Kisah Sufi Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani: Orang yang Waktunya Keliru

Kamis, 02 Desember 2021 - 18:26 WIB
loading...
A A A
Sang Raja pun memberi isyarat dan berkata, "Beri orang ini lima puluh ekor domba, dan biarkan ia memeliharanya sampai ada perintahku selanjutnya!"

Dengan perasaan malu dan bingung, gembala itu pun menuntun kelima puluh ekor binatang tersebut menuju lereng gunung. Domba-domba itu mulai asyik mengunyah rumput, ketika tiba-tiba sepasang anjing liar muncul dan mengejar kawanan itu hingga ke tebing curam; semua domba itu jatuh ke ngarai dan mati.

Si Saudagar, yang sangat sedih, kembali kepada Raja dan menceritakan peristiwa tersebut.

"Kalau begitu," kata Sultan, "kini kau bisa mengambil bagimu dua puluh lima ekor domba dan melanjutkan penggembalaanmu."

Hampir tanpa harapan, dan merasa kebingungan atas tugas yang diberikan kepadanya oleh Sang Raja sebab ia tidak merasa dirinya bisa menjadi seorang gembala, apa pun maknanya peran itu, saudagar itu pun membawa domba gembalaannya ke padang rumput.

Beberapa waktu kemudian, semua biri-biri betina melahirkan anak kembar, dan hampir menggandakan jumlah kawanan peliharaannya. Lalu, lahir lagi anak kembar dari setiap domba betina itu.

Domba-domba baru itu gemuk, berbulu bagus, dan dagingnya enak dimakan.

Si Saudagar menemukan bahwa, dengan menjual sebagian dombanya dan membeli yang baru, yang ia beli semula kurus dan kecil itu, tumbuh kuat dan sehat, seperti keturunan domba-domba baru yang dipeliharanya sendiri.

Setelah tiga tahun, ia sudah bisa kembali ke istana, berpakaian bagus benar, dan membawa laporan tentang keberhasilannya dalam mengurus kawanan domba pemberian Raja itu. Ia pun segera pula diperkenankan menghadap Raja.

"Kau kini seorang gembala yang berhasil?" tanya Raja.
"Ya, tentu saja, Yang Mulia. Secara tak terpahami, peruntungan hamba berubah dan bisa dibilang tak ada yang keliru meskipun hamba sebenarnya tidak terlalu berminat menjadi seorang gembala."

"Baik sekali," kata Sultan, "Nun di sana adalah Kerajaan Sevilla, yang tahtanya ada dalam kekuasaanku. Pergilah, beritahukan bahwa aku telah mengangkatmu menjadi raja atas Sevilla." Dan Raja pun menyentuhkan tongkat kerajaan pada pundak Si Saudagar.

Saudagar itu tak dapat menahan diri dan berseru, "Tetapi, kenapa yang Mulia tidak menjadikan hamba, raja, sejak pertama kali hamba datang menghadap?. Apakah Yang Mulia bermaksud menguji kesabaran hamba? Atau, hal itu untuk mengajari hamba sesuatu?"

Raja itu tertawa, "Coba saja bayangkan, pada hari ketika kau membawa seratus ekor domba ke gunung dan kehilangan semuanya dalam sekejap, apabila saat itu kau berkuasa atas Kerajaan Sevilla, tentu tak akan ada lagi satu batu tersusun di atas batu lainnya di sana pada hari ini."



Abdul Qadir Al-Jilani dilahirkan pada abad kesebelas di dekat pantai selatan Laut Kaspia. Karena ia keturunan Hasan, cucu Muhammad, maka ia dikenal sebagai Sayedna (Pangeran Kami).

Tarekat Qadiri yang berpengaruh itu diambil dari namanya. Ia dianggap mempunyai kemampuan 'penglihatan' sejak kanak-kanak, belajar di Baghdad dan mempergunakan banyak waktunya untuk mencoba mengembangkan pendidikan gratis bagi khalayak.

Shahabudin Suhrawardi, salah seorang pengarang Sufi terbesar, yang menulis "Kemampuan Pengetahuan Dalam" (the Gifts of Deep Knowledge), adalah pengikutnya. Berbagai keajaiban yang tak terhitung dikaitkan dengan kedua orang ini.

Abdul-Qadir memiliki sejumlah besar pengikut Yahudi dan Kristen, sama seperti pengikut Muslim. Ia meninggal tahun 1166.

Ketika ia terbaring di tempat tidur menjelang kematiannya, sesosok orang Arab misterius muncul membawa sepucuk surat. Di dalamnya tertulis: "Ini adalah sebuah surat dari Sang Pengasih kepada kekasihnya. Semua manusia dan binatang niscaya mengalami kematian." Makamnya di Baghdad.

Semenjak Abdul Qadir secara luas diagungkan sebagai orang suci, sejumlah riwayat mengenai kehidupannya beredar di Timur. Semuanya penuh dengan kisah-kisah keajaiban dan gagasan tak biasa.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1786 seconds (0.1#10.140)