3 Hari Sebelum Azab, Kaum Tsamud Terserang Wabah Virus
loading...
A
A
A
Tiga hari sebelum Allah Taala menurunkan azab yang menumpas seluruh kaum Tsamud di era Nabi Shaleh , Allah menurunkan wabah virus. Ada yang berpendapat virus itu sejenis thypus exanthematicus, namun ada juga yang menyebut itu virus sampar (pestis haemorrhagica).
Dalam kitab tafsir al-Lubab fi ‘Ulum al-Kitab karya Abu Hafsh ‘Umar ibn ‘Ali ibn ‘Adil al-Dimasyqi, dijelaskan bahwa tiga hari sebelum dijatuhkannya azab, terjadi perubahan warna wajah yang dialami oleh kaum Tsamud, sebagaimana disampaikan Ibnu Abbas dalam redaksi berikut:
قَالَ اِبْنُ عَبَّاسٍ: لَمَّا أَمْهَلَهُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، قَالُوْا وَمَا عَلَامَةُ ذَلِكَ؟ قَالَ: تَصْبَحُوْا فِيْ اليَوْمِ الأَوَّلِ وُجُوْهَكُمْ مُصْفَرَّةٌ، وَفِيْ اليَوْمِالثَّانِيْ مُحْمَرَّةٌ، وَفِيْ اليَوْمِ الثَّالِثِ مُسْوَدَّةٌ، ثُمَّ يَأْتِيْكُمْ العَذَابُ فِيْ اليَوْمِ الرَّابِعِ
“Ibnu Abbas berkata: manakala (azab) ditangguhkan selama tiga hari, mereka berkata apa tanda dari hal tersebut? Lalu dijawab: pada hari pertama wajah kalian akan berwarna kuning, pada hari kedua menjadi merah, dan pada hari ketiga berubah menjadi hitam. Kemudian datang azab pada hari keempat” (al-Dimasyqi, 1998: 516)
Nasaruddin Umar dalam bukunya berjudul "Islam Fungsional" mengutip pendapat Dr Opitz menjelaskan jenis epidemi yang menyerang kaum Tsamud tersebut adalah virus sejenis thypus exanthematicus, yang menyebabkan keracunan disertai lautan darah dan kerusakan pembuluh darah, yang menyebabkan penyakit kuning (icterus). Kemudian, pada hari selanjutnya terjadi pendarahan pada seluruh bagian kulit.
Terakhir, pada hari ketiga, kulit kaum Tsamud berubah menjadi berwarna hitam karena virus dalam daging unta tersebut telah menyerang empedu, sehingga mengeluarkan cairan berwarna hitam.
Dalam pendapat lain, justru menolak pendapat yang disampaikan Nasaruddin Umar tersebut. Hal ini dikarenakan para ahli kedokteran menyampaikan bahwa virus jenis thypus exanthematicus baru tersebar di Jazirah Arab sekitar abad ke-6 M, sedangkan peristiwa kaum Tsamud tersebut terjadi pada kurun waktu 1800-1600 SM.
Analisis yang lebih logis adalah peristiwa perubahan warna wajah kaum Tsamud tersebut terjadi akibat dari virus sampar (pestis haemorrhagica).
Menurut ahli kedokteran, virus sampar menyebar melalui perantara daging binatang unta. Virus tersebut membuat penderitanya mengalami perubahan warna wajah menjadi pucat (kuning), kemudian ditambah dengan demam yang tinggi (merah), hingga akhirnya mencapai kondisi yang sangat kritis yang mengakibakan warna wajah menjadi hitam.
Generasi Keempat dari Nabi Nuh
Ibnu Katsir dalam Qashash al-Anbiya’ menjelaskan kaum Tsamud merupakan sebuah kabilah terkemuka suku asli Arab (‘aribah) yang bertempat tinggal di Hijr yang terletak di antara Hijaz dan Tabuk.
Nama “Tsamud” sendiri berasal dari nama leluhur mereka yaitu Tsamud saudara dari Judais ibn Aiz. Keduanya merupakan generasi keempat dari Nabi Nuh, karena mereka berdua merupakan putra dari ‘Atsir ibn Iram ibn Sam ibn Nuh. Sehingga bisa dikatakan bahwa kaum Tsamud merupakan kabilah dari keturunan Tsamud ibn ‘Atsir.
Dalam Al-Qur’an, kisah Nabi Shaleh dan kaum Tsamud disinggung sebanyak 26 kali di sepuluh tempat, yang semuanya turun pada periode makkiyah, yaitu QS. asy-Syams [91]: 11-14, QS. al-Qamar [54]: 23-31, QS. al-A’raf [7]: 73-79, QS. asy-Syu’ara’ [26]: 141-158, QS. al-Isra’ [17]: 59, QS. Hud [11]: 61-68, QS. al-Hijr [15]: 80-83, QS. Fussilat [41]: 17, dan QS. an-Naml [27]: 45-53. (Husnul H., 2018: 117)
Al-Qur’an menceritakan kaum Tsamud sebagai kabilah yang menyembah berhala sebagaimana yang dilakukan oleh pendahulu mereka yaitu kaum ‘Aad. Akibat hal tersebut, maka Allah kemudian mengutus seorang Nabi yang bernama Shaleh ibn ‘Ubaid ibn Masih ibn ‘Ubaid ibn Hadir ibn Tsamud ibn ‘Atsir ibn Iram ibn Nuh. Sebagaimana tugas utama seorang Nabi, maka Nabi Shaleh mulai memerintahkan kaum Tsamud agar meninggalkan kemusyrikan dan hanya menyembah kepada Allah semata (QS Hud [11]: 61).
Namun, dakwah Nabi Shaleh tersebut mendapat berbagai penolakan dari kaum Tsamud. Bahkan, mereka juga meragukan kebenaran agama yang diserukan oleh Nabi Shaleh. Oleh karena itu, guna membuktikan kebenaran risalah kenabian yang dibawa Nabi Shaleh, kaum Tsamud menantang Nabi Shaleh agar mampu mengeluarkan unta dari sebuah batu besar yang mereka tunjuk.
Menurut Shadiq Hasan al-Qanuji dalam Fath al-Bayan fi Maqashid al-Qur’an, batu besar tempat keluarnya unta tersebut memiliki ciri permukaan yang kasar atau dalam istilah bahasa Arab disebut shakhrah shamma’. Kemudian terkait nama batu tersebut, al-Zuhaili menyebutnya dengan nama batu al-Katibah, yaitu batu yang menyendiri di sekitar Hijr.
Setelah mendapat tantangan tersebut, Nabi Shaleh kemudian menyanggupi permintaan kaum Tsamud, dan berdoa kepada Allah agar diberikan mukjizat berupa keluarnya unta dari batu besar. Akhirnya atas izin Allah, keluarlah seekor unta betina dari batu besar, sebagaimana disebutkan dalam QS Hud [11] ayat 64:
وَيٰقَوْمِ هٰذِهٖ نَاقَةُ اللّٰهِ لَكُمْ اٰيَةً فَذَرُوْهَا تَأْكُلْ فِيْٓ اَرْضِ اللّٰهِ وَلَا تَمَسُّوْهَا بِسُوْۤءٍ فَيَأْخُذَكُمْ عَذَابٌ قَرِيْبٌ – ٦٤
Dalam kitab tafsir al-Lubab fi ‘Ulum al-Kitab karya Abu Hafsh ‘Umar ibn ‘Ali ibn ‘Adil al-Dimasyqi, dijelaskan bahwa tiga hari sebelum dijatuhkannya azab, terjadi perubahan warna wajah yang dialami oleh kaum Tsamud, sebagaimana disampaikan Ibnu Abbas dalam redaksi berikut:
قَالَ اِبْنُ عَبَّاسٍ: لَمَّا أَمْهَلَهُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، قَالُوْا وَمَا عَلَامَةُ ذَلِكَ؟ قَالَ: تَصْبَحُوْا فِيْ اليَوْمِ الأَوَّلِ وُجُوْهَكُمْ مُصْفَرَّةٌ، وَفِيْ اليَوْمِالثَّانِيْ مُحْمَرَّةٌ، وَفِيْ اليَوْمِ الثَّالِثِ مُسْوَدَّةٌ، ثُمَّ يَأْتِيْكُمْ العَذَابُ فِيْ اليَوْمِ الرَّابِعِ
“Ibnu Abbas berkata: manakala (azab) ditangguhkan selama tiga hari, mereka berkata apa tanda dari hal tersebut? Lalu dijawab: pada hari pertama wajah kalian akan berwarna kuning, pada hari kedua menjadi merah, dan pada hari ketiga berubah menjadi hitam. Kemudian datang azab pada hari keempat” (al-Dimasyqi, 1998: 516)
Nasaruddin Umar dalam bukunya berjudul "Islam Fungsional" mengutip pendapat Dr Opitz menjelaskan jenis epidemi yang menyerang kaum Tsamud tersebut adalah virus sejenis thypus exanthematicus, yang menyebabkan keracunan disertai lautan darah dan kerusakan pembuluh darah, yang menyebabkan penyakit kuning (icterus). Kemudian, pada hari selanjutnya terjadi pendarahan pada seluruh bagian kulit.
Terakhir, pada hari ketiga, kulit kaum Tsamud berubah menjadi berwarna hitam karena virus dalam daging unta tersebut telah menyerang empedu, sehingga mengeluarkan cairan berwarna hitam.
Dalam pendapat lain, justru menolak pendapat yang disampaikan Nasaruddin Umar tersebut. Hal ini dikarenakan para ahli kedokteran menyampaikan bahwa virus jenis thypus exanthematicus baru tersebar di Jazirah Arab sekitar abad ke-6 M, sedangkan peristiwa kaum Tsamud tersebut terjadi pada kurun waktu 1800-1600 SM.
Analisis yang lebih logis adalah peristiwa perubahan warna wajah kaum Tsamud tersebut terjadi akibat dari virus sampar (pestis haemorrhagica).
Menurut ahli kedokteran, virus sampar menyebar melalui perantara daging binatang unta. Virus tersebut membuat penderitanya mengalami perubahan warna wajah menjadi pucat (kuning), kemudian ditambah dengan demam yang tinggi (merah), hingga akhirnya mencapai kondisi yang sangat kritis yang mengakibakan warna wajah menjadi hitam.
Generasi Keempat dari Nabi Nuh
Ibnu Katsir dalam Qashash al-Anbiya’ menjelaskan kaum Tsamud merupakan sebuah kabilah terkemuka suku asli Arab (‘aribah) yang bertempat tinggal di Hijr yang terletak di antara Hijaz dan Tabuk.
Nama “Tsamud” sendiri berasal dari nama leluhur mereka yaitu Tsamud saudara dari Judais ibn Aiz. Keduanya merupakan generasi keempat dari Nabi Nuh, karena mereka berdua merupakan putra dari ‘Atsir ibn Iram ibn Sam ibn Nuh. Sehingga bisa dikatakan bahwa kaum Tsamud merupakan kabilah dari keturunan Tsamud ibn ‘Atsir.
Dalam Al-Qur’an, kisah Nabi Shaleh dan kaum Tsamud disinggung sebanyak 26 kali di sepuluh tempat, yang semuanya turun pada periode makkiyah, yaitu QS. asy-Syams [91]: 11-14, QS. al-Qamar [54]: 23-31, QS. al-A’raf [7]: 73-79, QS. asy-Syu’ara’ [26]: 141-158, QS. al-Isra’ [17]: 59, QS. Hud [11]: 61-68, QS. al-Hijr [15]: 80-83, QS. Fussilat [41]: 17, dan QS. an-Naml [27]: 45-53. (Husnul H., 2018: 117)
Al-Qur’an menceritakan kaum Tsamud sebagai kabilah yang menyembah berhala sebagaimana yang dilakukan oleh pendahulu mereka yaitu kaum ‘Aad. Akibat hal tersebut, maka Allah kemudian mengutus seorang Nabi yang bernama Shaleh ibn ‘Ubaid ibn Masih ibn ‘Ubaid ibn Hadir ibn Tsamud ibn ‘Atsir ibn Iram ibn Nuh. Sebagaimana tugas utama seorang Nabi, maka Nabi Shaleh mulai memerintahkan kaum Tsamud agar meninggalkan kemusyrikan dan hanya menyembah kepada Allah semata (QS Hud [11]: 61).
Namun, dakwah Nabi Shaleh tersebut mendapat berbagai penolakan dari kaum Tsamud. Bahkan, mereka juga meragukan kebenaran agama yang diserukan oleh Nabi Shaleh. Oleh karena itu, guna membuktikan kebenaran risalah kenabian yang dibawa Nabi Shaleh, kaum Tsamud menantang Nabi Shaleh agar mampu mengeluarkan unta dari sebuah batu besar yang mereka tunjuk.
Menurut Shadiq Hasan al-Qanuji dalam Fath al-Bayan fi Maqashid al-Qur’an, batu besar tempat keluarnya unta tersebut memiliki ciri permukaan yang kasar atau dalam istilah bahasa Arab disebut shakhrah shamma’. Kemudian terkait nama batu tersebut, al-Zuhaili menyebutnya dengan nama batu al-Katibah, yaitu batu yang menyendiri di sekitar Hijr.
Setelah mendapat tantangan tersebut, Nabi Shaleh kemudian menyanggupi permintaan kaum Tsamud, dan berdoa kepada Allah agar diberikan mukjizat berupa keluarnya unta dari batu besar. Akhirnya atas izin Allah, keluarlah seekor unta betina dari batu besar, sebagaimana disebutkan dalam QS Hud [11] ayat 64:
وَيٰقَوْمِ هٰذِهٖ نَاقَةُ اللّٰهِ لَكُمْ اٰيَةً فَذَرُوْهَا تَأْكُلْ فِيْٓ اَرْضِ اللّٰهِ وَلَا تَمَسُّوْهَا بِسُوْۤءٍ فَيَأْخُذَكُمْ عَذَابٌ قَرِيْبٌ – ٦٤