Manat, Tuhan yang Dibuang ke Comberan Bersama Tulang Anjing
loading...
A
A
A
Amr bin Jamuh menyembah Manat di altar tempat dia biasa memuja. Dipujinya patung itu dengan puji-pujian setinggi-tingginya.
Kemudian dia berkata, “Hai, Manat! Saya tidak ragu, engkau tentu tahu mengenai seorang dai yang datang dari Makkah. Dia tidak bermaksud jahat kepada siapa pun, melainkan kepada engkau sendiri. Dia datang kemari, melarang kami menyembah engkau. Sekalipun saya terpesona mendengarkan kalimat-kalimatnya yang indah, saya tidak mau melakukan bai’at dengannya sebelum bermusyawarah denganmu. Karena itu berilah saya petunjukmu.”
Sudah barang tentu Manat tidak menjawab apa-apa. Dia diam seribu bahasa seperti biasa, dan akan terus diam.
Kata Amr, “Mungkin engkau marah kepada saya. Padahal saya tidak pernah menyakitimu selama ini. Tetapi tidak apalah. Engkau akan saya tinggalkan beberapa hari sampai marahmu hilang.”
Putra-putra Amr tahu benar kapan waktunya ayah mereka memuja berhala itu. Mereka juga tahu iman bapaknya telah goyang terhadap Manat. Karena itu mereka berusaha hendak mencabut Manat dari hati yang telah goyang itu sampai tuntas. Itulah jalan satu-satunya menuju iman yang benar.
Pada suatu malam putera-putera Amr dan kawan mereka Mu’adz bin Jabal pergi ke altar tempat Manat berada. Manat mereka ambil, lalu mereka bawa ke lobang kotoran Bani Salamah dan mereka lemparkan ke sana. Tidak seorang pun yang mengetahui dan melihat perbuatan mereka.
Setelah hari fajar, Amr pergi ke altar hendak memuja. Tetapi alangkah terkejutnya Amr ketika dilihatnya Manat tidak ada di tempatnya. “Celaka ke mana Tuhan kita? Siapa yang mengambilnya tadi malam?” tanya Amr penasaran.
Tidak seorang pun yang menjawab. Amr mencari Manat ke mana-mana. Dia marah-marah. Akhirnya patung itu ditemukannya ke comberan dalam keadaan terbalik, kepalanya ke bawah dan kakinya di atas. Manat diambilnya, lalu dimandikan dan diminyaki dengan minyak wangi. Sesudah itu diletakkannya kembali ke tempat semula.
“Demi Allah! Seandainya saya tahu siapa yang menganiaya engkau, niscaya saya hukum dia!” kata Amr kepada Manat.
Malam kedua anak-anak remaja itu bertindak pula seperti yang dilakukan mereka kemarin. Setelah fajar menyingsing, Amr mencari Manat dan menemukannya dalam lubang comberan bergelimang kotoran.
Amr mengambil Manat, lalu dibersihkannya, kemudian diminyakinya dengan harum-haruman. Sesudah itu diletakkannya kembali ke tempat pemujaan.
Begitulah remaja-remaja itu memperlakukan Manat setiap malam. Akhirnya habislah kesabaran Amr. Maka diambilnya pedang, kemudian digantungkannya di leher patung Manat.
Kata Amr, “Hai, Manat! Demi Allah! Sesungguhnya saya tidak tahu siapa yang menganiaya engkau. Seandainya engkau memang sanggup, cobalah lawan orang yang menganiayamu itu. Ini pedang untukmu.”
Kemudian orang tua itu pergi tidur. Setelah putera-putera Amr yakin ayahnya telah tidur pula, mereka pergi ke tempat Manat. Mereka ambil pedang yang tergantung di leher Manat, kemudian Manat mereka bawa ke luar. Sesudah itu Manat mereka ikat jadi satu dengan bangkai anjing lalu mereka lemparkan ke comberan Bani Salamah.
Setelah orang tua itu bangun, dilihatnya Manat tidak ditempatnya. Amr pergi mencari-cari dan ditemukan dalam comberan. Muka Manat menghadap ke tanah bersatu dengan bangkai anjing. Pedangnya tidak ada. Sekarang Manat tidak diambilnya, tetapi dibiarkannya tercampak dalam comberan.
Kata Amr, “Kalau benar engkau Tuhan, niscaya engkau tidak mau masuk comberan bersama dengan bangkai anjing.”
Tidak lama kemudian Amr masuk Islam. Amr bin Jamuh merasakan bagaimana manisnya iman. Dia menyesali dosa-dosanya selama dalam kemusyrikan. Maka setelah Islam, diarahkannya seluruh hidupnya, hartanya, dan anak-anaknya dalam menta’ati Allah dan Rasul-Nya.
Kemudian dia berkata, “Hai, Manat! Saya tidak ragu, engkau tentu tahu mengenai seorang dai yang datang dari Makkah. Dia tidak bermaksud jahat kepada siapa pun, melainkan kepada engkau sendiri. Dia datang kemari, melarang kami menyembah engkau. Sekalipun saya terpesona mendengarkan kalimat-kalimatnya yang indah, saya tidak mau melakukan bai’at dengannya sebelum bermusyawarah denganmu. Karena itu berilah saya petunjukmu.”
Sudah barang tentu Manat tidak menjawab apa-apa. Dia diam seribu bahasa seperti biasa, dan akan terus diam.
Kata Amr, “Mungkin engkau marah kepada saya. Padahal saya tidak pernah menyakitimu selama ini. Tetapi tidak apalah. Engkau akan saya tinggalkan beberapa hari sampai marahmu hilang.”
Putra-putra Amr tahu benar kapan waktunya ayah mereka memuja berhala itu. Mereka juga tahu iman bapaknya telah goyang terhadap Manat. Karena itu mereka berusaha hendak mencabut Manat dari hati yang telah goyang itu sampai tuntas. Itulah jalan satu-satunya menuju iman yang benar.
Pada suatu malam putera-putera Amr dan kawan mereka Mu’adz bin Jabal pergi ke altar tempat Manat berada. Manat mereka ambil, lalu mereka bawa ke lobang kotoran Bani Salamah dan mereka lemparkan ke sana. Tidak seorang pun yang mengetahui dan melihat perbuatan mereka.
Setelah hari fajar, Amr pergi ke altar hendak memuja. Tetapi alangkah terkejutnya Amr ketika dilihatnya Manat tidak ada di tempatnya. “Celaka ke mana Tuhan kita? Siapa yang mengambilnya tadi malam?” tanya Amr penasaran.
Tidak seorang pun yang menjawab. Amr mencari Manat ke mana-mana. Dia marah-marah. Akhirnya patung itu ditemukannya ke comberan dalam keadaan terbalik, kepalanya ke bawah dan kakinya di atas. Manat diambilnya, lalu dimandikan dan diminyaki dengan minyak wangi. Sesudah itu diletakkannya kembali ke tempat semula.
“Demi Allah! Seandainya saya tahu siapa yang menganiaya engkau, niscaya saya hukum dia!” kata Amr kepada Manat.
Malam kedua anak-anak remaja itu bertindak pula seperti yang dilakukan mereka kemarin. Setelah fajar menyingsing, Amr mencari Manat dan menemukannya dalam lubang comberan bergelimang kotoran.
Amr mengambil Manat, lalu dibersihkannya, kemudian diminyakinya dengan harum-haruman. Sesudah itu diletakkannya kembali ke tempat pemujaan.
Begitulah remaja-remaja itu memperlakukan Manat setiap malam. Akhirnya habislah kesabaran Amr. Maka diambilnya pedang, kemudian digantungkannya di leher patung Manat.
Kata Amr, “Hai, Manat! Demi Allah! Sesungguhnya saya tidak tahu siapa yang menganiaya engkau. Seandainya engkau memang sanggup, cobalah lawan orang yang menganiayamu itu. Ini pedang untukmu.”
Kemudian orang tua itu pergi tidur. Setelah putera-putera Amr yakin ayahnya telah tidur pula, mereka pergi ke tempat Manat. Mereka ambil pedang yang tergantung di leher Manat, kemudian Manat mereka bawa ke luar. Sesudah itu Manat mereka ikat jadi satu dengan bangkai anjing lalu mereka lemparkan ke comberan Bani Salamah.
Setelah orang tua itu bangun, dilihatnya Manat tidak ditempatnya. Amr pergi mencari-cari dan ditemukan dalam comberan. Muka Manat menghadap ke tanah bersatu dengan bangkai anjing. Pedangnya tidak ada. Sekarang Manat tidak diambilnya, tetapi dibiarkannya tercampak dalam comberan.
Kata Amr, “Kalau benar engkau Tuhan, niscaya engkau tidak mau masuk comberan bersama dengan bangkai anjing.”
Tidak lama kemudian Amr masuk Islam. Amr bin Jamuh merasakan bagaimana manisnya iman. Dia menyesali dosa-dosanya selama dalam kemusyrikan. Maka setelah Islam, diarahkannya seluruh hidupnya, hartanya, dan anak-anaknya dalam menta’ati Allah dan Rasul-Nya.