Kisah Abdullah Ayah Rasulullah SAW yang akan Disembelih di Antara Berhala Isaf dan Na'ila
loading...
A
A
A
Saat masih belia, Abdullah --ayah Nabi Muhammad SAW -- sempat akan disembelih sebagai realisasi nazar ayahnya, Abdul Muthalib , kepada Tuhan. Peran berhala Hubal, disebut-sebut dalam prosesi nazar tersebut. Sedianya Abdul Muthalib akan menyembelih Abdullah di antara berhala Isaf dan Na'ila dekat sumur Zamzam.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Sejarah Hidup Muhammad" menjelaskan karena tidak banyak anak, Abdul Muthalib merasa kekurangan tenaga yang dapat membantunya dalam menyiapkan air dan makanan bagi tamu Baitullah. Kala itu, Abdul Muthalib hanya memiliki seorang anak laki-laki bernama Harits.
Keinginan yang kuat itu, membuat ia bernazar; kalau sampai memiliki 10 anak laki-laki dan setelah itu tidak memperoleh anak lagi, maka salah seorang di antaranya akan disembelih di Kakbah sebagai qurban untuk Tuhan.
Nah, begitu jumlah anak laki-lakinya mencapai 10 orang dan takdirpun menentukan pula sesudah itu tidak memperoleh anak lagi, Abdul Muthalib memanggil semua anak-anaknya dengan maksud supaya dapat memenuhi nazarnya.
Semua anak-anak itu patuh. Sebagai konsekwensi kepatuhannya itu setiap anak menuliskan namanya masing-masing di atas qid-h (anak panah). Kemudian semua itu diambilnya oleh Abdul Muthalib dan dibawanya kepada juru qid-h di tempat berhala Hubal di tengah-tengah Kakbah.
Kala itu, apabila menghadapi dilema, orang-orang Arab meminta pertolongan juru qid-h supaya memintakan kepada Maha Dewa Patung itu dengan jalan (mengadu nasib) melalui qid-h. Abdul Muthalib juga menghadapi dilema seperti itu.
Mestinya, Abdul Muthalib mengurbankan Abdullah karena ia anak bungsu. Namun Abdul Muthalib sangat mencintai si bungsu sehingga menjadikan ia bingung.
Setelah juru qid-h mengocok anak panah yang sudah dicantumi nama-nama semua anak-anak yang akan menjadi pilihan dewa Hubal untuk kemudian disembelih oleh sang ayah. Hal yang sungguh dihindari Abdul Muthalib justru terjadi. Nama yang keluar adalah nama Abdullah.
Selanjutnya, maka dituntunnya anak muda itu oleh Abdul Muthalib dan dibawanya untuk disembelih ditempat yang biasa orang-orang Arab melakukan itu di dekat Zamzam yang terletak antara berhala Isaf dengan Na'ila.
Tetapi saat itu juga orang-orang Quraisy serentak sepakat melarangnya. Mereka meminta Abdul Muthalib membatalkan penyembelihan itu dengan cara memohon ampun kepada Hubal.
Sekalipun mereka mendesak, namun Abdul Muthalib masih ragu-ragu juga. Ditanyakannya kepada mereka apa yang harus diperbuat supaya sang berhala itu berkenan. Mughira bin Abdullah dari suku Makhzum berkata: "Kalau penebusannya dapat dilakukan dengan harta kita, kita tebuslah."
Setelah antara mereka diadakan perundingan, mereka sepakat akan pergi menemui seorang dukun di Jathrib (kini Madinah) yang sudah biasa memberikan pendapat dalam hal semacam ini. Dalam pertemuan mereka dengan dukun wanita itu kepada mereka dimintanya supaya menangguhkan sampai besok.
"Berapa tebusan yang ada pada kalian?" tanya sang dukun.
"Sepuluh ekor unta."
"Kembalilah ke negeri kamu sekalian," kata dukun itu. "Sediakanlah tebusan sepuluh ekor unta. Kemudian keduanya itu diundi dengan anak panah. Kalau yang keluar itu atas nama anak kamu, ditambahlah jumlah unta itu sampai dewa berkenan."
Merekapun menyetujui. Namun, setelah saran itu dilakukan ternyata anak panah yang keluar atas nama Abdullah juga. Ditambahnya jumlah unta itu sampai mencapai jumlah seratus ekor. Ketika itulah anak panah keluar atas nama unta itu.
Sementara itu orang-orang Quraisy berkata kepada Abdul Muthalib: "Tuhan sudah berkenan."
"Tidak," kata Abdul Muthalib. "Harus kulakukan sampai tiga kali." Maka sampai tiga kali dikocok anak panah itupun tetap keluar atas nama unta itu juga. Barulah Abdul Muthalib merasa puas setelah ternyata sang dewa berkenan. Disembelihnya unta itu dan dibiarkannya begitu tanpa dijamah manusia atau binatang.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Sejarah Hidup Muhammad" menjelaskan karena tidak banyak anak, Abdul Muthalib merasa kekurangan tenaga yang dapat membantunya dalam menyiapkan air dan makanan bagi tamu Baitullah. Kala itu, Abdul Muthalib hanya memiliki seorang anak laki-laki bernama Harits.
Keinginan yang kuat itu, membuat ia bernazar; kalau sampai memiliki 10 anak laki-laki dan setelah itu tidak memperoleh anak lagi, maka salah seorang di antaranya akan disembelih di Kakbah sebagai qurban untuk Tuhan.
Nah, begitu jumlah anak laki-lakinya mencapai 10 orang dan takdirpun menentukan pula sesudah itu tidak memperoleh anak lagi, Abdul Muthalib memanggil semua anak-anaknya dengan maksud supaya dapat memenuhi nazarnya.
Semua anak-anak itu patuh. Sebagai konsekwensi kepatuhannya itu setiap anak menuliskan namanya masing-masing di atas qid-h (anak panah). Kemudian semua itu diambilnya oleh Abdul Muthalib dan dibawanya kepada juru qid-h di tempat berhala Hubal di tengah-tengah Kakbah.
Kala itu, apabila menghadapi dilema, orang-orang Arab meminta pertolongan juru qid-h supaya memintakan kepada Maha Dewa Patung itu dengan jalan (mengadu nasib) melalui qid-h. Abdul Muthalib juga menghadapi dilema seperti itu.
Mestinya, Abdul Muthalib mengurbankan Abdullah karena ia anak bungsu. Namun Abdul Muthalib sangat mencintai si bungsu sehingga menjadikan ia bingung.
Setelah juru qid-h mengocok anak panah yang sudah dicantumi nama-nama semua anak-anak yang akan menjadi pilihan dewa Hubal untuk kemudian disembelih oleh sang ayah. Hal yang sungguh dihindari Abdul Muthalib justru terjadi. Nama yang keluar adalah nama Abdullah.
Selanjutnya, maka dituntunnya anak muda itu oleh Abdul Muthalib dan dibawanya untuk disembelih ditempat yang biasa orang-orang Arab melakukan itu di dekat Zamzam yang terletak antara berhala Isaf dengan Na'ila.
Tetapi saat itu juga orang-orang Quraisy serentak sepakat melarangnya. Mereka meminta Abdul Muthalib membatalkan penyembelihan itu dengan cara memohon ampun kepada Hubal.
Sekalipun mereka mendesak, namun Abdul Muthalib masih ragu-ragu juga. Ditanyakannya kepada mereka apa yang harus diperbuat supaya sang berhala itu berkenan. Mughira bin Abdullah dari suku Makhzum berkata: "Kalau penebusannya dapat dilakukan dengan harta kita, kita tebuslah."
Setelah antara mereka diadakan perundingan, mereka sepakat akan pergi menemui seorang dukun di Jathrib (kini Madinah) yang sudah biasa memberikan pendapat dalam hal semacam ini. Dalam pertemuan mereka dengan dukun wanita itu kepada mereka dimintanya supaya menangguhkan sampai besok.
"Berapa tebusan yang ada pada kalian?" tanya sang dukun.
"Sepuluh ekor unta."
"Kembalilah ke negeri kamu sekalian," kata dukun itu. "Sediakanlah tebusan sepuluh ekor unta. Kemudian keduanya itu diundi dengan anak panah. Kalau yang keluar itu atas nama anak kamu, ditambahlah jumlah unta itu sampai dewa berkenan."
Merekapun menyetujui. Namun, setelah saran itu dilakukan ternyata anak panah yang keluar atas nama Abdullah juga. Ditambahnya jumlah unta itu sampai mencapai jumlah seratus ekor. Ketika itulah anak panah keluar atas nama unta itu.
Sementara itu orang-orang Quraisy berkata kepada Abdul Muthalib: "Tuhan sudah berkenan."
"Tidak," kata Abdul Muthalib. "Harus kulakukan sampai tiga kali." Maka sampai tiga kali dikocok anak panah itupun tetap keluar atas nama unta itu juga. Barulah Abdul Muthalib merasa puas setelah ternyata sang dewa berkenan. Disembelihnya unta itu dan dibiarkannya begitu tanpa dijamah manusia atau binatang.