Kisah Khalifah Al-Manshur, Tumpas Pemberontakan Keturunan Ali Bin Abu Thalib

Selasa, 17 Mei 2022 - 17:15 WIB
loading...
A A A
Abul A’la Al-Maududi mengisahkan, Ibrahim dan Muhammad bin Abdullah gugur dalam peperangan. Kepalanya dipenggal lalu di arak ke seluruh Kota Madinah. Kemudian mereka menggantung jasadnya dan juga jasad para pengikutnya selama tiga hari di hadapan orang yang berlalu lalang. Setelah itu, jasad-jasad tersebut mereka lemparkan ke pekuburan orang Yahudi di dekat Gunung Sila.

Adapun para kerabat Muhammad dan Ibrahim yang sebelumnya ditahan, mereka di belenggu kemudian di paksa berjalan kaki dari Madinah hingga ke Kufah. Harta mereka dirampas, lalu dilelang.

Sesampainya di Kufah, para kerabat Muhammad dan Ibrahim dijebloskan ke penjara dan disiksa. Semua prilaku ini, disaksikan oleh banyak mata kaum Muslimin.

Banyak yang tidak menyangka bagaimana Al-Manshur tega memperlakukan anak keturunan Ali bin Abi Thalib sedemikian mengerikan. Padahal mereka ini sebenarnya masih sanak keluarganya.

Sejak saat itu, muncullah fitnah atau perpecahan antara kalangan Abbasiyah dan Alawiyah (pendukung keluarga Ali bin Abi Thalib).



Imam As-Suyuthi dalam bukunya berjudul "Tarikh Khulafa’; Sejarah Para Khalifah" menyatakan, Al-Manshur adalah orang pertama yang memicu fitnah antara golongan Abbasiyah dan Alawiyah, padahal sebelumnya mereka hidup dengan rukun.

Al-Manshur telah menyiksa sejumlah besar ulama yang menyertai Muhammad dan Ibrahim dalam pemberontakannya. Sebagian di antara mereka ada yang dibunuh dan ada yang di siksa, di antaranya Abu Hanifah (pendiri Mahzab Hanafi), Abdul Hamid bin Ja’far, dan Ibnu Ajian.”

Al-Manshur berhasil mengukuhkan kedudukannya dan Dinasti Abbasiyah di tengah masyarakat. Dan untuk memastikan pengaruhnya terus berkembang, dia mulai menggelar ekspedisi militer guna menaklukkan negara-negara sekitarnya.

Pecat Putra Mahkota
Pada tahun 147 H, Al-Manshur memecat pamannya, Isa bin Musa dari posisinya sebagai putra mahkota. Sebagai catatan, sebelum kematiannya, Khalifah pertama Dinasti Abbasiyah, As-Saffah, mewasiatkan secara resmi Isa bin Musa sebagai khalifah setelah Al-Manshur.

Isa adalah pemimpin tertinggi dalam misi memadamkan pemberontakan yang dilakukan oleh Muhammad dan Ibrahim, serta menghancurkan kekuatan para pendukung keturunan Ali bin Abi Thalib. Namun balasan atas kemenangan yang sudah diraihnya, justru pencopotan kedudukannya dari posisi sebagai putra mahkota.

Setelah berhasil menggeser posisi Isa bin Musa, Al Manshur mengangkat putranya yang bernama Al-Mahdi sebagai putra mahkota.

Pada tahun 148 H, semua kerajaan kecil telah berada di bawah kendali Al-Manshur. Saat itulah dia menjadi pemimpin yang disegani dan menebarkan kharisma yang luar biasa. Kota-kota besar tunduk di bawah kekuasaannya, dan menyatakan kesetiaannya. Tidak ada wilayah Islam yang memisahkan diri, kecuali Andalusia yang ketika itu dikuasai oleh Dinasti Umayyah II yang didirkan Abdurrahman bin Mu’awiyah. Namun Abdurrahman dan keturunannya tidak pernah menyebut dirinya Amirul Mukminin, melainkan “Amir” saja. Layaknya panggilan gubernur di wilayah.

Selain capaian-capaian besar di bidang politik, berdasarkan catatan sejarah, pada masa pemerintahan Al-Manshur inilah dimulainya penulisan hadis-hadis Rasulullah SAW, pengumpulan khazanah Islam, serta membuat standar acuan pemikiran Islam di bidang fiqih dan tafsir. Kebijakan ini didorong oleh maraknya paham-paham baru yang dianggap sesat oleh khalifah, dan dirasa mengancam otentisitas agama.



Abul A’la Al-Maududi menyebut salah satu yang cukup terkenal, adalah lahirnya sekte Rawandiyah yang menganuh paham reinkarnasi. Sekte ini berhasil ditumpas oleh Al-Manshur. Namun yang kemudian terjadi, justru semakin banyak bermunculan pemikiran menyimpang dari tuntunan Al-Quran dan al Sunnah. Akibatnya, menurut al Maududi, kejahatan merajarela. Dampaknya tidak hanya pada penyebarluasan kerusakan akhlak atau akidah saja, tapi juga berhasil mencabik-cabik persatuan masyarakat dan negara Islam sehingga mejadi terpecah berkeping-keping.

Atas dasar itu, menurut Imam as Suyuthi mengutip Adz-Dzahabi berkata, bahwa pada tahun 143 H, para ulama memulai penulisan hadis-hadis Rasulullah, fiqih, dan tafsir. Waktu itu Ibnu Juraij menulis di Mekkah, Malik (bin Anas) di Madinah, Al-Auzai di Suriah, Ibnu Abi Arubah, Hammad bin Salamah, dan koleganya menulis di Basrah, Ma’mar menulis di Yaman, Sufyan Ats-Tsauri di Kufah. Ibnu Ishaq saat itu menulis kitab Al-Maghazi, Imam Abu Hanifah menulis masalah fiqih. Tak lama setelah itu Hasyim, Al-Laits, dan Ibnu Lahi’ah melakukan tindakan yang sama. Disusul oleh Ibnu Mubarak, Abu Yusuf dan Ibnu Wahab.

Dengan kata lain, pada masa ini ilmu-ilmu keislaman berkembang pesat. Bahasan-bahasan tentang bahasa Arab mulai dibukukan, demikian pula sejarah dan kehidupan bangsa-bangsa. Sebelum masa ini, para imam/ulama bicara tentang ilmu berdasarkan hafalan di kepala mereka dan melihat ilmu dari mushaf-mushaf yang berlum terstruktur.

Hanya memang, patut juga dipertanyakan; munculnya gairah yang luar biasa dari para ulama tersebut, apakah benar karena adanya dorongan dari khalifah Al-Manshur, atau justru sebagai bentuk perlawanan dari sistem yang dikembangkan dari dalam istana sendiri? Karena sebagaimana menurut Al-Maududi, istana khalifah Abbasiyah adalah sumber dari semua kekacauan pemahaman agama Islam. Ketika itu, nyaris seluruh aparatur pemerintahan Al-Manshur diisi oleh non-Arab yang menganut paham anti-Arab (Shu’ubiyah).

Mengenai hal ini, Al-Maududi mengutip dari kitab Tarikh al-Wuzara karya Al-Jahsyiari, “Mengenai pejabat-pejabat Al-Manshur, kita akan mendapati bahwa hampir semua dari mereka adalah orang-orang non-Arab, yang dengan segenap otoritas di tangannya secara aktif menyebarkan paham shu’ubiyah di mana-mana. Gerakan ini pada awalnya dimulai dengan pengertian bahwa ‘tidak ada keutamaan bangsa Arab atas bangsa ajam (non-arab).’ Namun segera setelah itu ia diwarnai dengan paham anti-Arab, sehingga banyak buku tebal dikarang orang untuk merendahkan bangsa Arab, bahkan menjelek-jelekan suku Quraisy secara keseluruhan. Tapi yang jauh lebih berbahaya dari itu, gerakan ini telah membawa virus-virus kaum zindiq, atheisme, dan permisivisme (keserbabolehan).”
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3333 seconds (0.1#10.140)