Rukun dan Tata Cara Niat Puasa Ramadhan
loading...
A
A
A
Rukun puasa ada dua rukun yaitu pertama, menahan diri dari yang membatalkan puasa sejak terbit fajar hingga tenggelam matahari. Kedua, niat untuk puasa. Niat dilakukan paling lambat sebelum terbit Fajar. (Lengkapnya lihat Fiqhus Sunnah, 1/437)
Demikian kata Dai lulusan Sastra Arab Universitas Indonesia Ustaz Farid Nu'man Hasan dalam panduan Ramadhan yang dipublishnya di web resminya alfahmu.id. Bagaimana tata cara niat puasa Ramadhan? Berikut penjelasannya:
1. Defenisi Niat
Secara lughah, niat adalah Al-Qashdu (maksud/kehendak) dan Al Azm (tekad/kemauan kuat) untuk melakukan sesuatu. (Imam Ibnul Qayyim, Ighatsatul Lahfan, Hal. 136).
Dalam Al-Mausu'ah disebutkan, makna niat secara mutlak adalah Al Qashdu. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/287)
Dia juga bermakna Al Hifzhu (penjagaan), nawallahu fulanan, yaitu Allah menjaganya (Hafizhahu). (Al Mausu’ah, 42/59).
Secara syariat, hakikat niat adalah kehendak (Al Iradah) yang terarah pada sebuah perbuatan untuk mencari ridha Allah Ta’ala dengan menjalankan hukumNya. (Fiqhus Sunnah, 1/42. Al Mausuah, 2/287. Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 1/137).
Menurut fuqaha Hanafiyah, artinya adalah kehendak ketaatan dan mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala. Kalangan Malikiyah mengatakan kehendak di hati terhadap apa-apa yang dikehendaki manusia untuk dilakukan, itu termasuk pembahasan Al-Uzuum (tekad) dan Al Iradaat (kehendak), bukan pembahasan ilmu dan aqidah.
Kalangan Syafi'iyah mengartikan kehendak terhadap sesuatu yang tersambung dengan perbuatannya. Ada pun fuqaha Hanabilah mengartikan kemauan kuat di hati untuk melakukan ibadah demi mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala, menjadikan Allah Taala sebagai tujuannya bukan selainnya. (Al Mausu’ah, 42/59-60)
Ada beberapa istilah yang terkait dengan niat, yakni: Al ‘Azm (tekad), bermakna kehendak yang pasti setelah adanya keraguan (Jazmul Iradah ba’da taraddud). Hubungan antara niat dan Al ‘Azm adalah keduanya merupakan marhalah (tahapan/tingkatan) dari kehendak. Al ‘Azm merupakan ism (kata benda) yang lebih dahulu ada sebelum berwujud perbuatan.
Sedangkan niat adanya langsung bersambung dengan perbuatan yang dibarengi dengan pengetahuan terhadap apa yang diniatkan. Al Iradah (kehendak), artinya adalah Ath Thalab (tuntutan), Al Ikhtiyar (daya untuk memilih), dan Al Masyi’ah (kemauan). Jika dikatakan Araada syai’a artinya dia menghendaki sesuatu dan menyukainya. Secara istilah, Al Iradah adalah sifat yang mesti ada pada sesuatu yang hidup dan terjadinya pada perbuatan, pada satu sisi tidak pada sisi lainnya. (Lihat semua dalam Al Mausu’ah, 42/60).
Letaknya Niat ada di hati, demikianlah yang dikatakan semua literatur fiqih, kamus, tradisi dan akal manusia. Kami tidak perlu menyampaikan referensinya sebab hal itu sudah diketahui dengan mudah oleh semua manusia. Berkata Imam Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki:
( وَالنِّيَّةُ بِالْقَلْبِ ) إجْمَاعًا هُنَا وَفِي سَائِرِ مَا تُشْرَعُ فِيهِ لِأَنَّهَا الْقَصْدُ وَهُوَ لَا يَكُونُ إلَّا بِهِ فَلَا يَكْفِي مَعَ غَفْلَتِهِ
(Niat itu di hati) berdasarkan ijma’, dan mesti ada pada setiap amal yang disyariatkan karena niat adalah maksud, dan tidaklah perbuatan dianggap ada kecuali dengan adanya niat, maka tidaklah mencukupi jika melalaikannya. (Tuhfah Al Muhtaj, 5/285)
Mayoritas fuqaha kalangan Hanafiyah, dan ini juga pendapat Malikiyah, dan Syafiiyah, serta Hanabilah, menyatakan bahwa niat adalah syarat sahnya ibadah. Pendapat mayoritas Syafi’iyah menyatakan bahwa niat adalah rukunnya ibadah.
Sedangkan kalangan Malikiyah menyatakan bahwa niat adalah fardhu (wajib) ketika wudhu. Berkata Al Mazari: itu adalah pendapat yang lebih terkenal (pada madzhab Maliki). Berkata Ibnu Hajib: itu adalah pendapat yang lebih benar. (Al Asybah wan Nazhair Libni Nujaim, Hal. 20, 24, 52. Al Mawahib Al Jalil, 1/182-230. Adz Dzakhirah, Hal. 235-236. Al Qawaid Al Ahkam, Hal. 175-176. Hasyiah Al Jumal, 1/103. Mughni Muhtaj, 1/148. Al Asybah Wan Nazhair Lis Suyuthi, Hal. 10, 43, 44. Kasyful Qina, 1/85, 313. Al Mughni, 3/91)
Hukum Melafazkan Niat
Adapun melafazkan niat memang tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, para sahabat, dan para tabi'in, bahkan imam empat mazhab. Wacana melafazkan niat baru ada di masa pengikut-pengikut mereka. Sejak berabad-abad lamanya, umat Islam berpolemik tentang melafazkan niat (At Talafuzh An Niyah), seperti lafaz niat hendak salat: "Ushalli fardha Subhi rak’ataini mustaqbilal qiblati ada-an lillahi ta’ala", atau lafaz niat hendak wudhu: "Nawaitu wudhu’a liraf’il hadatsil asghari lillahi ta’ala". Atau lafaz niat berpuasa Ramadhan: "Nawaitu shauma ghadin an ada’i fardhus-syahri Ramadhana haadzihis sanati lillahi ta’ala", dan lainnya.
Polemik ini bukan hanya terjadi di negeri kita, tapi juga umumnya di negeri-negeri Muslim. Di antaranya ada yang membid'ahkan, memakruhkan, membolehkan, menyunnahkan. Bahkan mewajibkan (namun yang mewajibkan telah dianggap pendapat yang syadz/janggal lagi menyimpang). Di sisi lain, tidak ada perbedaan pendapat tentang keberadaan niat di hati dalam melaksanakan ibadah.
Mari kita simak bagaimana pandangan para ulama mazhab tentang melafazhkan niat dalam beribadah ritual. Tertulis dalam Al Mausu'ah:
فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ فِي الْمُخْتَارِ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ فِي الْمَذْهَبِ إِلَى أَنَّ التَّلَفُّظَ بِالنِّيَّةِ فِي الْعِبَادَاتِ سُنَّةٌ لِيُوَافِقَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ . وَذَهَبَ بَعْضُ الْحَنَفِيَّةِ وَبَعْضُ الْحَنَابِلَةِ إِلَى أَنَّ التَّلَفُّظَ بِالنِّيَّةِ مَكْرُوهٌ . وَقَال الْمَالِكِيَّةُ بِجَوَازِ التَّلَفُّظِ بِالنِّيَّةِ فِي الْعِبَادَاتِ ، وَالأْوْلَى تَرْكُهُ ، إِلاَّ الْمُوَسْوَسَ فَيُسْتَحَبُّ لَهُ التَّلَفُّظُ لِيَذْهَبَ عَنْهُ اللَّبْسُ
Pendapat kalangan Hanafiyah (pengikut Imam Abu Hanifah) berdasarkan pendapat yang dipilih, dan Syafi’iyah (pengikut imam Asy Syafi’i) serta Hanabilah (Hambaliyah-pengikut Imam Ahmad bin Hambal) menurut pendapat madzhab bahwasanya melafazkan niat dalam peribadatan adalah SUNNAH agar lisan dapat membimbing hati.
Sebagian Hanafiyah dan sebagian Hanabilah menyatakan bahwa melafazhkan niat adalah MAKRUH. Kalangan Malikiyah (pengikut Imam Malik) mengatakan bolehnya melafazhkan niat dalam peribadatan, namun yang lebih utama adalah meninggalkannya, kecuali bagi orang yang was-was maka baginya dianjurkan untuk melafazhkannya untuk menghilangkan kekacauan dalam pikirannya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 42/67)
Syeikh Wahbah Az Zuhaili menyebutkan: "Secara qath’i melafazhkan niat tidaklah menjadi syarat sahnya, tetapi disunnahkan menurut jumhur (mayoritas) ulama -selain Malikiyah- melafazhkannya untuk menolong hati menghadirkan niat, agar pengucapan itu menjadi pembantu dalam mengingat, dan yang lebih utama menurut kalangan Malikiyah adalah meninggalkan pelafazhan niat itu, karena tidak ada riwayat dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya tentang melafazhkan niat, begitu pula tidak ada riwayat dari imam yang empat.” (Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 1/137)
Jadi, secara umum kebanyakan ulama mazhab menyunnahkan melafazhkan niat. Adapun sebagian Hanafiyah dan sebagian Hanabilah memakruhkan. Sedangkan Malikyah membolehkan walau lebih utama meninggalkannya, kecuali bagi orang yang was-was maka dianjurkan mengucapan niat untuk mengusir was-was tersebut.
Imam Muhammad bin Hasan rahimahullah, sahabat sekaligus murid Imam Abu Hanifah. Beliau mengatakan:
النِّيَّةُ بِالْقَلْبِ فَرْضٌ ، وَذِكْرُهَا بِاللِّسَانِ سُنَّةٌ ، وَالْجَمْعُ بَيْنَهُمَا أَفْضَل
"Niat di hati adalah wajib, menyebutnya di lisan adalah sunnah, dan menggabungkan keduanya adalah lebih utama." (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 42/100)
Imam Ibnu Hajar Al-Haitami Al-Makki mengatakan: "(Disunnahkan mengucapkan) dengan apa yang diniatkan (sesaat sebelum takbir) agar lisan membantu hati dan keluar dari khilaf (perbedaan pendapat) dengan kalangan yang mewajibkan, walaupun yang mewajibkan ini adalah pendapat yang syadz (janggal), sunnahnya ini diqiyaskan dengan apa yang ada pada haji (yakni pengucapan kalimat talbiyah, pen)." (Tuhfah Al Muhtaj, 5/285)
Imam Syihabuddin Ar-Ramli mengatakan: "Dianjurkan mengucapkan apa yang diniatkan sesaat sebelum takbir untuk membantu hati, karena hal itu dapat menjauhkan was-was dan untuk keluar dari perselisihan pendapat dengan pihak yang mewajibkannya." (Nihayatul Muhtaj, 1/457. Darul Fikr)
Imam Al-Bahuti mengatakan, ketika membahas niat dalam salat:
وَمَحَلُّهَا الْقَلْبُ وُجُوبًا وَاللِّسَانُ اسْتِحْبَابًا
"Tempatnya niat adalah di hati sebagai hal yang wajib, dan disukai (sunnah) diucapkan lisan..." (Kasyful Qina’, 2/442. Mawqi Islam)
Niat Puasa Ramadhan:
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ اَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هذِهِ السَّنَةِ ِللهِ تَعَالَى
NAWAITU SHAUMA GHODIN 'AN ADAA'I FARDHI SYAHRI ROMADHOONA HAADZIHIS SANATI LILLAHI TA'ALA
"Aku niat berpuasa besok hari untuk menunaikan kewajiban di bulan Ramadhan tahun ini karena Allah Ta'ala."
Wallahu A'lam Bish Showab
Demikian kata Dai lulusan Sastra Arab Universitas Indonesia Ustaz Farid Nu'man Hasan dalam panduan Ramadhan yang dipublishnya di web resminya alfahmu.id. Bagaimana tata cara niat puasa Ramadhan? Berikut penjelasannya:
1. Defenisi Niat
Secara lughah, niat adalah Al-Qashdu (maksud/kehendak) dan Al Azm (tekad/kemauan kuat) untuk melakukan sesuatu. (Imam Ibnul Qayyim, Ighatsatul Lahfan, Hal. 136).
Dalam Al-Mausu'ah disebutkan, makna niat secara mutlak adalah Al Qashdu. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/287)
Dia juga bermakna Al Hifzhu (penjagaan), nawallahu fulanan, yaitu Allah menjaganya (Hafizhahu). (Al Mausu’ah, 42/59).
Secara syariat, hakikat niat adalah kehendak (Al Iradah) yang terarah pada sebuah perbuatan untuk mencari ridha Allah Ta’ala dengan menjalankan hukumNya. (Fiqhus Sunnah, 1/42. Al Mausuah, 2/287. Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 1/137).
Menurut fuqaha Hanafiyah, artinya adalah kehendak ketaatan dan mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala. Kalangan Malikiyah mengatakan kehendak di hati terhadap apa-apa yang dikehendaki manusia untuk dilakukan, itu termasuk pembahasan Al-Uzuum (tekad) dan Al Iradaat (kehendak), bukan pembahasan ilmu dan aqidah.
Kalangan Syafi'iyah mengartikan kehendak terhadap sesuatu yang tersambung dengan perbuatannya. Ada pun fuqaha Hanabilah mengartikan kemauan kuat di hati untuk melakukan ibadah demi mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala, menjadikan Allah Taala sebagai tujuannya bukan selainnya. (Al Mausu’ah, 42/59-60)
Ada beberapa istilah yang terkait dengan niat, yakni: Al ‘Azm (tekad), bermakna kehendak yang pasti setelah adanya keraguan (Jazmul Iradah ba’da taraddud). Hubungan antara niat dan Al ‘Azm adalah keduanya merupakan marhalah (tahapan/tingkatan) dari kehendak. Al ‘Azm merupakan ism (kata benda) yang lebih dahulu ada sebelum berwujud perbuatan.
Sedangkan niat adanya langsung bersambung dengan perbuatan yang dibarengi dengan pengetahuan terhadap apa yang diniatkan. Al Iradah (kehendak), artinya adalah Ath Thalab (tuntutan), Al Ikhtiyar (daya untuk memilih), dan Al Masyi’ah (kemauan). Jika dikatakan Araada syai’a artinya dia menghendaki sesuatu dan menyukainya. Secara istilah, Al Iradah adalah sifat yang mesti ada pada sesuatu yang hidup dan terjadinya pada perbuatan, pada satu sisi tidak pada sisi lainnya. (Lihat semua dalam Al Mausu’ah, 42/60).
Letaknya Niat ada di hati, demikianlah yang dikatakan semua literatur fiqih, kamus, tradisi dan akal manusia. Kami tidak perlu menyampaikan referensinya sebab hal itu sudah diketahui dengan mudah oleh semua manusia. Berkata Imam Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki:
( وَالنِّيَّةُ بِالْقَلْبِ ) إجْمَاعًا هُنَا وَفِي سَائِرِ مَا تُشْرَعُ فِيهِ لِأَنَّهَا الْقَصْدُ وَهُوَ لَا يَكُونُ إلَّا بِهِ فَلَا يَكْفِي مَعَ غَفْلَتِهِ
(Niat itu di hati) berdasarkan ijma’, dan mesti ada pada setiap amal yang disyariatkan karena niat adalah maksud, dan tidaklah perbuatan dianggap ada kecuali dengan adanya niat, maka tidaklah mencukupi jika melalaikannya. (Tuhfah Al Muhtaj, 5/285)
Mayoritas fuqaha kalangan Hanafiyah, dan ini juga pendapat Malikiyah, dan Syafiiyah, serta Hanabilah, menyatakan bahwa niat adalah syarat sahnya ibadah. Pendapat mayoritas Syafi’iyah menyatakan bahwa niat adalah rukunnya ibadah.
Sedangkan kalangan Malikiyah menyatakan bahwa niat adalah fardhu (wajib) ketika wudhu. Berkata Al Mazari: itu adalah pendapat yang lebih terkenal (pada madzhab Maliki). Berkata Ibnu Hajib: itu adalah pendapat yang lebih benar. (Al Asybah wan Nazhair Libni Nujaim, Hal. 20, 24, 52. Al Mawahib Al Jalil, 1/182-230. Adz Dzakhirah, Hal. 235-236. Al Qawaid Al Ahkam, Hal. 175-176. Hasyiah Al Jumal, 1/103. Mughni Muhtaj, 1/148. Al Asybah Wan Nazhair Lis Suyuthi, Hal. 10, 43, 44. Kasyful Qina, 1/85, 313. Al Mughni, 3/91)
Hukum Melafazkan Niat
Adapun melafazkan niat memang tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, para sahabat, dan para tabi'in, bahkan imam empat mazhab. Wacana melafazkan niat baru ada di masa pengikut-pengikut mereka. Sejak berabad-abad lamanya, umat Islam berpolemik tentang melafazkan niat (At Talafuzh An Niyah), seperti lafaz niat hendak salat: "Ushalli fardha Subhi rak’ataini mustaqbilal qiblati ada-an lillahi ta’ala", atau lafaz niat hendak wudhu: "Nawaitu wudhu’a liraf’il hadatsil asghari lillahi ta’ala". Atau lafaz niat berpuasa Ramadhan: "Nawaitu shauma ghadin an ada’i fardhus-syahri Ramadhana haadzihis sanati lillahi ta’ala", dan lainnya.
Polemik ini bukan hanya terjadi di negeri kita, tapi juga umumnya di negeri-negeri Muslim. Di antaranya ada yang membid'ahkan, memakruhkan, membolehkan, menyunnahkan. Bahkan mewajibkan (namun yang mewajibkan telah dianggap pendapat yang syadz/janggal lagi menyimpang). Di sisi lain, tidak ada perbedaan pendapat tentang keberadaan niat di hati dalam melaksanakan ibadah.
Mari kita simak bagaimana pandangan para ulama mazhab tentang melafazhkan niat dalam beribadah ritual. Tertulis dalam Al Mausu'ah:
فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ فِي الْمُخْتَارِ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ فِي الْمَذْهَبِ إِلَى أَنَّ التَّلَفُّظَ بِالنِّيَّةِ فِي الْعِبَادَاتِ سُنَّةٌ لِيُوَافِقَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ . وَذَهَبَ بَعْضُ الْحَنَفِيَّةِ وَبَعْضُ الْحَنَابِلَةِ إِلَى أَنَّ التَّلَفُّظَ بِالنِّيَّةِ مَكْرُوهٌ . وَقَال الْمَالِكِيَّةُ بِجَوَازِ التَّلَفُّظِ بِالنِّيَّةِ فِي الْعِبَادَاتِ ، وَالأْوْلَى تَرْكُهُ ، إِلاَّ الْمُوَسْوَسَ فَيُسْتَحَبُّ لَهُ التَّلَفُّظُ لِيَذْهَبَ عَنْهُ اللَّبْسُ
Pendapat kalangan Hanafiyah (pengikut Imam Abu Hanifah) berdasarkan pendapat yang dipilih, dan Syafi’iyah (pengikut imam Asy Syafi’i) serta Hanabilah (Hambaliyah-pengikut Imam Ahmad bin Hambal) menurut pendapat madzhab bahwasanya melafazkan niat dalam peribadatan adalah SUNNAH agar lisan dapat membimbing hati.
Sebagian Hanafiyah dan sebagian Hanabilah menyatakan bahwa melafazhkan niat adalah MAKRUH. Kalangan Malikiyah (pengikut Imam Malik) mengatakan bolehnya melafazhkan niat dalam peribadatan, namun yang lebih utama adalah meninggalkannya, kecuali bagi orang yang was-was maka baginya dianjurkan untuk melafazhkannya untuk menghilangkan kekacauan dalam pikirannya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 42/67)
Syeikh Wahbah Az Zuhaili menyebutkan: "Secara qath’i melafazhkan niat tidaklah menjadi syarat sahnya, tetapi disunnahkan menurut jumhur (mayoritas) ulama -selain Malikiyah- melafazhkannya untuk menolong hati menghadirkan niat, agar pengucapan itu menjadi pembantu dalam mengingat, dan yang lebih utama menurut kalangan Malikiyah adalah meninggalkan pelafazhan niat itu, karena tidak ada riwayat dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya tentang melafazhkan niat, begitu pula tidak ada riwayat dari imam yang empat.” (Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 1/137)
Jadi, secara umum kebanyakan ulama mazhab menyunnahkan melafazhkan niat. Adapun sebagian Hanafiyah dan sebagian Hanabilah memakruhkan. Sedangkan Malikyah membolehkan walau lebih utama meninggalkannya, kecuali bagi orang yang was-was maka dianjurkan mengucapan niat untuk mengusir was-was tersebut.
Imam Muhammad bin Hasan rahimahullah, sahabat sekaligus murid Imam Abu Hanifah. Beliau mengatakan:
النِّيَّةُ بِالْقَلْبِ فَرْضٌ ، وَذِكْرُهَا بِاللِّسَانِ سُنَّةٌ ، وَالْجَمْعُ بَيْنَهُمَا أَفْضَل
"Niat di hati adalah wajib, menyebutnya di lisan adalah sunnah, dan menggabungkan keduanya adalah lebih utama." (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 42/100)
Imam Ibnu Hajar Al-Haitami Al-Makki mengatakan: "(Disunnahkan mengucapkan) dengan apa yang diniatkan (sesaat sebelum takbir) agar lisan membantu hati dan keluar dari khilaf (perbedaan pendapat) dengan kalangan yang mewajibkan, walaupun yang mewajibkan ini adalah pendapat yang syadz (janggal), sunnahnya ini diqiyaskan dengan apa yang ada pada haji (yakni pengucapan kalimat talbiyah, pen)." (Tuhfah Al Muhtaj, 5/285)
Imam Syihabuddin Ar-Ramli mengatakan: "Dianjurkan mengucapkan apa yang diniatkan sesaat sebelum takbir untuk membantu hati, karena hal itu dapat menjauhkan was-was dan untuk keluar dari perselisihan pendapat dengan pihak yang mewajibkannya." (Nihayatul Muhtaj, 1/457. Darul Fikr)
Imam Al-Bahuti mengatakan, ketika membahas niat dalam salat:
وَمَحَلُّهَا الْقَلْبُ وُجُوبًا وَاللِّسَانُ اسْتِحْبَابًا
"Tempatnya niat adalah di hati sebagai hal yang wajib, dan disukai (sunnah) diucapkan lisan..." (Kasyful Qina’, 2/442. Mawqi Islam)
Niat Puasa Ramadhan:
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ اَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هذِهِ السَّنَةِ ِللهِ تَعَالَى
NAWAITU SHAUMA GHODIN 'AN ADAA'I FARDHI SYAHRI ROMADHOONA HAADZIHIS SANATI LILLAHI TA'ALA
"Aku niat berpuasa besok hari untuk menunaikan kewajiban di bulan Ramadhan tahun ini karena Allah Ta'ala."
Wallahu A'lam Bish Showab
(rhs)