KH Miftachul Achyar Bicara Soal Kematian dan Proses Kehidupan Abadi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Miftachul Achyar mengatakan, kematian seseorang menjadi proses menuju kehidupan yang abadi di akhirat.
"Kelahiran dan kematian menjadi proses menuju keabadian," ujar Kiai Miftach saat mengisi taushiyah dalam acara pembacaan ‘Shalawat Nariyah dan Doa untuk Keselamatan Bangsa dari Wabah’ yang digelar secara daring, Kamis (15/7/2021).
Kematian hanya proses perpindahan kehidupan di dunia menuju alam barzah kemudian menuju kehidupan akhirat. Meski dalam Al Qur’an surat al-Maidah ayat 106 disebutkan bahwa kematian adalah musibah. "Hakikat kita diciptakan adalah untuk adanya kehidupan abadi,” tutur Rais Aam Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini.
“Tidak ada kata fana’, yang ada yaitu kehidupan. Kehidupan di akhirat itulah maksud Allah menciptakan kita,” tandas Kiai Miftach dalam acara yang disiarkan langsung melalui Zoom dan channel YouTube TVNU tersebuy.
Kiai Miftach menambahkan, para ulama berpendapat bahwa kematian bukanlah sebuah ketiadaan kehidupan. Kematian terjadi karena terpisahnya ruh dan jasad, perubahan situasi dan kondisi dan proses perubahan tempat.
Bagi seorang mukmin yang mengetahui hakikat penciptaan maka akan menyadari semua yang terjadi hanya ujian Allah SWT. “Kesedihan memang hiasan kehidupan. Allah menciptakan kehidupan dan memerintah kita memakmurkan bumi tentu saja dibarengi pemberian sifat-sifat yang layak dalam perjuangan manusia seperti rasa sedih, tertawa, gembira, menangis. Tapi kita harus tahu itu hanya sementara,” tuturnya.
“Termasuk kita diberikan ketidaksenangan, kesedihan, ketakutan dengan adanya kematian,” imbuh Kiai Miftach.
Kiai Miftachul Achyar juga menerangkan, selama hidup di dunia tidak dapat merasakan ketenangan. Ulama zaman dahulu jika ingin merasakan ketenangan, kenikmatan, dan kemapanan, seketika ingat dengan akhirat. “Mereka kemudian ingat bahwa janji Allah semua itu ada di akhirat, bukan di dunia. Selama ada di dunia, maka kesusahan adalah gambaran keruwetan dunia. Ruwet menjadi isi dunia,” terangnya.
Kiai Miftach lalu menceritakan sebuah kisah, bahwa Syekh Ja’fat Shodiq pernah berkata, barangsiapa mencari sesuatu yang tidak diciptakan atau tidak ada di dunia ini, itu berarti sedang memayahkan diri sendiri.
Kemudian salah seorang muridnya bertanya, ‘Apa yang tidak bisa ditemukan? kemudian dijawab, rasa ketenangan jiwa.’
Seseorang yang selalu disibukkan dengan keadaan dunia, lanjut dia, seharusnya bahagia karena dapat merasakan keruwetan dan masalah-masalah. “Oleh karena itu, musibah yang ada saat ini kita carikan jalan keluar untuk menjalankan tugas kita sebagai khalifatullah fil ‘ardl, amanah sebagai pemakmur bumi. Di sinilah kita berikhtiyar cara mengatasi musibah,” demikian Kiai Miftachul Achyar.
"Kelahiran dan kematian menjadi proses menuju keabadian," ujar Kiai Miftach saat mengisi taushiyah dalam acara pembacaan ‘Shalawat Nariyah dan Doa untuk Keselamatan Bangsa dari Wabah’ yang digelar secara daring, Kamis (15/7/2021).
Kematian hanya proses perpindahan kehidupan di dunia menuju alam barzah kemudian menuju kehidupan akhirat. Meski dalam Al Qur’an surat al-Maidah ayat 106 disebutkan bahwa kematian adalah musibah. "Hakikat kita diciptakan adalah untuk adanya kehidupan abadi,” tutur Rais Aam Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini.
“Tidak ada kata fana’, yang ada yaitu kehidupan. Kehidupan di akhirat itulah maksud Allah menciptakan kita,” tandas Kiai Miftach dalam acara yang disiarkan langsung melalui Zoom dan channel YouTube TVNU tersebuy.
Kiai Miftach menambahkan, para ulama berpendapat bahwa kematian bukanlah sebuah ketiadaan kehidupan. Kematian terjadi karena terpisahnya ruh dan jasad, perubahan situasi dan kondisi dan proses perubahan tempat.
Bagi seorang mukmin yang mengetahui hakikat penciptaan maka akan menyadari semua yang terjadi hanya ujian Allah SWT. “Kesedihan memang hiasan kehidupan. Allah menciptakan kehidupan dan memerintah kita memakmurkan bumi tentu saja dibarengi pemberian sifat-sifat yang layak dalam perjuangan manusia seperti rasa sedih, tertawa, gembira, menangis. Tapi kita harus tahu itu hanya sementara,” tuturnya.
“Termasuk kita diberikan ketidaksenangan, kesedihan, ketakutan dengan adanya kematian,” imbuh Kiai Miftach.
Kiai Miftachul Achyar juga menerangkan, selama hidup di dunia tidak dapat merasakan ketenangan. Ulama zaman dahulu jika ingin merasakan ketenangan, kenikmatan, dan kemapanan, seketika ingat dengan akhirat. “Mereka kemudian ingat bahwa janji Allah semua itu ada di akhirat, bukan di dunia. Selama ada di dunia, maka kesusahan adalah gambaran keruwetan dunia. Ruwet menjadi isi dunia,” terangnya.
Kiai Miftach lalu menceritakan sebuah kisah, bahwa Syekh Ja’fat Shodiq pernah berkata, barangsiapa mencari sesuatu yang tidak diciptakan atau tidak ada di dunia ini, itu berarti sedang memayahkan diri sendiri.
Kemudian salah seorang muridnya bertanya, ‘Apa yang tidak bisa ditemukan? kemudian dijawab, rasa ketenangan jiwa.’
Seseorang yang selalu disibukkan dengan keadaan dunia, lanjut dia, seharusnya bahagia karena dapat merasakan keruwetan dan masalah-masalah. “Oleh karena itu, musibah yang ada saat ini kita carikan jalan keluar untuk menjalankan tugas kita sebagai khalifatullah fil ‘ardl, amanah sebagai pemakmur bumi. Di sinilah kita berikhtiyar cara mengatasi musibah,” demikian Kiai Miftachul Achyar.
(mhy)