Berikut Tiga Pendapat Hukum Masturbasi Menurut Islam
loading...
A
A
A
Hukum masturbasi menurut Islam terdapat beda pendapat di kalangan ulama. Hanya saja, mayoritas ulama mengharamkan perbuatan onani atau masturbasi , yang dalam bahasa Arab disebut istimta' atau adatus sirriyah.
Secara defenisi, istimna’ berarti sebuah usaha untuk pemenuhan dan pemuasan seksual dengan merangsang alat-alat kelamin sendiri dengan tangan atau alat lainnya.
Ulama Fiqih Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh al-Sunnah menjelaskan, pendapat pertama adalah yang dikemukakan oleh mazhab Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Zaidiyyah. Mereka secara tegas berpendapat onani atau masturbasi adalah haram dilakukan siapa pun.
Hujjah atau argumen hukum yang mereka gunakan adalah firman Allah dalam surat An-Nur ayat 30-31. Bagi mereka, secara keseluruhan ayat-ayat tersebut menyuruh manusia memelihara alat kemaluannya pada semua keadaan, kecuali dengan istri dan suami.
Kedua, pendapat para ulama mazhab Hanafi . Mereka berpendapat sama, masturbasi atau onani pada dasarnya haram. Namun, mereka membolehkan dalam keadaan tertentu di mana seseorang bisa terjerumus dalam tindakan keharaman yang lebih besar.
Jadi, ulama-ulama Hanafiah memberikan batas kebolehannya itu dalam dua perkara: Pertama, karena takut berbuat zina. Kedua, karena tidak mampu kawin.
Syaikh Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya " Fatawa Qardhawi " menjelaskan Imam Malik mengharamkan onani dengan mendasarkan pada dalil ayat yang berbunyi:
"Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya kecuali terhadap isterinya atau hamba sahayanya, mereka yang demikian itu tidak tercela. Tetapi barangsiapa mau selain yang demikian itu, maka mereka itu adalah orang-orang yang melewati batas." ( QS Al-Mu'minun : 5-7)
"Sedang orang yang onani adalah melepaskan syahwatnya itu bukan pada tempatnya," tutur Al-Qardhawi.
Barang Berlebihan
Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat, bahwa mani adalah barang kelebihan. Oleh karena itu boleh dikeluarkan, seperti memotong daging lebih.
Pendapat ini diperkuat oleh Ibnu Hazm (salah seorang tokoh Mazhab az- Zahiri). Ia berpendapat bahwa hukum bagi praktik masturbasi adalah makruh, dan masturbasi tidak akan menjerumuskan orang pada dosa.
Ia mendasarkan pendapatnya pada firman Allah SWT surah Baqarah (2) ayat 29: "Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu...”
Jadi, ia memandang makruh saja mencari kesenangan dengan melakukan masturbasi karena untuk melakukannya tidak dilibatkan orang lain.
Secara umum Allah SWT telah menciptakan semua itu untuk manusia sesuai dengan fitrahnya.
Al-Qardhawi mengatakan pendapat Imam Ahmad ini memungkinkan untuk kita ambil dalam keadaan gharizah itu memuncak dan dikhawatirkan akan jatuh ke dalam haram. Misalnya seorang pemuda yang sedang belajar atau bekerja di tempat lain yang jauh dari negerinya, sedang pengaruh-pengaruh di hadapannya terlalu kuat dan dia khawatir akan berbuat zina. Oleh karena itu dia tidak berdosa menggunakan cara ini (onani) untuk meredakan bergeloranya gharizah tersebut dan supaya dia tidak berlaku congkak dan gharizahnya itu tidak menjadi ulat.
Ibnu Abbas (seorang sahabat Nabi Muhammad SAW) membolehkan masturbasi karena orang Islam dahulu sering kali melakukannya sewaktu mengikuti peperangan (jauh dari keluarga). Bahkan Mujahid (seorang ahli tafsir, murid Ibnu Abbas) berkata bahwa Nabi Muhammad SAW mentoleransi para pemuda Islam melakukan masturbasi pada waktu itu.
Agar boleh melakukan masturbasi di sini tidak salah diartikan, maka kebolehan itu hanya berlaku dalam kondisi yang sangat mendesak, dan tidak boleh dilakukan secara berlebihan karena dapat mengakibatkan terganggunya kesehatan jasmani dan mental orang yang melakukannya.
Secara defenisi, istimna’ berarti sebuah usaha untuk pemenuhan dan pemuasan seksual dengan merangsang alat-alat kelamin sendiri dengan tangan atau alat lainnya.
Ulama Fiqih Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh al-Sunnah menjelaskan, pendapat pertama adalah yang dikemukakan oleh mazhab Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Zaidiyyah. Mereka secara tegas berpendapat onani atau masturbasi adalah haram dilakukan siapa pun.
Hujjah atau argumen hukum yang mereka gunakan adalah firman Allah dalam surat An-Nur ayat 30-31. Bagi mereka, secara keseluruhan ayat-ayat tersebut menyuruh manusia memelihara alat kemaluannya pada semua keadaan, kecuali dengan istri dan suami.
Kedua, pendapat para ulama mazhab Hanafi . Mereka berpendapat sama, masturbasi atau onani pada dasarnya haram. Namun, mereka membolehkan dalam keadaan tertentu di mana seseorang bisa terjerumus dalam tindakan keharaman yang lebih besar.
Jadi, ulama-ulama Hanafiah memberikan batas kebolehannya itu dalam dua perkara: Pertama, karena takut berbuat zina. Kedua, karena tidak mampu kawin.
Syaikh Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya " Fatawa Qardhawi " menjelaskan Imam Malik mengharamkan onani dengan mendasarkan pada dalil ayat yang berbunyi:
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إِلَّا عَلَىٰ أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ فَمَنِ ابْتَغَىٰ وَرَاءَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْعَادُونَ
"Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya kecuali terhadap isterinya atau hamba sahayanya, mereka yang demikian itu tidak tercela. Tetapi barangsiapa mau selain yang demikian itu, maka mereka itu adalah orang-orang yang melewati batas." ( QS Al-Mu'minun : 5-7)
"Sedang orang yang onani adalah melepaskan syahwatnya itu bukan pada tempatnya," tutur Al-Qardhawi.
Barang Berlebihan
Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat, bahwa mani adalah barang kelebihan. Oleh karena itu boleh dikeluarkan, seperti memotong daging lebih.
Pendapat ini diperkuat oleh Ibnu Hazm (salah seorang tokoh Mazhab az- Zahiri). Ia berpendapat bahwa hukum bagi praktik masturbasi adalah makruh, dan masturbasi tidak akan menjerumuskan orang pada dosa.
Ia mendasarkan pendapatnya pada firman Allah SWT surah Baqarah (2) ayat 29: "Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu...”
Jadi, ia memandang makruh saja mencari kesenangan dengan melakukan masturbasi karena untuk melakukannya tidak dilibatkan orang lain.
Secara umum Allah SWT telah menciptakan semua itu untuk manusia sesuai dengan fitrahnya.
Al-Qardhawi mengatakan pendapat Imam Ahmad ini memungkinkan untuk kita ambil dalam keadaan gharizah itu memuncak dan dikhawatirkan akan jatuh ke dalam haram. Misalnya seorang pemuda yang sedang belajar atau bekerja di tempat lain yang jauh dari negerinya, sedang pengaruh-pengaruh di hadapannya terlalu kuat dan dia khawatir akan berbuat zina. Oleh karena itu dia tidak berdosa menggunakan cara ini (onani) untuk meredakan bergeloranya gharizah tersebut dan supaya dia tidak berlaku congkak dan gharizahnya itu tidak menjadi ulat.
Ibnu Abbas (seorang sahabat Nabi Muhammad SAW) membolehkan masturbasi karena orang Islam dahulu sering kali melakukannya sewaktu mengikuti peperangan (jauh dari keluarga). Bahkan Mujahid (seorang ahli tafsir, murid Ibnu Abbas) berkata bahwa Nabi Muhammad SAW mentoleransi para pemuda Islam melakukan masturbasi pada waktu itu.
Agar boleh melakukan masturbasi di sini tidak salah diartikan, maka kebolehan itu hanya berlaku dalam kondisi yang sangat mendesak, dan tidak boleh dilakukan secara berlebihan karena dapat mengakibatkan terganggunya kesehatan jasmani dan mental orang yang melakukannya.