Kisah Cinta Dalam Diam Fatimah Az-Zahra yang Membuat Ali Penasaran

Kamis, 14 Oktober 2021 - 13:58 WIB
loading...
Kisah Cinta Dalam Diam Fatimah Az-Zahra yang Membuat Ali Penasaran
Fatimah berkata, Ya wahai cintaku, kau benar, pemuda itu bernama Ali bin Abi Thalib sang pujaan hatiku. (Foto/Ilustrasi :Ist)
A A A
Kisah cinta Sayyidah Fatimah Az-Zahra kepada Ali bin Abu Thalib adalah kisah cinta yang menggebu namun tersimpan rapi dalam hati mereka berdua. Pernyataan cinta dua sejoli ini terungkap pada malam pertama, setelah pasangan ini menikah.

Putri Rasulullah SAW ini mencintai dan mengagumi Ali bin Abu Thalib secara diam-diam. Begitu juga sebaliknya, Ali bin Abu Thalib merasa minder untuk meminang Fatimah. "Wahai cintaku, pemuda itu bernama Ali bin Abi Thalib sang pujaan hatiku,” ujar Sayyidah Fatimah Az-Zahra mesra di malam pertama.



Alkisah, Abu Bakar menemui Rasulullah SAW untuk meminang Sayyidah Fatimah. Rasulullah menolak lamaran itu. "Dia masih kecil," ujar Rasulullah.

Hal yang sama juga dilakukan Umar bin Khattab . Nabi menjawab dengan jawaban yang sama. Inilah yang membuat Ali bin Abu Thalib minder. Abu Bakar dan Umar adalah sahabat Nabi. Keduanya ganteng dan kaya. Sementara Ali merasa dirinya tidak memiliki apa-apa alias miskin.

Buku Sejarah Hidup Muhammad karya Muhammad Husain Haekal menggambarkan Abu Bakar sebagai pria yang rupawan. Dari kalangan Quraisy, Abu Bakar termasuk orang Quraisy yang berketurunan tinggi dan banyak mengetahui segala seluk-beluk bangsa itu, yang baik dan yang jahat. Sebagai pedagang dan orang yang berakhlak baik, Abu Bakar juga cukup terkenal.

"Kalangan masyarakatnya sendiri yang terkemuka mengenalnya dalam satu bidang saja. Mereka mengenalnya karena ilmunya, karena perdagangannya dan karena pergaulannya yang baik," tulis Muhammad Husain Haekal.

Nah, jika Abu Bakar dan Umar saja ditolak Rasulullah, apalagi jika yang mengajukan lamaran itu Ali bin Abu Thalib.



Pengakuan Ali bin Abu Thalib
Ali sangat mencintai Fatimah dan ingin melamar putri Rasulullah SAW tersebut. Ibnu Katsir dalam Sirah Nabawiyah dan al-Baihaqi dalam ad-Dalail, dari Ali radhiyallahu ‘anhu, menceritakan bagaimana keinginan Ali bin Abu Thalib melamar Fatimah.

Ali bercerita aku ingin melamar Fatimah, lalu mantan budakku menyampaikan kepadaku, “Tahukah kamu bahwa Fatimah telah dilamar?”

“Tidak tahu,” jawabku.

“Dia telah dilamar. Mengapa kamu tidak segera datang menemui Rasulullah SAW agar dinikahkan dengannya?” desak mantan budakku.

“Saya tak punya apa-apa untuk menikah dengannya?” jawabku.

“Kalau kamu datang ke Rasulullah, beliau akan menikahkanmu,” ujar mantan budakku.

Dia terus memotivasi aku sampai aku mendatangi Rasulullah SAW. Ketika aku duduk di depan beliau, aku hanya bisa terdiam. Demi Allah, aku tidak bisa bicara apapun, melihat wibawa Nabi SAW.

Tanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kamu datang, ada apa? Ada kebutuhan apa?”

Aku hanya bisa diam.

Beliau tanya ulang,

“Kamu datang untuk melamar Fatimah?”

“Ya,” jawabku.

Tanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kamu punya sesuatu yang bisa dijadikan untuk maharnya?”

“Gak ada, Ya Rasulullah…” jawabku.

Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, "Bagaimana dengan tameng yang pernah aku berikan kepadamu?"

“Demi Allah, itu hanya Huthamiyah, nilainya tidak mencapai 4 dirham,” jawabku.

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahkan Ali dengan Fatimah dengan mahar tameng Huthamiyah.

Sedangkan dalam riwayat Ahmad dan Nasai juga menyampaikan pengakuan Ali bin Abu Thalib tersebut sebagai berikut:

Aku menikahi Fatimah. Aku berkata kepada Nabi, “Ya Rasulullah, izinkan aku untuk menemui Fatimah.”

“Berikan mahar kepadanya!” jawab Nabi SAW.

“Aku tidak punya apapun,” jawabku.

Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,

“Mana tameng Huthamiyah milikmu?”

“Ada di tempatku.” Jawabku.

“Berikan kepadanya!” perintah Nabi SAW. (HR Ahmad 603, Nasai 3388 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).



Pengakuan Fatimah di Malam Pertama
Dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari setelah keduanya menikah, Fatimah berkata kepada Ali: “Wahai suamiku Ali, aku telah halal bagimu, aku pun sangat bersyukur kepada Allah karena ayahku memilihkan aku suami yang tampan, saleh, cerdas dan baik sepertimu”.

Ali menjawab,“Aku pun begitu wahai Fatimahku sayang. Aku sangat bersyukur kepada Allah akhirnya cintaku padamu yang telah lama kupendam telah menjadi halal dengan ikatan suci pernikahanku denganmu.”

Fatimah berkata dengan lembut kepada Ali, “Wahai suamiku, bolehkah aku berkata jujur padamu? karena aku ingin terjalin komunikasi yang baik di antara kita dan kelanjutan rumah tangga kita”.

“Tentu saja istriku, silahkan, aku akan mendengarkanmu…” jawab Ali.

“Wahai Ali suamiku, maafkan aku, tahukah engkau bahwa sesungguhnya sebelum aku menikah denganmu, aku telah lama mengagumi dan memendam rasa cinta kepada seorang pemuda, dan aku merasa pemuda itu pun memendam rasa cintanya untukku. Namun akhirnya ayahku menikahkan aku denganmu. Sekarang aku adalah istrimu, kau adalah imamku maka aku pun ikhlas melayanimu, mendampingimu, mematuhimu dan menaatimu, marilah kita berdua bersama-sama membangun keluarga yang diridhoi Allah,” tutur Fatimah.

Ali bahagia mendengar pernyataan Fatimah yang siap mengarungi bahtera kehidupan bersama, suatu pernyataan yang sangat jujur dan tulus dari hati perempuan salehah. Tapi Ali juga terkejut dan agak sedih ketika mengetahui bahwa sebelum menikah dengannya ternyata Fatimah telah memendam perasaan kepada seorang pemuda.

Ali merasa agak sedih karena sepertinya Fatimah menikah dengannya karena permintaan Rasul. Ali kagum dengan Fatimah yang mau merelakan perasaannya demi taat dan berbakti kepada orang tuanya sehingga mau menjadi istri Ali dengan ikhlas.

Namun, Ali memang sungguh pemuda yang sangat baik hati, ia memang sangat bahagia sekali telah menjadi suami Fatimah, tapi karena rasa cintanya karena Allah yang sangat tulus kepada Fatimah, hati Ali pun merasa agak bersalah jika hati Fatimah terluka, karena Ali sangat tahu bagaimana rasanya menderita karena cinta.

Dan sekarang Fatimah sedang merasakannya. Ali bingung ingin berkata apa, perasaan di dalam hatinya bercampur aduk. Di satu sisi ia sangat bahagia telah menikah dengan Fatimah, dan Fatimah pun telah ikhlas menjadi istrinya. Tapi disisi lain Ali tahu bahwa hati Fatimah sedang terluka. Ali pun terdiam sejenak, ia tak menanggapi pernyataan Fatimah.

Fatimah pun lalu berkata, “Wahai Ali suamiku sayang, Astagfirullah, maafkan aku. Aku tak ada maksud ingin menyakitimu, demi Allah aku hanya ingin jujur padamu, saat ini kaulah pemilik cintaku, raja yang menguasai hatiku.”.

Ali masih saja terdiam, bahkan Ali mengalihkan pandangannya dari wajah Fatimah yang cantik itu.

Melihat sikap Ali, Fatimah pun berkata sambil merayu Ali, “Wahai suamiku Ali, tak usah lah kau pikirkan kata-kataku itu, marilah kita berdua nikmati malam indah kita ini. Ayolah sayang, aku menantimu Ali”.

Ali tetap saja terdiam dan tidak terlalu menghiraukan rayuan Fatimah, tiba-tiba Ali pun berkata, “Fatimah, kau tahu bahwa aku sangat mencintaimu, kau pun tahu betapa aku berjuang memendam rasa cintaku demi untuk ikatan suci bersamamu, kau pun juga tahu betapa bahagianya kau telah menjadi istriku.

Tapi Fatimah, tahukah engkau saat ini aku juga sedih karena mengetahui hatimu sedang terluka. Sungguh aku tak ingin orang yang kucintai tersakiti, aku bisa merasa bersalah jika seandainya kau menikahiku bukan karena kau sungguh-sungguh cinta kepadaku.

Walaupun aku tahu lambat laun pasti kau akan sangat sungguh-sungguh mencintaiku. Tapi aku tak ingin melihatmu sakit sampai akhirnya kau mencintaiku.”.

Fatimah pun tersenyum mendengar kata-kata Ali. Sedangkan Ali diam sesaat sambil merenung. Tak terasa mata Ali pun mulai keluar air mata, lalu dengan sangat tulus Ali berkata lagi, “Wahai Fatimah, aku sudah menikahimu tapi aku belum menyentuh sedikit pun dari dirimu, kau masih suci. Aku rela menceraikanmu malam ini agar kau bisa menikah dengan pemuda yang kau cintai itu, aku akan ikhlas, lagi pula pemuda itu juga mencintaimu."

"Jadi aku tak akan khawatir ia akan menyakitimu. Aku tak ingin cintaku padamu hanya bertepuk sebelah tangan, sungguh aku sangat mencintaimu, demi Allah aku tak ingin kau terluka. Menikahlah dengannya, aku rela,” lanjut Ali.

Fatimah juga meneteskan airmata sambil tersenyum menatap suaminya itu. Fatimah sangat kagum dengan ketulusan cinta Ali kepadanya. Ketika itu juga Fatimah ingin berkata kepada Ali, tapi Ali memotong dan berkata, “Tapi Fatimah, sebelum aku menceraikanmu, bolehkah aku tahu siapa pemuda yang kau pendam rasa cintanya itu? Aku berjanji tak akan meminta apapun lagi darimu, namun izinkanlah aku mengetahui nama pemuda itu.”

Air mata Fatimah mengalir semakin deras, Fatimah tak kuat lagi membendung rasa bahagianya dan Fatimah langsung memeluk Ali dengan erat. Lalu Fatimah pun berkata dengan tersedu-sedu, “Wahai Ali, demi Allah aku sangat mencintaimu, sungguh aku sangat mencintaimu karena Allah."

Berkali-kali Fatimah mengulang kata-katanya. Setelah emosinya bisa terkontrol, Fatimah pun berkata kepada Ali, “Wahai Ali, awalnya aku ingin tertawa dan menahan tawa sejak melihat sikapmu setelah aku mengatakan bahwa sebenarnya aku memendam rasa cinta kepada seorang pemuda sebelum menikah denganmu. Aku hanya ingin menggodamu, sudah lama aku ingin bisa bercanda mesra bersamamu. Tapi kau malah membuatku menangis bahagia. Apakah kau tahu sebenarnya pemuda itu sudah menikah”.

Ali menjadi bingung, Ali pun berkata dengan selembut mungkin, walaupun ia kesal dengan ulah Fatimah kepadanya. ”Apa maksudmu wahai Fatimah? Kau bilang padaku bahwa kau memendam rasa cinta kepada seorang pemuda, tapi kau malah kau bilang sangat mencintaiku, dan kau juga bilang ingin tertawa melihat sikapku. Apakah kau ingin mempermainkan aku Fatimah? Sudahlah tolong sebut siapa nama pemuda itu? Mengapa kau mengharapkannya walaupun dia sudah menikah?” tanya Ali.

Fatimah pun kembali memeluk Ali dengan erat, tapi kali ini dengan dekapan yang mesra. Lalu menjawab pertanyaan Ali dengan manja, “Ali sayang, kau benar seperti yang kukatakan bahwa aku memang telah memendam rasa cintaku itu, aku memendamnya bertahun-tahun, sudah sejak lama aku ingin mengungkapkannya, tapi aku terlalu takut. Aku tak ingin menodai anugerah cinta yang Allah berikan ini. Aku pun tahu bagaimana beratnya memendam rasa cinta apalagi dahulu aku sering bertemu dengannya.

Hatiku bergetar bila ku bertemu dengannya. Kau juga benar wahai Ali cintaku, ia memang sudah menikah. Tapi tahukah engkau wahai sayangku, pada malam pertama pernikahannya ia malah dibuat menangis dan kesal oleh perempuan yang baru dinikahinya.”

Ali pun masih agak bingung, tapi Fatimah segera melanjutkan kata-katanya dengan nada yang semakin menggoda Ali. ”Kau ingin tahu siapa pemuda itu? Baiklah akan kuberi tahu. Sekarang ia berada di sisiku. Aku sedang memeluk mesra pemuda itu, tapi kok dia diam saja ya, padahal aku memeluknya sangat erat dan berkata-kata manja padanya, aku sangat mencintainya dan aku pun sangat bahagia ternyata memang dugaanku benar, ia juga sangat mencintaiku…”

Ali berkata kepada Fatimah, “Jadi maksudmu…?”

Fatimah pun berkata, “Ya wahai cintaku, kau benar, pemuda itu bernama Ali bin Abi Thalib sang pujaan hatiku”.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1318 seconds (0.1#10.140)