Ghibtaah adalah Hasad yang Dibolehkan, Begini Penjelasannya
loading...
A
A
A
Hasad atau dengki adalah perkara yang membahayakan. Penderita hasad akan merasa sakit hati bila saudaranya berbahagia atau mendapat rezeki. Namun ada dua keadaan yang dibolehkan seseorang berbuat hasad.
Pada hakikatnya, penyakit hasad ini mengakibatkan si penderita tidak ridha dengan qadha’ dan qadar yang ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla. Jadi hasad merupakan penyakit hati yang berbahaya bagi manusia.
Dalam kitabnya yang berjudul Al-Fawâ’id, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata bahwa sesungguhnya hakikat hasad adalah bagian dari sikap menentang Allah Azza wa Jalla, karena ia (membuat si penderita) benci kepada nikmat Allah Azza wa Jalla atas hamba-Nya; padahal Allah Azza wa Jalla menginginkan nikmat tersebut untuknya.
Imam Ibnul Qayyim menambahkan : "Hasad juga membuatnya senang dengan hilangnya nikmat tersebut dari saudaranya, padahal Allah k benci jika nikmat itu hilang dari saudaranya. Jadi, hasad itu hakikatnya menentang qadha’ dan qadar Allah Azza wa Jalla."
Penyakit hasad hendaknya dijauhi oleh setiap Muslim, karena madharatnya sangat besar, terutama bagi si penderita baik madharat dari sisi agama maupun dunianya.
Tetapi adakah hasad yang dibolehkan ? Dalam buku Shahih Bukhari karangan Ibnu Katsir, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
"Tidak ada hasad kecuali kepada dua orang Yang pertama; kepada seseorang yang telah diberi harta kekayaan oleh Allah dan ia habiskan dijalan yang benar. Dan yang kedua; kepada seseorang yang telah diberi hikmah (ilmu) oleh Allah dan ia memutuskan perkara dengannya serta mengajarkannya. (HR.Muttafaq alaih).
Akan tetapi, hasad dalam hadis ini berbeda pengertiannya dengan hasad yang telah disebutkan di atas. Hasad yang ini disebut oleh para ulama’ dengan sebutan Ghibtaah, yaitu menginginkan kenikmatan seperti yang telah diperoleh oleh orang lain dengan tanpa membenci orang tersebut, serta tidak mengharapkan kenikmatan itu musnah darinya.
Dalam Syarah Syarah Sunan Abu Dâwud, Syaikh Abdul Muhsin al ‘Abbâd hafizhahullâh dalam menjelaskan hadits di atas berkata; Yang dimaksud hasad di sini adalah ghibtaah”.
Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan, Ghibtaah adalah ingin mendapat kenikmatan sebagaimana yang diperoleh oleh orang lain dengan tanpa mengharapkan nikmat tersebut musnah darinya.
Jika perkara yang di ghibtaah tersebut adalah perkara dunia, maka hukumnya adalah mubâh (boleh). Jika perkara tersebut termasuk perkara akhirat, maka hukumnya adalah mustahab (sunnat), dan makna hadits di atas adalah tidak ada ghibtaah yang dicintai (oleh Allah Azza wa Jalla) kecuali pada dua perkara (yang tersebut di atas) dan yang semakna dengannya."
Dengan demikian, hendaknya seorang Muslim senantiasa meninggalkan hasad dan menggantinya dengan ghibtaah.
Wallahu A'lam
Pada hakikatnya, penyakit hasad ini mengakibatkan si penderita tidak ridha dengan qadha’ dan qadar yang ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla. Jadi hasad merupakan penyakit hati yang berbahaya bagi manusia.
Dalam kitabnya yang berjudul Al-Fawâ’id, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata bahwa sesungguhnya hakikat hasad adalah bagian dari sikap menentang Allah Azza wa Jalla, karena ia (membuat si penderita) benci kepada nikmat Allah Azza wa Jalla atas hamba-Nya; padahal Allah Azza wa Jalla menginginkan nikmat tersebut untuknya.
Baca Juga
Imam Ibnul Qayyim menambahkan : "Hasad juga membuatnya senang dengan hilangnya nikmat tersebut dari saudaranya, padahal Allah k benci jika nikmat itu hilang dari saudaranya. Jadi, hasad itu hakikatnya menentang qadha’ dan qadar Allah Azza wa Jalla."
Penyakit hasad hendaknya dijauhi oleh setiap Muslim, karena madharatnya sangat besar, terutama bagi si penderita baik madharat dari sisi agama maupun dunianya.
Tetapi adakah hasad yang dibolehkan ? Dalam buku Shahih Bukhari karangan Ibnu Katsir, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
"Tidak ada hasad kecuali kepada dua orang Yang pertama; kepada seseorang yang telah diberi harta kekayaan oleh Allah dan ia habiskan dijalan yang benar. Dan yang kedua; kepada seseorang yang telah diberi hikmah (ilmu) oleh Allah dan ia memutuskan perkara dengannya serta mengajarkannya. (HR.Muttafaq alaih).
Akan tetapi, hasad dalam hadis ini berbeda pengertiannya dengan hasad yang telah disebutkan di atas. Hasad yang ini disebut oleh para ulama’ dengan sebutan Ghibtaah, yaitu menginginkan kenikmatan seperti yang telah diperoleh oleh orang lain dengan tanpa membenci orang tersebut, serta tidak mengharapkan kenikmatan itu musnah darinya.
Dalam Syarah Syarah Sunan Abu Dâwud, Syaikh Abdul Muhsin al ‘Abbâd hafizhahullâh dalam menjelaskan hadits di atas berkata; Yang dimaksud hasad di sini adalah ghibtaah”.
Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan, Ghibtaah adalah ingin mendapat kenikmatan sebagaimana yang diperoleh oleh orang lain dengan tanpa mengharapkan nikmat tersebut musnah darinya.
Jika perkara yang di ghibtaah tersebut adalah perkara dunia, maka hukumnya adalah mubâh (boleh). Jika perkara tersebut termasuk perkara akhirat, maka hukumnya adalah mustahab (sunnat), dan makna hadits di atas adalah tidak ada ghibtaah yang dicintai (oleh Allah Azza wa Jalla) kecuali pada dua perkara (yang tersebut di atas) dan yang semakna dengannya."
Dengan demikian, hendaknya seorang Muslim senantiasa meninggalkan hasad dan menggantinya dengan ghibtaah.
Wallahu A'lam
(wid)