Taubat Nasuha: Setiap Dosa Memiliki Cara Taubat Tersendiri

Sabtu, 11 Juni 2022 - 18:54 WIB
loading...
Taubat Nasuha: Setiap Dosa Memiliki Cara Taubat Tersendiri
Orang yang mengulang melakukan dosa setelah bertaubat adalah orang yang dibenci Allah SWT. Foto/Ilustrasi: Ist
A A A
Ibnu Katsir dalam tafsirnya melemparkan pertanyaan: apakah syarat taubat nasuha itu orang harus tetap bersikap seperti itu hingga ia mati? Sebuah hadis dan atsar menyampaikan "kemudian ia tidak kembali melakukannya selama-lamanya".

Lalu, Ibnu Katsir melanjutkan, ataukah cukup bertekad untuk tidak mengulangi lagi, untuk menghapus dosa yang telah lalu, sehingga ketika ia kembali melakukan dosa setelah itu, maka ia tidak merusak taubatnya dan menghidupkan kembali dosa yang telah terhapuskan. Lalu dia mengutip hadis, bahwa "taubat menghapus dosa yang sebelumnya".

Dalam membahas hal ini Ibnu Qayyim dalam kitabnya "Madarij Salikin" menyebut dua pendapat. Satu pendapat mengharuskan agar orang itu tidak mengulangi kembali dosanya sama sekali. Dan berkata ketika ia kembali melakukan dosa, maka jelaslah taubatnya yang dahulu itu batal dan tidak sah.

Sedangkan menurut pendapat kalangan mayoritas, hal itu tidak menjadi syarat. Kesahihan taubat hanya ditentukan oleh tindakannya meninggalkan dosa itu, dan bertaubat darinya, serta bertekad dengan kuat untuk tidak mengulanginya lagi.

Dan jika ia mengulanginya lagi padahal ia dahulu telah bertekad untuk tidak mengulang dosanya itu, maka saat itu ia seperti orang yang melakukan kemaksiatan dari permulaan sekali, sehingga taubatnya yang lalu tidak batal.



Dosa Baru
Mereka yang berpendapat demikian, mengatakan yang harus ia tanggung hanya dosa yang baru itu, bukan dosa yang lama.

Menurut mereka, tidak disyaratkan dalam kesahihan taubat itu ia tidak pernah berdosa hingga mati. Namun jika ia telah menyesal dan meninggalkan dosa serta bertekad untuk meninggalkan sama sekali perbuatannya itu, niscaya dosanya segera terhapuskan. Dan jika ia kembali melakukannya, ia memulai dari baru catatan dosanya itu.

Hal ini tidak seperti kekafiran yang menghancurkan seluruh amal kebaikan. Karena kekafiran itu lain lagi masalahnya. Kekafiran menghapuskan seluruh kebaikan. Sedangkan kembali berdosa tidak menghapuskan amal kebaikan yang telah dilakukannya.

Taubat adalah termasuk kebaikan yang paling besar. Maka jika taubat itu dibatalkan dengan melakukan dosa kembali, niscaya pahala-pahala itu juga terhapuskan.

Jadi, menurut mereka, pendapat itu tidak benar sama sekali. Itu sama seperti mazhab kaum khawarij yang mengkafirkan orang karena dosa yang ia perbuat. Dan kaum Mu'tazilah yang memasukkan orang yang berdosa besar dalam neraka, meskipun ia telah melakukan banyak amal yang baik.

Kedua kelompok itu sepakat memasukkan orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar dalam neraka. Namun khawarij mengkafirkan mereka, dan mu'tazilah menilai mereka fasik. Pendapat ini bersebrangan dengan nash-nash, akal serta keadilan:

"Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya, dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar" [ QS an-Nisa : 40].

Imam Ahmad menyebutkan dalam musnadnya secara marfu' kepada Nabi SAW:

"Sesungguhnya Allah SWT mencintai hamba yang terfitnah (hingga melakukan dosa) dan sering meminta ampunan" [Hadits ini sanadnya dha'if jiddan/lemah sekali].



Allah SWT mengaitkan diterimanya taubat dengan istighfar, tidak terus melakukan dosa, dan tidak mengulanginya. Allah SWT berfirman:

"Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? - Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui" [ QS Ali Imran : 135].

Terus melakukan dosa adalah membiasakan hati dan diri untuk melakukan dosa setiap kali ada kesempatan untuk itu. Inilah yang menghalangi maghfirah dari Allah SWT.

Sedangkan kontinuitas taubat adalah syarat keabsahan kesempurnaan dan kemanfaatan taubat itu, bukan syarat keabsahan taubat atas dosa yang sebelumnya. Namun tidak demikian halnya dengan ibadah, seperti puasa selama satu hari penuh, serta bilangan raka'at dalam sholat. Ia adalah suatu ibadah secara utuh, sehingga ibadah itu tidak dapat diterima jika tidak terpenuhi seluruh rukun dan bagian-bagiannya.

Sedangkan taubat, ia adalah adalah ibadah yang beragam sesuai dengan ragam dosa. Setiap dosa memiliki cara taubat tersendiri. Jika seseorang melakukan suatu ibadah dan tidak melakukan yang lain, itu tidak berarti ibadah yang dilakukannya itu tidak sah karena ia tidak mengerjakan ibadah yang lain, seperti telah disebutkan sebelumnya.

Namun, sama dengan ini adalah: orang yang puasa pada bulan Ramadlan kemudian ia membatalkan puasanya itu tanpa adanya uzur, maka apakah puasa yang ia batalkan itu membatalkan pahala puasa yang telah ia lakukan?

Contoh yang lain adalah orang yang sholat namun ia tidak berpuasa , atau yang yang menunaikan zakat namun tidak pernah melaksanakan ibadah haji (padahal ia mampu).

Pokok masalah: taubat sebelumnya adalah kebaikan, sedangkan mengulang dosa itu adalah keburukan, maka pengulangan dosa itu itidak menghapus kebaikan itu, juga tidak membatalkan kebaikan yang dilakukan bersamaan dengannya.



Ini dalam pokok-pokok (ushul) ahli sunnah lebih jelas. Mereka sepakat bahwa seseorang bisa mendapat perlindungan dari Allah SWT dan pada saat yang sama juga dibenci oleh-Nya. Atau ia dicintai Allah SWT namun ia juga sekaligus dibenci dari segi lain. Atau ada orang yang beriman namun masih mempunyai kemunafikan, juga keimanan dan kekafiran.

Dan orang itu dapat lebih dekat kepada suatu sisi dari sisi yang lain. Sehingga ia menjadi kelompok sisi itu. Seperti firman Allah SWT: "Mereka pada hari itu lebih dekat kepada kekafiran dari padi keimanan"[QS. Ali Imran: 167].

Allah juga berfirman:

"Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)" [ QS. Yusuf : 106].

Allah SWT mengakui keimanan mereka, sambil menyebut kemusyrikan mereka. Namun jika bersama kemusyrikan ini juga terdapat pengingkaran terhadap Rasul-rasul Allah maka keimanannya kepada Allah SWT itu tidak bermakna lagi.

Sedangkan jika mereka membenarkan apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW, sementara mereka tetap melakukan beragam tindakan musyrik, itu tidak mengeluarkan mereka dari keimanan kepada para Rasul dan hari kiamat. Dan mereka berhak mendapatkan ancaman yang lebih besar daripada pelaku dosa-dosa besar.

Dua Macam
Kemusyrikan mereka adalah dua macam: musyrik yang tersembunyi dan yang terang-terangan. Yang tersembunyi dapat diampuni, sedangkan yang terang-terangan tidak diampuni oleh Allah SWT kecuali dengan melakukan taubat dari pebuatannya itu. Karena Allah SWT tidak mengampuni kemusyrikan.

Dengan dasar ini, ahli sunnah mengatakan bahwa para pelaku dosa besar masuk neraka, namun setelah merasakan siksa neraka itu mereka akan keluar darinya dan masuk surga, karena adanya dua unsur pada dirinya.

Syaikh Yusuf Al-Qardhawi dalam kitabnya "at Taubat Ila Allah" mengatakan jika demikian, maka orang yang mengulang melakukan dosa setelah bertaubat adalah orang yang dibenci Allah SWT karena ia mengulangi dosanya, namun juga dicintai karena ia telah melakukan taubat dan amal ang yang baik sebelumnya. Dan Allah SWT telah menetapkan bagi segala seuatu sebab-sebabnya, dengan adil dan penuh hikmah, dan Allah SWT tidak sedikitpun melakukan kezhaliman.

"Dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba (Nya)" [ QS. Fushilat : 46].

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3287 seconds (0.1#10.140)