar-benar lenggang. Penduduk pergi ke sawah dan ladang masing-masing. Pendapa atau istana Kadipaten tidak kelihatan. Di pusat bekas pemerintahan Adipati Handayaningrat itu hanya ada sebuah rumah yang tak seberapa besar, bentuknya seperti rumah penduduk lainnya.
Sunan Kudus memerintahkan tujuh orang pengikutnya menunggu di ujung desa. Dia sendiri berjalan menuju rumah Ki Ageng Pengging. Langkahnya mantap. Dia yakin tugasnya kali ini akan membawa hasil.
Seperti sudah dilambangkan oleh Bende Kyai Sima, yaitu pusaka warisan dari mertuanya yang disembunyikan di dalam hutan saat dia kemalaman. Bila bende itu dipukul bunyinya seperti harimau maka tandanya akan berhasil, bila tidak mengeluarkan auman harimau berarti dia akan menemui kegagalan.
Di depan pintu rumah Ki Ageng Pengging ada seorang pelayan wanita setengah baya. Sunan Kudus memberi salam kemudian mengutarakan maksud kedatangannya untuk menemui Ki Ageng Pengging.
“Maaf Tuan, sudah beberapa hari Ki Ageng mengurung diri di dalam kamarnya, beliau tidak bisa menemui tamu.” kata pelayan itu.
“Aku bukan tamu biasa,” kata Sunan Kudus. “Katakan aku adalah utusan Tuhan yang datang dari Kudus. Ingin bertemu dengan Ki Ageng Pengging.”
Pelayan itu masuk ke dalam rumah menyampaikan pesan Sunan Kudus yang dianggapnya aneh. Ternyata Ki Ageng bersedia menerima tamunya. Sunan Kudus dipersilahkan masuk ke dalam rumahnya.
Istri Ki Ageng Pengging membuatkan minuman untuk menghormat tamu khusus itu. Tinggallah di ruang tamu itu Ki Ageng Pengging dan Sunan Kudus.
“Wahai Ki Ageng, saya diperintahnya oleh Sultan Demak Bintoro. Manakah yang kau pilih. Di luar atau di dalam? Di atas atau di bawah?” tanya Sunan Kudus.
Ki Ageng Pengging menghela nafas, tiga tahun yang lalu dia juga diberi pertanyaan serupa oleh Ki Wanasalam, Patih Demak Bintoro.
“Jawabanku tetap sama dengan tiga tahun yang lalu,” kata Ki Ageng Pengging. “Atas-bawah, luar-dalam adalah milikku. Aku tak bisa memilihnya,” tuturnya.
Jawaban itu bagi Sunan Kudus sudah sangat jelas. Berarti Ki Ageng Pengging punya maksud ganda. Ingin menjadi rakyat atau bawahan Demak Bintoro sekaligus ingin menjadi penguasa Demak Bintoro. Jelasnya dia tidak mau mengakui Raden Patah sebagai raja Demak. Ini pembangkangan namanya. Kasarnya memberontak!
Bahwa Ki Ageng Pengging itu murid Syekh Siti Jenar, gurunya itu sudah dihukum mati karena kesesatannya. Sunan Kudus ingin mengetahui apakah Ki Ageng Pengging masih meyakini ilmu dari Syekh Siti Jenar itu atau sudah meninggalkan sama sekali.
“Saya pernah mendengar bahwa Ki Ageng bisa hidup di dalam mati dan mati di dalam hidup,” ujar Sunan Kudus. “Benarkah apa yang saya dengar itu? Saya ingin melihat buktinya.”
“Memang begitu!” jawab Ki Ageng Pengging. “Kau anggap apa aku ini maka aku akan menurut apa yang kau sangka. Kau anggap aku santri memang aku santri, kau anggap aku ini raja, memang aku keturunan raja, kau anggap aku ini rakyat memang aku rakyat, dan kau anggap aku ini Allah aku memang Allah!” lanjut Ki Ageng, panjang lebar.
Klop sudah! Ki Ageng Pengging adalah pengikut Syekh Siti Jenar yang berpaham Wihdatul Wujud atau berfilsafat serba Tuhan. Paham itu adalah bertentangan dengan Islam yang disiarkan para Wali, sehingga Syekh Siti Jenar dihukum mati.
Sunan Kudus juga cerdik, dia tahu murid-murid Syekh Siti Jenar itu mempunyai ilmu-ilmu yang aneh, kadangkala mereka kebal, tak mempan senjata apapun juga. Maka Sunan Kudus bermaksud mengorek kelemahan Ki Ageng Pengging dengan jalan diplomasi.
“Seperti pengakuan Ki Ageng bahwa Ki Ageng dapat mati di dalam hidup. Saya ingin melihat buktinya!” ujar Sunan Kudus lagi.
“Jadi itukah yang dikehendaki Sultan Demak?” ujar Ki Ageng dengan suara parau. “Baiklah, tidak ada orang mati tanpa sebab, maka kau harus membuat sebab kematianku. Tapi jangan melibatkan orang lain. Cukup aku saja yang mati,” ujarnya kemudian.
Sunan Kudus menyanggupi permintaan Ki Ageng. “Tusuklah siku lenganku ini …!” ujar Ki Ageng membuka titik kelemahannya. Sunan Kuduspun melakukannya.
Siku Ki Ageng ditusuk dengan ujung keris, seketika matilah Ki Ageng Pengging.
Sunan Kudus kemudian keluar rumah Ki Ageng Pengging dengan langkah tenang. Disambut oleh tujuh pengikutnya di ujung desa. Mereka berjalan menuju Demak Bintoro.
Sementara itu istri Ki Ageng Pengging yang hendak menghidangkan jamuan makan menjerit keras manakala melihat suaminya mati di ruang tamu. Penduduk sekitar berdatangan ke rumahnya. Setelah tahu pemimpinnya dibunuh mereka memanggil penduduk lainnya dan bersama-sama mengejar Sunan Kudus.
Paling tidak 200 orang bekas prajurit dan perwira dipimpin oleh bekas Senopati Kadipaten Pengging mencabut senjata dan berteriak-teriak memanggil Sunan Kudus dari kejauhan.
Sunan Kudus berhenti. Dibunyikannya Bende Kyai Sima. Tiba-tiba muncul ribuan prajurit Demak yang berlarian ke arah timur. Orang-orang Pengging mengejar ke arah timur, padahal Sunan Kudus dan pengikutnya berada di sebelah utara.
Tidak berapa lama kemudian 10 ribuan prajurit itu lenyap. Orang Pengging kebingungan, tak tahu harus berbuat apa. Akal mereka seperti hilang. Sunan Kudus kasihan melihat keadaan mereka, akhirnya mereka dibuat sadar kembali.
“Jangan turut campur urusan besar ini. Ki Ageng Pengging sudah diperingatkan selama tiga tahun. Tapi dia tetap tak mau menghadap ke Demak. Itu berarti dia sengaja hendak memberontak! Nah, kalian rakyat kecil, tak ada hubungannya dengan urusan ini. Pulanglah!” suara Sunan Kudus terdengar berat dan mengandung perbawa kuat.
Penduduk Pengging itu seperti baru sadar dan mengerti bahwa yang mereka hadapi adalah seorang Senopati Demak Bintoro yang kondang mempunyai seribu satu macam kesaktian. Mereka tak akan mampu menghadapinya.
“Ada tugas yang lebih penting daripada berbuat kesia-siaan ini,” kata Sunan Kudus. “Segeralah kalian urus jenazah Ki Ageng. Itulah penghormatan kalian yang terakhir kepada pemimpin kalian.”
Orang-orang Pengging itu tak menemukan pilihan lain. Akhirnya mereka kembali ke rumah Ki Ageng untuk menguburkan jenazah pemimpin mereka.
Sunan Kudus sangat dihormat para penguasa pada zamannya. Baik oleh Raja Pajang yaitu Sultan Hadiwijaya maupun Raja Jipang yaitu Ario Penangsang. Beliau wafat dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Jami Kudus. Jika orang memandang Menara Masjid Kudus yang lain sangat aneh dan artistik tersebut pasti akan segera teringat pada pendirinya yaitu Sunan Kudus.
(mhy)