Ka'bah: Kisah Nazar Abdul Muthalib Menyembelih Anaknya

Kamis, 28 Mei 2020 - 11:24 WIB
loading...
Kabah: Kisah Nazar Abdul...
Hal ini menunjukkan sekaligus betapa mulianya kedudukan Makkah dengan Rumah Sucinya itu di tengah-tengah tanah Arab. Foto/Ilustrasi/Ist
A A A
Hasyim bin Abdu Manaf adalah pendiri dari Bani Hasyim. Beliau adalah buyut dari Nabi Muhammad dan Ali bin Abu Thalib . Nama sesungguhnya adalah Amar dan bergelar Ala. Ia merupakan saudara kembar dari 'Abd asy-Syams.

Pada suatu perjalanan kafilah ke Palestina , Hâsyim meninggal di Gaza , diperkirakan terjadi pada tahun 497 Masehi. Kedudukannya digantikan oleh adiknya, Muttalib. ( )

Bani Muttalib adalah salah satu dari Suku Quraisy yang terkemuka. Bani Muttalib termasuk golongan yang dimasukkan oleh Rasulullah Muhammad sebagai dzawil qurba ( kerabat dekat ) bersama Bani Hasyim, yaitu golongan yang mendapat hak khumus (hak seperlima) sebagai bagian dari kerabat Rasulullah yang disebutkan dalam Al-Qur'an, Surat Al Anfaal ayat 41.

Hal ini disebabkan sebagaimana jawaban Rasulullah terhadap sebuah pertanyaan, ia menjawab: "Sesungguhnya mereka (Bani Muttalib) tidak meninggalkan kami, baik pada zaman jahiliyah ataupun zaman Islam. Bani Hasyim dan Bani Muttalib adalah satu."

Kemudian–untuk menunjukkan hal ini–Nabi menggenggam kedua tangannya.

Pada saat terjadi pemboikotan pihak Quraisy terhadap Nabi Muhammad dan Bani Hasyim pada tahun 616 selama tiga tahun, Bani Muttalib memberikan dukungan, baik mereka yang kafir maupun beriman kepada kerasulan Muhammad. Bani Muttalib juga turut menanggung beban penderitaan yang dialami oleh Nabi Muhammad dan Bani Hasyim.

Abdul Muthalib
Kembali ke Hasyim. Menurut Ibnu Hisham, putra-putranya Hasyim adalah Asad bin Hâsyim, Abu Saifi bin Hâsyim, Nadla bin Hâsyim, Syaibah bin Hâsyim, Nama terakhir ini dikenal dengan nama 'Abd al-Muththalib, kakek Nabi Muhammad dan Sayidina Ali dari pihak ayah.

Baca Juga: Ka'bah Ditutup, Ini Penjelasan Imam Besar Masjidil Haram
Kala masih kecil, Syaibah dibawa bundanya, Salma, ke Jathrib. Pada suatu hari terpikir oleh Muttalib akan keponakannya itu. Kala itu Syaibah sudah menjadi pemuda yang tampan. Muttalib bermaksud menjemput keponakannya itu. Sang bunda, Salma, mempersilakan.

Maka, oleh Muttalib dibawanya pemuda itu ke atas untanya. Begitu ia memasuki Makkah, orang-orang Quraisy menduga bahwa yang dibawa itu budaknya. Oleh karena itu mereka lalu memanggilnya Abd'l Muttalib (Budak Muttalib).

"Hai," kata Muttalib. "Dia kemenakanku anak Hasyim yang kubawa dari Yasrib."

Tetapi sebutan itu sudah melekat pada pemuda tersebut. Orang sudah memanggilnya demikian dan nama Syaibah yang diberikan ketika dilahirkan sudah dilupakan orang.

Pada mulanya Muttalib ingin sekali mengembalikan harta Hasyim di Makkah untuk kemenakan itu. Tetapi Naufal menolak, lalu menguasainya.



Sesudah Abd'l-Muttalib mempunyai kekuatan ia meminta bantuan kepada saudara-saudara ibunya di Jathrib terhadap tindakan saudara ayahnya itu. Iia bermaksud mengambil miliknya. Pihak Khazraj di Jathrib mengirimkan delapan puluh orang pasukan perang. Akhirnya Naufal terpaksa mengembalikan harta itu.

Selanjutnya, Abd'l-Muttalib juga menempati kedudukan yang ditinggalkan ayahnya, Hasyim. Sesudah pamannya Muttalib, dialah yang mengurus pembagian air dan persediaan makanan bagi peziarah di Ka'bah.

Persoalannya mengurus air bukan pekerjaan mudah. Kala itu sumur zamzam masih mengering. ( )

Sekadar mengingatkan, Ka'bah sempat dikuasai suku Jurhum setelah keturunan Nabi Ismail terusir dari wilayah itu. Sumur zamzam telah menjadi sumber penghidupan bagi mereka. Namun keadaan itu membuat mereka lupa, bahkan berlaku zalim terhadap orang yang mengunjunginya. Mereka berani memakan harta yang mereka hadiahkan untuk Baitullah dan merampas harta benda orang lain yang hidup di sekitarnya.

Padahal, pada waktu itu tidak diperkenankan melakukan segala bentuk kezaliman di dalamnya. Seiring dengan perilaku dan sikap Kabilah Jurhum yang semakin brutal, sedikit demi sedikit sumber air sumur Zamzam semakin mengecil.

Sampai sumber air zamzam tertutup sama sekali. Ini merupakan suatu balasan atas kebrutalan mereka. Semua perilaku Jurhum menyebabkan petaka bagi orang-orang di sekitarnya.



Mereka sempat berusaha menggali Zamzam lebih dalam lagi. Diambilnya dua buah pangkal pelana emas dari dalam Ka'bah beserta harta yang dibawa orang sebagai sesajen ke dalam Rumah Suci itu. Dimasukkannya semua itu ke dalam dasar sumur, sedang pasir yang masih ada di dalamnya dikeluarkan, dengan harapan pada suatu waktu ia akan menemukannya kembali. Hanya saja upaya ini tak membuahkan hasil.

Upaya ini terhenti setelah terjadi peperangan antara Jurhum dan Bani Khuza’ah yang berakhir dengan terusirnya Kabilah Jurhum dari Baitullah. Seiring dengan berjalannya waktu, sumur Zamzam semakin tertutup dan tak terlihat.

Menggali Zamzam
Dalam mengurus dua jabatan ini terutama urusan air, Abdul Muttalib menemui kesulitan. Pada saat itu anaknya hanyalah seorang, yaitu Harith. Sedang persediaan air untuk tamu didatangkan dari beberapa sumur yang terpencar-pencar sekitar Makkah, yang kemudian diletakkan di sebuah kolam di dekat Ka'bah.

Sebaliknya, kalau Abd'l-Muttalib harus memikul jabatan penyediaan air dan makanan sedang anak hanya Harith satu-satunya, tentu hal ini akan terasa berat sekali. Ini jugalah yang lama menjadi pikiran.

Di sisi lain, orang-orang Arab masih selalu ingat kepada sumur Zamzam yang sudah mengering itu. Ini menjadi pikiran Abdul Muttalib. Demikian kerasnya keinginan itu hingga terbawa dalam mimpinyaseolah ada suara gaib menyuruhnya menggali kembali sumur yang pernah menyembur di kaki Ismail leluhurnya dulu itu.

"Galilah thibah!" Abdul Muttalib lalu bertanya, "Apa thibah itu?" Suara perintah itu menjawab, "Galilah Zamzam!" Beliau bertanya lagi, "Apa itu zamzam?" Suara itu kembali terdengar, "Tidak akan berhenti selamanya dan tidak akan terputus untuk memberi penghidupan jamaah haji yang mulia."

Demikian mendesaknya suara itu dengan menunjukkan sekali letak sumur itu. Dan diapun memang gigih sekali ingin mencari letak Zamzam tersebut, sampai akhirnya diketemukannya juga, yaitu terletak antara dua patung: Isaf dan Na'ila.

Ia terus mengadakan penggalian, dibantu oleh anaknya, Harith. Waktu itu tiba-tiba air membersit dan dua pangkal pelana emas dan pedang Mudzadz mulai tampak. Sementara itu orang-orang lalu ikut-ikutan dalam urusan sumur itu serta apa yang terdapat di dalamnya. Akan tetapi Abdul Muttalib berkata: "Tidak! Tetapi marilah kita mengadakan pembagian, antara aku dengan kamu sekalian. Kita mengadu nasib dengan permainan qid-h (anak panah). Dua anak panah buat Ka'bah, dua buat aku dan dua buat kamu. Kalau anak panah itu keluar, ia mendapat bagian, kalau tidak, dia tidak mendapat apa-apa."

Usul ini disetujui. Lalu anak-anak panah itu diberikan kepada juru qid-h yang biasa melakukan itu di tempat Hubal di tengah-tengah Ka'bah. Anak panah Quraisy ternyata tidak keluar. Sekarang pedang-pedang itu buat Abd'l-Muttalib dan dua buah pangkal pelana emas buat Ka'bah. Pedang-pedang itu oleh Abd'l-Muttalib dipasang di pintu Ka'bah, sedang kedua pelana emas dijadikan perhiasan dalam Rumah Suci itu. Abd'l Muttalib meneruskan tugasnya mengurus air untuk keperluan tamu, sesudah sumur Zamzam dapat berjalan lancar.

Nazar Menyembelih Anak
Karena tidak banyak anak, Abd'l-Muttalib di tengah-tengah masyarakatnya sendiri itu merasa kekurangan tenaga yang akan dapat membantunya. Ia bernazar; kalau sampai beroleh sepuluh anak laki-laki kemudian sesudah besar-besar tidak beroleh anak lagi seperti ketika ia menggali sumur Zamzam dulu, salah seorang di antaranya akan disembelih di Ka'bah sebagai kurban untuk Tuhan.

Nazar Abdul Muttalib terkabul. Ia dikaruniai anak laki-laki berjumlah 10 orang. Takdirpun menentukan pula sesudah
itu tidak beroleh anak lagi.

Dipanggilnya semua anak-anaknya dengan maksud supaya dapat memenuhi nazarnya. Semua patuh. Sebagai konsekwensi kepatuhannya itu setiap anak menuliskan namanya masing-masing di atas qid-h (anak panah). Kemudian semua itu diambilnya oleh Abd'l-Muttalib dan dibawanya kepada juru qid-h di tempat berhala Hubal di tengah-tengah Ka'bah.

Hal yang lazim, apabila sedang menghadapi kebingungan yang luarbiasa, orang-orang Arab masa itu selalu meminta pertolongan juru qid-h supaya memintakan kepada Maha Dewa Patung itu dengan jalan (mengadu nasib) melalui qid-h.

Setelah juru qid-h mengocok anak panah yang sudah dicantumi nama-nama semua anak-anak yang akan menjadi pilihan dewa Hubal untuk kemudian disembelih oleh sang ayah, maka yang keluar adalah nama Abdullah.

Abdullah bin Abd'l-Muttalib adalah anaknya yang bungsu dan yang sangat dicintai.

Dituntunnya anak muda itu oleh Abd'l-Muttalib dan dibawanya untuk disembelih di tempat yang biasa orang-orang Arab melakukan itu di dekat Zamzam yang terletak antara berhala Isaf dengan Na'ila.

Tetapi saat itu juga orang-orang Quraisy mencegahnya. Atas pembatalan, Abdul Muttalib diminta supaya memohon ampun kepada Hubal. Abd'l-Muttalib masih ragu-ragu juga. Ditanyakannya kepada mereka apa yang harus diperbuat supaya sang berhala itu berkenan. Mughira bin Abdullah dari suku Makhzum berkata: "Kalau penebusannya dapat dilakukan dengan harta kita, kita tebuslah."

Setelah antara mereka diadakan perundingan, mereka sepakat akan pergi menemui seorang dukun di Jathrib yang sudah biasa memberikan pendapat dalam hal semacam ini. Dalam pertemuan mereka dengan dukun wanita itu kepada mereka dimintanya supaya menangguhkan sampai besok.

"Berapa tebusan yang ada pada kalian?" tanya sang dukun.

"Sepuluh ekor unta."

"Kembalilah ke negeri kamu sekalian," kata dukun itu. "Sediakanlah tebusan sepuluh ekor unta. Kemudian keduanya itu diundi dengan anak panah. Kalau yang keluar itu atas nama anak kamu, ditambahlah jumlah unta itu sampai dewa berkenan."

Merekapun menyetujui. Setelah yang demikian ini dilakukan ternyata anak panah itu keluar tetap atas nama Abdullah juga. Ditambahnya jumlah unta itu sampai mencapai jumlah seratus ekor. Ketika itulah anak panah keluar atas nama unta itu. Sementara itu orang-orang Quraisy berkata kepada Abd'l-Muttalib - yang sedang berdoa kepada tuhannya: "Tuhan sudah berkenan."

"Tidak," kata Abd'l-Muttalib. "Harus kulakukan sampai tiga kali." Tetapi sampai tiga kali dikocok anak panah itupun tetap keluar atas nama unta itu juga. Barulah Abd'l-Muttalib merasa puas setelah ternyata sang dewa berkenan. Disembelihnya unta itu dan dibiarkannya begitu tanpa dijamah manusia atau binatang.

Muhammad Husain Haekal dalam buku "Sejarah Hidup Muhammad", menjelaskan begitulah buku-buku biografi melukiskan. Digambarkannya beberapa macam adat-istiadat orang Arab, kepercayaan serta cara-cara mereka melakukan upacara kepercayaan itu. Hal ini menunjukkan sekaligus betapa mulianya kedudukan Makkah dengan Rumah Sucinya itu di tengah-tengah tanah Arab.

At-Tabari menceritakan - sehubungan dengan kisah penebusan ini - bahwa pernah ada seorang wanita Islam bernazar bahwa bila maksudnya terlaksana dalam melakukan sesuatu, ia akan menyembelih anaknya.

Ternyata kemudian maksudnya terkabul. Ia pergi kepada Abdullah bin Umar. Orang ini tidak memberikan pendapat. Kemudian ia pergi kepada Abdullah bin Abbas yang ternyata memberikan fatwa supaya ia menyembelih
seratus ekor unta, seperti halnya dengan penebusan Abdullah anak Abd'l-Muttalib. Tetapi Marwan - penguasa Medinah ketika itu - merasa heran sekali setelah mengetahui hal itu. "Nazar tidak berlaku dalam suatu perbuatan dosa," katanya.
(mhy)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2033 seconds (0.1#10.140)