Masih Adakah Kewajiban Istri Bila Ditinggal Suami Meninggal?
loading...
A
A
A
Ada beberapa kewajiban yang harus dipahami seorang istri jika ditinggal meninggal oleh sang suami. Islam memberikan tuntunan itu agar kehormatan seorang istri tetap terjaga. Kewajiban apakah itu? Menurut Ustadz Setiawan Tugiyono yang juga dai pengasuh bimbingan Islam, kewajiban istri setelah wafatnya suami bisa diklasifikasikan menjadi dua hal:
1. Kewajiban istri yang berkaitan dengan hak-hak khusus karena sebab hubungan pernikahan, setelah suami wafat ada beberapa kewajiban di antaranya:
A. Adanya masa iddah, yaitu masa di mana seorang istri menunggu sampai batas waktu tertentu, tidak boleh ia menikah dengan lelaki lain sampai masa tersebut habis. Dan masa iddah ini terbagi dua, yaitu pertama jika si istri dalam keadaan tidak hamil, maka masa iddahnya adalah 4 bulan 10 hari (hitungan qamariah).
Allah Ta'ala berfirman:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari”. (Al-Baqarah:234).
Adapun jika istri dalam kondisi hamil, maka masa iddah-nya sampai ia melahirkan.
Allah Ta'ala berfirman:
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya”. (At-Talaq:4).
Juga didasarkan pada hadis dari Subaiah al-Aslamiyah bahwa ia melahirkan anaknya ½ bulan selepas suaminya wafat, kemudian Rasul sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Engkau telah halal, menikahlah sesuka yang engkau mau” (HR. An-Nasai).
Masa lahiran adalah masa habisnya iddah perempuan yang hamil, setelahnya boleh baginya menikah dengan lelaki lain.
B. Melakukan ihdad
Ihdad ialah perempuan tersebut meninggalkan memakai wewangian di masa iddah, meninggalkan berhias dengan berbagai ragamnya, seperti memakai celak, mengenakkan perhiasan, dan semisalnya, ini disebutkan dalam had:
“Tidak diperbolehkan bagi perempuan yang beriman pada Allah dan hari akhir untuk melakukan ihdad atas wafatnya mayyit melebihi 3 hari, kecuali jika ia lakukan atas kepergian suami, dia berihdad selama 4 bulan 10 hari”. (HR. Bukhari)
Perempuan yang sedang berihdad juga menetap di dalam rumahnya, tidak keluar dari rumah kecuali untuk kebutuhan yang mendesak, seperti berobat ke dokter, membeli kebutuhan pokok dan semisalnya.
2. Hak umum antara istri dan suami yang sebab intinya adalah karena sama-sama memeluk agama Islam, hak seperti ini contohnya adalah hak untuk didoakan, atau dimintakan ampun (istighfar).
Allah Ta'ala berfirman:
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”. (Al-Hasyr:10).
Jika ayat ini berlaku bagi keumuman kaum muslimin, maka pemberlakuan ayat ini untuk istri bersama dengan al-marhum suaminya tentu lebih ditekankan, karena hubungan mereka tak hanya sebatas bubungan saudara se-Islam dan se-iman, tetapi ada ikatan yang lebih dari itu. "Mungkin itu beberapa kewajiban yang bisa ditunaikan dan dilakukan istri selepas wafatnya suami,"pungkas Ustadz Setiawan.
Wallahu A’lam.
1. Kewajiban istri yang berkaitan dengan hak-hak khusus karena sebab hubungan pernikahan, setelah suami wafat ada beberapa kewajiban di antaranya:
A. Adanya masa iddah, yaitu masa di mana seorang istri menunggu sampai batas waktu tertentu, tidak boleh ia menikah dengan lelaki lain sampai masa tersebut habis. Dan masa iddah ini terbagi dua, yaitu pertama jika si istri dalam keadaan tidak hamil, maka masa iddahnya adalah 4 bulan 10 hari (hitungan qamariah).
Allah Ta'ala berfirman:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari”. (Al-Baqarah:234).
Adapun jika istri dalam kondisi hamil, maka masa iddah-nya sampai ia melahirkan.
Allah Ta'ala berfirman:
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya”. (At-Talaq:4).
Juga didasarkan pada hadis dari Subaiah al-Aslamiyah bahwa ia melahirkan anaknya ½ bulan selepas suaminya wafat, kemudian Rasul sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Engkau telah halal, menikahlah sesuka yang engkau mau” (HR. An-Nasai).
Masa lahiran adalah masa habisnya iddah perempuan yang hamil, setelahnya boleh baginya menikah dengan lelaki lain.
B. Melakukan ihdad
Ihdad ialah perempuan tersebut meninggalkan memakai wewangian di masa iddah, meninggalkan berhias dengan berbagai ragamnya, seperti memakai celak, mengenakkan perhiasan, dan semisalnya, ini disebutkan dalam had:
لا يَحِلُّ لامرأةٍ تُؤمِنُ باللهِ واليَومِ الآخِرِ تُحِدُّ على مَيِّتٍ فَوقَ ثلاثٍ إلَّا على زَوجٍ أربَعةَ أشهُرٍ وعَشرًا
“Tidak diperbolehkan bagi perempuan yang beriman pada Allah dan hari akhir untuk melakukan ihdad atas wafatnya mayyit melebihi 3 hari, kecuali jika ia lakukan atas kepergian suami, dia berihdad selama 4 bulan 10 hari”. (HR. Bukhari)
Perempuan yang sedang berihdad juga menetap di dalam rumahnya, tidak keluar dari rumah kecuali untuk kebutuhan yang mendesak, seperti berobat ke dokter, membeli kebutuhan pokok dan semisalnya.
2. Hak umum antara istri dan suami yang sebab intinya adalah karena sama-sama memeluk agama Islam, hak seperti ini contohnya adalah hak untuk didoakan, atau dimintakan ampun (istighfar).
Allah Ta'ala berfirman:
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”. (Al-Hasyr:10).
Jika ayat ini berlaku bagi keumuman kaum muslimin, maka pemberlakuan ayat ini untuk istri bersama dengan al-marhum suaminya tentu lebih ditekankan, karena hubungan mereka tak hanya sebatas bubungan saudara se-Islam dan se-iman, tetapi ada ikatan yang lebih dari itu. "Mungkin itu beberapa kewajiban yang bisa ditunaikan dan dilakukan istri selepas wafatnya suami,"pungkas Ustadz Setiawan.
Wallahu A’lam.
(wid)