Kisah Abdul Muthalib Kaya Mendadak karena Menggali Sumur Zamzam
loading...
A
A
A
Sumur Zamzam mengering pada era Mekkah dikelola Jurhum, yakni masa Mudzadz bin 'Amr ibn Harith. Selama dalam masa generasi ini perdagangan Makkah sedang berkembang sehingga membuat mereka hidup mewah. Mereka lupa bahwa mereka berada di tanah tandus dan bahwa mereka perlu selalu berusaha dan selalu waspada.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Sejarah Hidup Muhammad" menuturkan demikian lalainya mereka itu sehingga Zamzam menjadi kering dan pihak kabilah Khuza'a merasa perlu memikirkan akan turut terjun memegang pimpinan di Tanah Suci itu.
Peringatan Mudzadz kepada masyarakatnya agar menghentikan hidup berfoya-foya, tidak berhasil. Ia yakin sekali bahwa hal ini akan menghanyutkan mereka semua.
Kemudian ia berusaha menggali Zamzam lebih dalam lagi. Diambilnya dua buah pangkal pelana emas dari dalam Kakbah beserta harta yang dibawa orang sebagai sesajen ke dalam Rumah Suci itu.
Dimasukkannya semua itu ke dalam dasar sumur, sedang pasir yang masih ada di dalamnya dikeluarkan, dengan harapan pada suatu waktu ia akan menemukannya kembali.
Upaya ini gagal. Terjadilah kudeta oleh Khuza'a. Mudzadz pun keluar dari Mekkah bersama anak-anak Nabi Ismail. Kekuasaan sesudah itu dipegang oleh Khuza'a. Demikian seterusnya turun-temurun sampai kepada Qushay bin Kilab, nenek (kakek) Nabl Muhammad yang kelima.
Mimpi
Haekal menuturkan pada masa Abdul Muthalib , keinginan untuk menggali kembali sumur Zamzam semakin kuat. Demikian kerasnya keinginan itu hingga terbawa dalam tidur Abdul Muthalib seolah ada suara gaib menyuruhnya menggali kembali sumur yang pernah menyembur di kaki Ismail neneknya dulu itu.
Di suatu malam, Abdul Muthalib tiba-tiba membayangkan matahari sudah terbit. Sontak dia lalu beranjak dari tempat tidurnya. Tapi alangkah terkejutnya dia, ketika menyadari ternyata waktu itu masih malam.
Dia keluar dari kemah, lalu melihat keheningan yang luar biasa menyelimuti gurun pasir yang membentang.
Lalu dia kembali ke tempat tidurnya dan bermimpi, ada suatu yang memerintahkannya melakukan hal yang sangat penting, “Galilah Zamzam!”, kata suara tersebut. Namun dia bingung memahami apakah itu Zamzam?
Abdul Muthalib lalu bangun untuk kedua kalinya. Dia tidak bisa tidur lagi. Hanya berusaha memahami maksud dari mimpinya. Di tengah keheningan malam itu, dia keluar dari kemahnya, sambil mengingat-ingat tentang satu kisah kuno soal sebuah sumur pertama di kota itu.
Abdul Muthalib mencoba menerka, lalu apa nilai sumur itu sekarang? Bukankah sudah cukup banyak sumur di kota ini? Bahkan air di Mekkah, sejauh ini bisa mencukupi untuk melayani para peziarah yang datang ke kota itu.
Namun perintah dalam mimpinya begitu nyata, dan dia tidak mungkin mengabaikannya. Persoalannya, letak sumur kuno yang dimaksud itu kala itu posisinya tepat berada di antara dua berhala dari berhala-berhala yang biasa disembah oleh masyarakat setempat, yaitu di antara berhala yang bernama Ashaf dan Nallah.
Berhala ini tidak hanya disembah oleh masyarakat Mekkah, bahkan peziarah yang datang pun ikut mengagungkannya. Akan terjadi resistensi yang luar biasa bila dia memaksakan diri membongkarnya demi untuk menggali sumur tua, yang dia dapat melaluinya mimpi.
Akbar Shah Najeebabadi dalam bukunya "The History Of Islam" menceritakan dorongan dari perintah itu demikian kuat. Hingga mau tak mau Abdul Muthalib pun melaksanakannya.
Dan benar saja, ketika dia memaksakan diri menggali sumur tua tersebut, para pemimpinan kabilah berikut keluarganya menentang usaha Abdul Muthalib. Ketika itu dia hanya berdua dengan putra tertuanya Harits, dan harus berhadapan dengan semua kabilah.
Harta Karun
Abdul Muthalib terus mengadakan penggalian, dibantu oleh anaknya, Harith. Waktu itu tiba-tiba air membersit dan dua pangkal pelana emas dan pedang Mudzadz mulai tampak.
Melihat ada harta karun di dalam sumur, orang-orang mulai ikut campur. "Tidak!" ujar Abdul Muthalib. "Tetapi marilah kita mengadakan pembagian, antara aku dengan kamu sekalian. Kita mengadu nasib dengan permainan qid-h (anak panah). Dua anak panah buat Kakbah, dua buat aku, dan dua buat kamu. Kalau anak panah itu keluar, ia mendapat bagian, kalau tidak, dia tidak mendapat apa-apa," lanjutnya.
Usul ini disetujui. Lalu anak-anak panah itu diberikan kepada juru qid-h yang biasa melakukan itu di tempat Hubal di tengah-tengah Kakbah. Anak panah Quraisy ternyata tidak keluar.
Pedang-pedang dari sumur Zamzam itu buat Abdul Muthalib dan dua buah pangkal pelana emas buat Kakbah. Pedang-pedang itu oleh Abdul Muthalib dipasang di pintu Kakbah, sedang kedua pelana emas dijadikan perhiasan dalam Rumah Suci itu.
Sesudah sumur Zamzam memproduksi air kembali, Abdul Muthalib meneruskan tugasnya mengurus air untuk keperluan tamu.
Di era Abdul Muthalib, nilai kapital Kota Makkah meningkat sangat signifikan. Ditemukannya kembali Sumur Zamzam menjadi salah satu penyebabnya. Sumur ini menjadi aset paling berharga di Kota Makkah. Keberadaannya, membuat nilai strategis dan kapital di Kota Makkah naik berkali-kali lipat.
Lihat Juga: Kisah Abdullah Ayah Rasulullah SAW yang akan Disembelih di Antara Berhala Isaf dan Na'ila
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Sejarah Hidup Muhammad" menuturkan demikian lalainya mereka itu sehingga Zamzam menjadi kering dan pihak kabilah Khuza'a merasa perlu memikirkan akan turut terjun memegang pimpinan di Tanah Suci itu.
Peringatan Mudzadz kepada masyarakatnya agar menghentikan hidup berfoya-foya, tidak berhasil. Ia yakin sekali bahwa hal ini akan menghanyutkan mereka semua.
Kemudian ia berusaha menggali Zamzam lebih dalam lagi. Diambilnya dua buah pangkal pelana emas dari dalam Kakbah beserta harta yang dibawa orang sebagai sesajen ke dalam Rumah Suci itu.
Dimasukkannya semua itu ke dalam dasar sumur, sedang pasir yang masih ada di dalamnya dikeluarkan, dengan harapan pada suatu waktu ia akan menemukannya kembali.
Upaya ini gagal. Terjadilah kudeta oleh Khuza'a. Mudzadz pun keluar dari Mekkah bersama anak-anak Nabi Ismail. Kekuasaan sesudah itu dipegang oleh Khuza'a. Demikian seterusnya turun-temurun sampai kepada Qushay bin Kilab, nenek (kakek) Nabl Muhammad yang kelima.
Mimpi
Haekal menuturkan pada masa Abdul Muthalib , keinginan untuk menggali kembali sumur Zamzam semakin kuat. Demikian kerasnya keinginan itu hingga terbawa dalam tidur Abdul Muthalib seolah ada suara gaib menyuruhnya menggali kembali sumur yang pernah menyembur di kaki Ismail neneknya dulu itu.
Di suatu malam, Abdul Muthalib tiba-tiba membayangkan matahari sudah terbit. Sontak dia lalu beranjak dari tempat tidurnya. Tapi alangkah terkejutnya dia, ketika menyadari ternyata waktu itu masih malam.
Dia keluar dari kemah, lalu melihat keheningan yang luar biasa menyelimuti gurun pasir yang membentang.
Lalu dia kembali ke tempat tidurnya dan bermimpi, ada suatu yang memerintahkannya melakukan hal yang sangat penting, “Galilah Zamzam!”, kata suara tersebut. Namun dia bingung memahami apakah itu Zamzam?
Abdul Muthalib lalu bangun untuk kedua kalinya. Dia tidak bisa tidur lagi. Hanya berusaha memahami maksud dari mimpinya. Di tengah keheningan malam itu, dia keluar dari kemahnya, sambil mengingat-ingat tentang satu kisah kuno soal sebuah sumur pertama di kota itu.
Abdul Muthalib mencoba menerka, lalu apa nilai sumur itu sekarang? Bukankah sudah cukup banyak sumur di kota ini? Bahkan air di Mekkah, sejauh ini bisa mencukupi untuk melayani para peziarah yang datang ke kota itu.
Namun perintah dalam mimpinya begitu nyata, dan dia tidak mungkin mengabaikannya. Persoalannya, letak sumur kuno yang dimaksud itu kala itu posisinya tepat berada di antara dua berhala dari berhala-berhala yang biasa disembah oleh masyarakat setempat, yaitu di antara berhala yang bernama Ashaf dan Nallah.
Berhala ini tidak hanya disembah oleh masyarakat Mekkah, bahkan peziarah yang datang pun ikut mengagungkannya. Akan terjadi resistensi yang luar biasa bila dia memaksakan diri membongkarnya demi untuk menggali sumur tua, yang dia dapat melaluinya mimpi.
Akbar Shah Najeebabadi dalam bukunya "The History Of Islam" menceritakan dorongan dari perintah itu demikian kuat. Hingga mau tak mau Abdul Muthalib pun melaksanakannya.
Dan benar saja, ketika dia memaksakan diri menggali sumur tua tersebut, para pemimpinan kabilah berikut keluarganya menentang usaha Abdul Muthalib. Ketika itu dia hanya berdua dengan putra tertuanya Harits, dan harus berhadapan dengan semua kabilah.
Harta Karun
Abdul Muthalib terus mengadakan penggalian, dibantu oleh anaknya, Harith. Waktu itu tiba-tiba air membersit dan dua pangkal pelana emas dan pedang Mudzadz mulai tampak.
Melihat ada harta karun di dalam sumur, orang-orang mulai ikut campur. "Tidak!" ujar Abdul Muthalib. "Tetapi marilah kita mengadakan pembagian, antara aku dengan kamu sekalian. Kita mengadu nasib dengan permainan qid-h (anak panah). Dua anak panah buat Kakbah, dua buat aku, dan dua buat kamu. Kalau anak panah itu keluar, ia mendapat bagian, kalau tidak, dia tidak mendapat apa-apa," lanjutnya.
Usul ini disetujui. Lalu anak-anak panah itu diberikan kepada juru qid-h yang biasa melakukan itu di tempat Hubal di tengah-tengah Kakbah. Anak panah Quraisy ternyata tidak keluar.
Pedang-pedang dari sumur Zamzam itu buat Abdul Muthalib dan dua buah pangkal pelana emas buat Kakbah. Pedang-pedang itu oleh Abdul Muthalib dipasang di pintu Kakbah, sedang kedua pelana emas dijadikan perhiasan dalam Rumah Suci itu.
Sesudah sumur Zamzam memproduksi air kembali, Abdul Muthalib meneruskan tugasnya mengurus air untuk keperluan tamu.
Di era Abdul Muthalib, nilai kapital Kota Makkah meningkat sangat signifikan. Ditemukannya kembali Sumur Zamzam menjadi salah satu penyebabnya. Sumur ini menjadi aset paling berharga di Kota Makkah. Keberadaannya, membuat nilai strategis dan kapital di Kota Makkah naik berkali-kali lipat.
Lihat Juga: Kisah Abdullah Ayah Rasulullah SAW yang akan Disembelih di Antara Berhala Isaf dan Na'ila
(mhy)