Cicit Rasulullah SAW: Garis Keturunanku Tidak Menjamin Keamananku

Sabtu, 17 Juli 2021 - 18:41 WIB
loading...
Cicit Rasulullah SAW: Garis Keturunanku Tidak Menjamin Keamananku
Ilustrasi/Ist
A A A
Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib atau lebih dikenal dengan julukan Zainul Abidin meyakini bahwa sumsum ibadah adalah do’a. Beliau sendiri paling gemar berdoa di tirai Ka’bah dengan do’anya:

“Wahai Rabb-ku, engkau menjadikan aku merasakan rahmat-Mu kepadaku seperti yang kurasakan dan Engkau berikan nikmat kepadaku sebagaimana Engkau anugerahkan, sehingga aku berdo’a dalam ketenangan tanpa rasa takut dan meminta sesuka hatiku tanpa malu dan ragu.

Wahai Rabb-ku, aku berwasilah kepada-Mu dengan wasilah seorang hamba lemah yang sangat membutuhkan rahmat dan kekuatan-Mu demi melaksanakan kewajiban dan menunaikan hak-Mu. Maka terimalah do’aku, do’a orang yang lemah, asing dan tak ada yang mampu menolong kecuali Engkau semata, wahai Akramal Akramin…”



Dr Abdurrahman Ra’fat Basya dalam bukunya Shuwaru min Hayati at-Tabi’in, atau Mereka Adalah Para Tabi’in , menceritakan Thawus bin Kaisan pernah melihat Zainul Abidin berdiri di bawah bayang-bayang baitul Atiq (ka’bah). Beliau gelagapan seperti orang tenggelam. Menangis seperti ratapan seorang penderita sakit dan berdo’a terus menerus seperti orang yang sedang terdesak kebutuhan yang sangat.

Setelah Zainul Abidin selesai berdo’a, Thawus bin Kaisan mendekat dan berkata:

“Wahai cicit Rasulullah, kulihat Anda dalam keadaan demikian padahal Anda memiliki tiga keutamaan yang saya mengira bisa mengamankan Anda dari rasa takut.”

Zainul Abidin bertanya, “Apakah itu wahai Thawus?”

“Pertama, Anda adalah keturunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kedua, Anda akan mendapatkan syafa’at dari kakek Anda dan ketiga rahmat Allah bagi Anda,” jawab Thawus.



Zainul Abidin mengatakan: “Wahai Thawus, garis keturunanku dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjamin keamananku setelah kudengar firman Allah, ‘..kemudian ditiup lagi sangsakala, maka tidak akan ada lagi pertalian nasab di antara mereka hari itu..” (Al-Kahfi: 99).

Adapun tentang syafaat kakekku, Allah telah menurunkan firman-Nya, “Mereka tiada memberi syafa’at melainkan kepada orang yang diridhai Allah.” (Al-Anbiya’: 28).

Sedangkan mengenai rahmat Allah, lihatlah firman-Nya,

“Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik,” (Al-A’raf: 56).



Konflik dengan Hasan
Takdir Allah menghendaki, ketakwaan Zainul Abidin tak terlampui orang lain. Kebijakannya, kedermawanannya dan sifat sabarnya. Tak heran bila kisah hidupnya senantiasa menyemarakkan buku-buku sejarah dan mengharumkan lembar-lembarnya dengan keluhuran budinya. Di antaranya adalah riwayat dari Hasan bin Hasan:

Pernah terjadi perselisihan antara aku dengan putra pamanku, Zainul Abidin. Kudatangi dia tatkala berada di masjid bersama sahabat-sahabatnya. Aku memakinya habis-habisan, tapi dia hanya diam membisu sampai aku pulang. Malam harinya ada orang mengetuk pintu rumahku. Aku membukanya untuk melihat siapa gerangan yang datang. Ternyata Zainul Abidin.

Tak aku sangsikan lagi, dia pasti akan membalas perlakuanku tadi siang. Namun ternyata dia hanya bicara, “Wahai saudaraku, bila ada yang Anda katakan tadi benar, semoga Allah mengampuniku. Dan jika yang Anda katakan tidak benar, semoga Dia mengampunimu…” Kemudian beliau berlalu setelah mengucapkan salam.

Merasa bersalah, aku mengejarnya dan berkata, “Sungguh, aku tidak akan mengulangi kata-kata yang tidak Anda sukai.”

Beliau berkata, “Saya telah memaafkan Anda.”



Kisah lain diceritakan oleh seorang pemuda Madinah meriwayatkan, “Ketika melihat Zainul Abidin keluar dari masjid, aku mengikutinya dan langsung memakinya. Ternyata hal itu membuat orang-orang marah. Mereka berkurumun hendak mengeroyok aku. Seandainya mereka benar-benar melakukannya, pastilah aku babak belur. Untunglah ketika itu Zainul Abidin berkata, ‘Biarkanlah orang ini.” Maka mereka pun membiarkan diriku.

Melihat aku gemetar ketakutan, dia menatap dengan wajah bersahabat dan menentramkan hati, lalu berkata, “Engkau telah mencelaku sejauh yang kamu ketahui, padahal yang tidak kamu ketahui lebih besar lagi. Adakah Anda memiliki keperluan sehingga saya bisa membantu Anda?”

Aku menjadi malu sekali dan tidak bisa berkata apa-apa. Begitu melihat gelagatku, beliau memberikan baju dan uang seribu dirham. Sejak itu setiap kali aku melihatnya aku berkata, “Saya bersaksi bahwa Anda memang benar-benar keturunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Bersambung)
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3178 seconds (0.1#10.140)