Ka'bah: Kisah Nazar Abdul Muthalib Menyembelih Anaknya

Kamis, 28 Mei 2020 - 11:24 WIB
loading...
A A A


Mereka sempat berusaha menggali Zamzam lebih dalam lagi. Diambilnya dua buah pangkal pelana emas dari dalam Ka'bah beserta harta yang dibawa orang sebagai sesajen ke dalam Rumah Suci itu. Dimasukkannya semua itu ke dalam dasar sumur, sedang pasir yang masih ada di dalamnya dikeluarkan, dengan harapan pada suatu waktu ia akan menemukannya kembali. Hanya saja upaya ini tak membuahkan hasil.

Upaya ini terhenti setelah terjadi peperangan antara Jurhum dan Bani Khuza’ah yang berakhir dengan terusirnya Kabilah Jurhum dari Baitullah. Seiring dengan berjalannya waktu, sumur Zamzam semakin tertutup dan tak terlihat.

Menggali Zamzam
Dalam mengurus dua jabatan ini terutama urusan air, Abdul Muttalib menemui kesulitan. Pada saat itu anaknya hanyalah seorang, yaitu Harith. Sedang persediaan air untuk tamu didatangkan dari beberapa sumur yang terpencar-pencar sekitar Makkah, yang kemudian diletakkan di sebuah kolam di dekat Ka'bah.

Sebaliknya, kalau Abd'l-Muttalib harus memikul jabatan penyediaan air dan makanan sedang anak hanya Harith satu-satunya, tentu hal ini akan terasa berat sekali. Ini jugalah yang lama menjadi pikiran.

Di sisi lain, orang-orang Arab masih selalu ingat kepada sumur Zamzam yang sudah mengering itu. Ini menjadi pikiran Abdul Muttalib. Demikian kerasnya keinginan itu hingga terbawa dalam mimpinyaseolah ada suara gaib menyuruhnya menggali kembali sumur yang pernah menyembur di kaki Ismail leluhurnya dulu itu.

"Galilah thibah!" Abdul Muttalib lalu bertanya, "Apa thibah itu?" Suara perintah itu menjawab, "Galilah Zamzam!" Beliau bertanya lagi, "Apa itu zamzam?" Suara itu kembali terdengar, "Tidak akan berhenti selamanya dan tidak akan terputus untuk memberi penghidupan jamaah haji yang mulia."

Demikian mendesaknya suara itu dengan menunjukkan sekali letak sumur itu. Dan diapun memang gigih sekali ingin mencari letak Zamzam tersebut, sampai akhirnya diketemukannya juga, yaitu terletak antara dua patung: Isaf dan Na'ila.

Ia terus mengadakan penggalian, dibantu oleh anaknya, Harith. Waktu itu tiba-tiba air membersit dan dua pangkal pelana emas dan pedang Mudzadz mulai tampak. Sementara itu orang-orang lalu ikut-ikutan dalam urusan sumur itu serta apa yang terdapat di dalamnya. Akan tetapi Abdul Muttalib berkata: "Tidak! Tetapi marilah kita mengadakan pembagian, antara aku dengan kamu sekalian. Kita mengadu nasib dengan permainan qid-h (anak panah). Dua anak panah buat Ka'bah, dua buat aku dan dua buat kamu. Kalau anak panah itu keluar, ia mendapat bagian, kalau tidak, dia tidak mendapat apa-apa."

Usul ini disetujui. Lalu anak-anak panah itu diberikan kepada juru qid-h yang biasa melakukan itu di tempat Hubal di tengah-tengah Ka'bah. Anak panah Quraisy ternyata tidak keluar. Sekarang pedang-pedang itu buat Abd'l-Muttalib dan dua buah pangkal pelana emas buat Ka'bah. Pedang-pedang itu oleh Abd'l-Muttalib dipasang di pintu Ka'bah, sedang kedua pelana emas dijadikan perhiasan dalam Rumah Suci itu. Abd'l Muttalib meneruskan tugasnya mengurus air untuk keperluan tamu, sesudah sumur Zamzam dapat berjalan lancar.

Nazar Menyembelih Anak
Karena tidak banyak anak, Abd'l-Muttalib di tengah-tengah masyarakatnya sendiri itu merasa kekurangan tenaga yang akan dapat membantunya. Ia bernazar; kalau sampai beroleh sepuluh anak laki-laki kemudian sesudah besar-besar tidak beroleh anak lagi seperti ketika ia menggali sumur Zamzam dulu, salah seorang di antaranya akan disembelih di Ka'bah sebagai kurban untuk Tuhan.

Nazar Abdul Muttalib terkabul. Ia dikaruniai anak laki-laki berjumlah 10 orang. Takdirpun menentukan pula sesudah
itu tidak beroleh anak lagi.

Dipanggilnya semua anak-anaknya dengan maksud supaya dapat memenuhi nazarnya. Semua patuh. Sebagai konsekwensi kepatuhannya itu setiap anak menuliskan namanya masing-masing di atas qid-h (anak panah). Kemudian semua itu diambilnya oleh Abd'l-Muttalib dan dibawanya kepada juru qid-h di tempat berhala Hubal di tengah-tengah Ka'bah.

Hal yang lazim, apabila sedang menghadapi kebingungan yang luarbiasa, orang-orang Arab masa itu selalu meminta pertolongan juru qid-h supaya memintakan kepada Maha Dewa Patung itu dengan jalan (mengadu nasib) melalui qid-h.

Setelah juru qid-h mengocok anak panah yang sudah dicantumi nama-nama semua anak-anak yang akan menjadi pilihan dewa Hubal untuk kemudian disembelih oleh sang ayah, maka yang keluar adalah nama Abdullah.

Abdullah bin Abd'l-Muttalib adalah anaknya yang bungsu dan yang sangat dicintai.

Dituntunnya anak muda itu oleh Abd'l-Muttalib dan dibawanya untuk disembelih di tempat yang biasa orang-orang Arab melakukan itu di dekat Zamzam yang terletak antara berhala Isaf dengan Na'ila.

Tetapi saat itu juga orang-orang Quraisy mencegahnya. Atas pembatalan, Abdul Muttalib diminta supaya memohon ampun kepada Hubal. Abd'l-Muttalib masih ragu-ragu juga. Ditanyakannya kepada mereka apa yang harus diperbuat supaya sang berhala itu berkenan. Mughira bin Abdullah dari suku Makhzum berkata: "Kalau penebusannya dapat dilakukan dengan harta kita, kita tebuslah."

Setelah antara mereka diadakan perundingan, mereka sepakat akan pergi menemui seorang dukun di Jathrib yang sudah biasa memberikan pendapat dalam hal semacam ini. Dalam pertemuan mereka dengan dukun wanita itu kepada mereka dimintanya supaya menangguhkan sampai besok.

"Berapa tebusan yang ada pada kalian?" tanya sang dukun.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1687 seconds (0.1#10.140)