Ketika Ditimpa Musibah, Ujian atau Hukuman?
loading...
A
A
A
Bila seseorang mendapatkan musibah , pasti ada pertanyaan yang menyelinap di dalam hati. Apakah musibah yang menimpa tersebut adalah ujian atau hukuman bagi seseorang tersebut? Hal ini juga dipertanyakan kepada diri kita sendiri.
Lantas, bagaimana mengetahui bahwa musibah tersebut ujian atau hukuman bagi seseorang? Pimpinan Pondok Pesantren Daarut Tauhid KH Abdullah Gymanstiar menjelaskan hal tersebut dalam tausiyah online, kemarin. Berikut paparan dai kondang yang akrab disapa AA Gym ini:
Pertama, dosa dan kemaksiatan yang dilakukan oleh seseorang, baik kekufuran, kemaksiatan atau dosa besar. Maka Allah Ta’ala menguji disebabkan pelaku kemaksiatan melakukannya berlebihan sebagai hukuman yang disegerakan.
Biasanya manusia itu diberi hukuman dengan tingkat kepahitan sesuai dengan dosa yang ia lakukan. Sebesar apa seseorang mengundang dosa ke dalam dirinya maka sebesar itu balasan atau hukuman yang diterima.
Allah Ta’ala telah menimpakan musibah pada waktu Uhud dengan keguguran yang besar. Mereka adalah para Sahabat Nabi sallallahu alaihi wa sallam, manusia terbaik setelah para Rasul dan para Nabi disebabkan menyalahi perintah Nabi sallallahu alaihi wa sallam. Bagaimana seseorang menyangka hal itu pada dirinya layak untuk mengangkat derajatnya pada setiap musibah yang menimpanya.
Dahulu Ibrahim bin Adham rahimahullah ketika beliau melihat hembusan angin kencang dan perubahan (cuaca) di langit beliau mengatakan, “Ini disebabkan dosaku. Kalau sekiranya saya keluar diantara kamu semua, maka tidak akan menimpa pada kalian semua.”
Kedua, Keinginan Allah Ta’ala untuk meninggikan derajat orang mukmin yang sabar melalui ujian. Sehingga dicoba dengan musibah agar ridho dan bersabar, dan akan diberikan pahala orang-orang sabar di akhirat. Ditulis di sisi Allah termasuk orang yang beruntung. Dimana cobaan seringkali mengiringi para Nabi dan orang-orang sholeh tanpa meninggalkan mereka. Allah menjadikan sebagai kemuliaan bagi mereka agar mendapatkan derajat tinggi di surga.
Misalkan dalam contoh paling sederhana bila seseorang whatsapp chatnya tidak dibalas oleh orang lain, sejauh mana kepedihan yang dirasakan? Apakah akan timbul rasa marah karena keterikatan dan ketergantungan pada hal tersebut atau berusaha bersikap positif?
Nabi Shalallahu ‘ailaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya pahala yang besar didapatkan melalui cobaan yang besar pula. Apabila Allah Ta’ala mencintai seseorang, maka Allah akan memberikan cobaan kepadanya. Barangsiapa yang rida, maka Allah akan meridainya. Dan barangsiapa yang murka (tidak menerimanya), maka Allah murka kepadanya” (HR. At-Tirmidzi).
Pada dasarnya sebagai manusia kita tidak bisa memastikan dengan benar-benar pasti, bahwa apa yang Allah SWT turunkan ini merupakan ujian yang meningkatkan derajat atau azab akibat dosa-dosa kita. Akan tetapi, kita bisa mengetahui dari indikasi-indikasi tertentu, yaitu bagaimana seorang hamba menghadapi musibah tersebut.
Hendaknya seorang hamba senantiasa berprasangka baik kepada Tuhannya. Dalam setiap kondisi. Allah Subhanahu wa ta’ala lebih utama dalam kebaikan dan Dia Pemilik Ketakwaan dan Pemilik Ampunan.
Wallahu A'lam
Lantas, bagaimana mengetahui bahwa musibah tersebut ujian atau hukuman bagi seseorang? Pimpinan Pondok Pesantren Daarut Tauhid KH Abdullah Gymanstiar menjelaskan hal tersebut dalam tausiyah online, kemarin. Berikut paparan dai kondang yang akrab disapa AA Gym ini:
Pertama, dosa dan kemaksiatan yang dilakukan oleh seseorang, baik kekufuran, kemaksiatan atau dosa besar. Maka Allah Ta’ala menguji disebabkan pelaku kemaksiatan melakukannya berlebihan sebagai hukuman yang disegerakan.
Biasanya manusia itu diberi hukuman dengan tingkat kepahitan sesuai dengan dosa yang ia lakukan. Sebesar apa seseorang mengundang dosa ke dalam dirinya maka sebesar itu balasan atau hukuman yang diterima.
Allah Ta’ala telah menimpakan musibah pada waktu Uhud dengan keguguran yang besar. Mereka adalah para Sahabat Nabi sallallahu alaihi wa sallam, manusia terbaik setelah para Rasul dan para Nabi disebabkan menyalahi perintah Nabi sallallahu alaihi wa sallam. Bagaimana seseorang menyangka hal itu pada dirinya layak untuk mengangkat derajatnya pada setiap musibah yang menimpanya.
Dahulu Ibrahim bin Adham rahimahullah ketika beliau melihat hembusan angin kencang dan perubahan (cuaca) di langit beliau mengatakan, “Ini disebabkan dosaku. Kalau sekiranya saya keluar diantara kamu semua, maka tidak akan menimpa pada kalian semua.”
Kedua, Keinginan Allah Ta’ala untuk meninggikan derajat orang mukmin yang sabar melalui ujian. Sehingga dicoba dengan musibah agar ridho dan bersabar, dan akan diberikan pahala orang-orang sabar di akhirat. Ditulis di sisi Allah termasuk orang yang beruntung. Dimana cobaan seringkali mengiringi para Nabi dan orang-orang sholeh tanpa meninggalkan mereka. Allah menjadikan sebagai kemuliaan bagi mereka agar mendapatkan derajat tinggi di surga.
Misalkan dalam contoh paling sederhana bila seseorang whatsapp chatnya tidak dibalas oleh orang lain, sejauh mana kepedihan yang dirasakan? Apakah akan timbul rasa marah karena keterikatan dan ketergantungan pada hal tersebut atau berusaha bersikap positif?
Nabi Shalallahu ‘ailaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya pahala yang besar didapatkan melalui cobaan yang besar pula. Apabila Allah Ta’ala mencintai seseorang, maka Allah akan memberikan cobaan kepadanya. Barangsiapa yang rida, maka Allah akan meridainya. Dan barangsiapa yang murka (tidak menerimanya), maka Allah murka kepadanya” (HR. At-Tirmidzi).
Pada dasarnya sebagai manusia kita tidak bisa memastikan dengan benar-benar pasti, bahwa apa yang Allah SWT turunkan ini merupakan ujian yang meningkatkan derajat atau azab akibat dosa-dosa kita. Akan tetapi, kita bisa mengetahui dari indikasi-indikasi tertentu, yaitu bagaimana seorang hamba menghadapi musibah tersebut.
Hendaknya seorang hamba senantiasa berprasangka baik kepada Tuhannya. Dalam setiap kondisi. Allah Subhanahu wa ta’ala lebih utama dalam kebaikan dan Dia Pemilik Ketakwaan dan Pemilik Ampunan.
Wallahu A'lam
(wid)