Taubat Nasuha: Perlu Tekad Kuat agar Taubatnya Tidak Batal
loading...
A
A
A
Salah satu unsur taubat nasuha adalah unsur hati dan keinginan. Syaikh Yusuf al-Qardhawi menjelaskan unsur ini yakni unsur jiwa, yang berhubungan dengan hati dan keinginan diri. Atau dengan kata lain: emosi dan inklinasi.
"Dari unsur ini ada yang berhubungan dengan masa lalu, dan ada yang berhubungan dengan masa depan," ujarnya dalam bukunya berjudul "at Taubat Ila Allah"
Menurutnya, yang berkaitan dengan masa lalu adalah apa yang kita kenal dengan penyesalan. Tentang ini terdapat hadis: "penyesalan adalah taubat".
Jika penyesalan itu berkaitan dengan masa lalu dan kesalahan yang telah ia perbuat; ada dimensi dalam taubat yang berkaitan dengan masa depan, dan tentang probabilitas ia melakukan pengulangan perbuatan dosa itu kembali, serta bagaimana mengganti kesalahan yang telah ia perbuat. Yaitu dengan bertekad untuk meninggalkan maksiat itu dan bertaubat darinya secara total, dan tidak akan kembali melakukannya selama-lamanya.
"Seperti susu yang tidak mungkin kembali ke puting hewan setelah diperah. Ini semua berpulang pada keinginan dan tekad orang itu. Dan tekad itu harus kuat betul, bukan keinginan yang dilandasi oleh keragu-raguan. Tidak seperti mereka yang pada pagi harinya bertaubat sementara pada sore harinya kembali mengulangi lagi dosanya!" tutur Syaikh Yusuf al-Qardhawi.
Menurut dia, yang terpenting dalam masalah tekadnya ini adalah agar tekad itu kuat dan betul-betul, saat bertaubat. Dengan tanpa disertai oleh keraguan atau kerinduan untuk kembali melakukan kemaksiatan, atau juga berpikir untuk mengerjakannya kembali.
Taubat itu tidak batal jika suatu saat tekadnya itu sedikit melemah kemudian ia terlena oleh dirinya, tertipu oleh setan sehingga ia terpeleset, dan kembali melakukan kemaksiatan.
Dalam kasus seperti ini, ia harus segera melakukan taubat, menyesal dan menyusun tekad lagi. Dan ia tidak perlu putus-asa takut taubatnya tidak diterima jika memang tekadnya tulus. Allah SWT berfirman:
"Maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat" [ QS. al Isra : 25].
Syaikh Yusuf al-Qardhawi menjelaskan al-awwaab adalah orang yang sering meminta ampunan kepada Allah SWT; setiap kali ia melakukan dosa ia mengetahui bahwa ia memiliki Rabb Yang Maha Mengampuni dosa, maka dia segera melakukan istighfar dan diapun mendapatkan ampunan.
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, sedangkan jika ia bertekad untuk bertaubat dan memegang teguh tekadnya, maka itu akan menghapuskan kesalahan-kesalahannya pada masa lalu. Seperti terdapat dalam hadis sahih "Islam menghapuskan apa yang sebelumnya, dan taubat menghapuskan dosa yang sebelumnya".
Selanjutnya Ibnu Katsir juga mengatakan, apakah syarat taubat nasuha itu orang harus tetap bersikap seperti itu hingga ia mati, seperti diungkapkan dalam hadis dan atsar: "kemudian ia tidak kembali melakukannya selama-lamanya", ataukah cukup bertekad untuk tidak mengulangi lagi, untuk menghapus dosa yang telah lalu, sehingga ketika ia kembali melakukan dosa setelah itu, maka ia tidak merusak taubatnya dan menghidupkan kembali dosa yang telah terhapuskan, dengan melihat generalitas pengertian hadits: "Taubat menghapus dosa yang sebelumnya"
Batal dan Tidak Sah
Ibnu Qayyim membicarakan hal ini dalam kitabnya "Madarij Salikin" dan menyebut dua pendapat:
Satu pendapat mengharuskan agar orang itu tidak mengulangi kembali dosanya sama sekali. Dan berkata: ketika ia kembali melakukan dosa, maka jelaslah taubatnya yang dahulu itu batal dan tidak sah.
Sedangkan menurut pendapat kalangan mayoritas, hal itu tidak menjadi syarat. Kesahihan taubat hanya ditentukan oleh tindakannya meninggalkan dosa itu, dan bertaubat darinya, serta bertekad dengan kuat untuk tidak mengulanginya lagi. Dan jika ia mengulanginya lagi padahal ia dahulu telah bertekad untuk tidak mengulang dosanya itu, maka saat itu ia seperti orang yang melakukan kemaksiatan dari permulaan sekali, sehingga taubatnya yang lalu tidak batal.
Ia berkata: masalah ini dibangun di atas dasar pertanyaan: "Apakah seorang hamba yang bertaubat dari suatu dosa kemudian ia mengulanginya dosanya itu, ia kembali menanggung dosa yang telah ia mintakan taubatnya sebelumnya, sehingga ia harus menanggung dosa yang lalu dan sekarang ini, jika ia mati saat masih melakukan maksiat? Ataukah itu telah terhapus, sehingga ia tidak lagi menanggung dosanya, namun hanya menanggung dosa yang terakhir itu?"
Dalam masalah ini ada dua pendapat:
"Dari unsur ini ada yang berhubungan dengan masa lalu, dan ada yang berhubungan dengan masa depan," ujarnya dalam bukunya berjudul "at Taubat Ila Allah"
Menurutnya, yang berkaitan dengan masa lalu adalah apa yang kita kenal dengan penyesalan. Tentang ini terdapat hadis: "penyesalan adalah taubat".
Jika penyesalan itu berkaitan dengan masa lalu dan kesalahan yang telah ia perbuat; ada dimensi dalam taubat yang berkaitan dengan masa depan, dan tentang probabilitas ia melakukan pengulangan perbuatan dosa itu kembali, serta bagaimana mengganti kesalahan yang telah ia perbuat. Yaitu dengan bertekad untuk meninggalkan maksiat itu dan bertaubat darinya secara total, dan tidak akan kembali melakukannya selama-lamanya.
"Seperti susu yang tidak mungkin kembali ke puting hewan setelah diperah. Ini semua berpulang pada keinginan dan tekad orang itu. Dan tekad itu harus kuat betul, bukan keinginan yang dilandasi oleh keragu-raguan. Tidak seperti mereka yang pada pagi harinya bertaubat sementara pada sore harinya kembali mengulangi lagi dosanya!" tutur Syaikh Yusuf al-Qardhawi.
Menurut dia, yang terpenting dalam masalah tekadnya ini adalah agar tekad itu kuat dan betul-betul, saat bertaubat. Dengan tanpa disertai oleh keraguan atau kerinduan untuk kembali melakukan kemaksiatan, atau juga berpikir untuk mengerjakannya kembali.
Taubat itu tidak batal jika suatu saat tekadnya itu sedikit melemah kemudian ia terlena oleh dirinya, tertipu oleh setan sehingga ia terpeleset, dan kembali melakukan kemaksiatan.
Dalam kasus seperti ini, ia harus segera melakukan taubat, menyesal dan menyusun tekad lagi. Dan ia tidak perlu putus-asa takut taubatnya tidak diterima jika memang tekadnya tulus. Allah SWT berfirman:
"Maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat" [ QS. al Isra : 25].
Baca Juga
Syaikh Yusuf al-Qardhawi menjelaskan al-awwaab adalah orang yang sering meminta ampunan kepada Allah SWT; setiap kali ia melakukan dosa ia mengetahui bahwa ia memiliki Rabb Yang Maha Mengampuni dosa, maka dia segera melakukan istighfar dan diapun mendapatkan ampunan.
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, sedangkan jika ia bertekad untuk bertaubat dan memegang teguh tekadnya, maka itu akan menghapuskan kesalahan-kesalahannya pada masa lalu. Seperti terdapat dalam hadis sahih "Islam menghapuskan apa yang sebelumnya, dan taubat menghapuskan dosa yang sebelumnya".
Selanjutnya Ibnu Katsir juga mengatakan, apakah syarat taubat nasuha itu orang harus tetap bersikap seperti itu hingga ia mati, seperti diungkapkan dalam hadis dan atsar: "kemudian ia tidak kembali melakukannya selama-lamanya", ataukah cukup bertekad untuk tidak mengulangi lagi, untuk menghapus dosa yang telah lalu, sehingga ketika ia kembali melakukan dosa setelah itu, maka ia tidak merusak taubatnya dan menghidupkan kembali dosa yang telah terhapuskan, dengan melihat generalitas pengertian hadits: "Taubat menghapus dosa yang sebelumnya"
Batal dan Tidak Sah
Ibnu Qayyim membicarakan hal ini dalam kitabnya "Madarij Salikin" dan menyebut dua pendapat:
Satu pendapat mengharuskan agar orang itu tidak mengulangi kembali dosanya sama sekali. Dan berkata: ketika ia kembali melakukan dosa, maka jelaslah taubatnya yang dahulu itu batal dan tidak sah.
Sedangkan menurut pendapat kalangan mayoritas, hal itu tidak menjadi syarat. Kesahihan taubat hanya ditentukan oleh tindakannya meninggalkan dosa itu, dan bertaubat darinya, serta bertekad dengan kuat untuk tidak mengulanginya lagi. Dan jika ia mengulanginya lagi padahal ia dahulu telah bertekad untuk tidak mengulang dosanya itu, maka saat itu ia seperti orang yang melakukan kemaksiatan dari permulaan sekali, sehingga taubatnya yang lalu tidak batal.
Ia berkata: masalah ini dibangun di atas dasar pertanyaan: "Apakah seorang hamba yang bertaubat dari suatu dosa kemudian ia mengulanginya dosanya itu, ia kembali menanggung dosa yang telah ia mintakan taubatnya sebelumnya, sehingga ia harus menanggung dosa yang lalu dan sekarang ini, jika ia mati saat masih melakukan maksiat? Ataukah itu telah terhapus, sehingga ia tidak lagi menanggung dosanya, namun hanya menanggung dosa yang terakhir itu?"
Dalam masalah ini ada dua pendapat: