Hadis Palsu Bisa Menggelincirkan Umat pada Kedustaan yang Disandarkan kepada Rasulullah SAW
loading...
A
A
A
Syaikh Muhammad Nashruddin al-Albani mengatakan hadis maudhu atau palsu, bisa juga disebut hadis hoaks, bisa membuat umat tergelincir dalam menyebarkan kedustaan yang disandarkan kepada Rasulullah SAW .
"Inilah yang mendorong saya untuk mengumpulkan riwayat-riwayat maudhu' dan dha'if dengan penyelidikan yang mendetail," ujar Syaikh Muhammad Nashruddin al-Albani dalam kitabnya berjudul "Silsilatul-Ahaadiits adh-Dhaifah wal Maudhu'ah wa Atsaruhas-Sayyi' fil-Ummah" dan telah diterjemahkan AM Basamalah dengan judul: Silsilah Hadits Dha'if dan Maudhu'.
Sembari berdoa agar kita terjaga dari keterjerumusan itu dengan keutamaan dan taufik-Nya, Al-Albani mengambil contoh satu hadis maudhu yang berbunyi:
"Siapa saja yang memberi makan saudaranya dengan roti hingga kenyang dan memberinya minum hingga cukup, Allah akan menjauhkannya dari neraka sejauh tujuh khandaq. Jarak antara dua khandaq adalah perjalanan lima ratus tahun."
Menurut Al-Albani, hadis maudhu' ini telah diriwayatkan oleh al-Hakim, I/ 95, juga oleh Ibnu Asakir II/115, dari sanad Idris bin Yahya al-Khaulani, dari Raja bin Abi Atha.
"Ada kemusykilan dalam riwayat ini," katanya. "Pada satu sisi al-Hakim berkata sanadnya sahih seperti juga disepakati oleh adz-Dzahabi, namun pada sisi lain ia berkata bahwa Raja ini tidak ada yang mempercayainya, bahkan termasuk orang yang tertuduh."
Kemudian, dengarkan apa yang dikatakan oleh adz-Dzahabi dalam kitab al-Mizan, "Shuwailih telah dikatakan oleh al-Hakim sebagai seorang perawi hadis maudhu'." Pernyataan seperti itu juga diungkapkan oleh Ibnu Hibban.
Jadi, di satu pihak Ibnu Hibban memvonis hadis tersebut sebagai hadis maudhu', sedangkan di pihak lain al-Hakim memvonis sebagai riwayat yang sahih sanadnya. "Kini, saya benar-benar merasa tidak mengetahui, bagaimana menyatukan dua vonis peneliti sekaligus perawi hadis itu," ujar Syaikh Al-Albani.
"Saya juga tidak mengetahui bagaimana menyatukan pernyataan adz-Dzahabi tentang Shuwailih dengan kesepakatan akan pernyataan al-Hakim," lanjutnya.
Menurut Syaikh Al-Albani, hadis tersebut telah dikecam oleh al-Haitsami dalam kitab al-Mujma' II/130. Ath-Thabrani dalam kitab al-Kabir juga berkata, "Dalam sanadnya terdapat Raja bin Abi Atha. Dia sangat lemah."
Sungguh pernyataan al-Hakim itu merupakan kekaburan yang mengkhawatirkan. "Inilah yang mendorong saya untuk mengumpulkan riwayat-riwayat maudhu' dan dha'if dengan penyelidikan yang mendetail, agar dapat mencegah tergelincirnya umat dalam menyebarkan kedustaan yang disandarkan kepada Rasulullah SAW. Semoga kita terjaga dari keterjerumusan itu dengan keutamaan dan taufik-Nya," tutur Syaikh Al-Albani.
Fitnah Besar
Al-Albani mengatakan salah satu di antara sederetan musibah atau fitnah besar yang pernah menimpa umat Islam sejak abad pertama hijriah adalah tersebarnya hadis-hadis dha'if dan maudhu' di kalangan umat.
Hal itu juga menimpa para ulama kecuali sederetan pakar hadis dan kritikus yang dikehendaki Allah seperti Imam Ahmad, Bukhari, Ibnu Muin, Abi Hatim ar-Razi, dan lain-lain. "Tersebarnya hadis-hadis semacam itu di seluruh wilayah Islam telah meninggalkan dampak negatif yang luar biasa," ujarnya.
Di antaranya adalah terjadinya perusakan segi akidah terhadap hal-hal gaib, segi syariat, dan sebagainya. Telah menjadi kehendak Illahi Yang Maha Bijaksana untuk tidak membiarkan hadis-hadis semacam itu berserakan di sana-sini tanpa mengutus atau memberikan keistimewaan pada sekelompok orang berkemampuan tinggi untuk menghentikan dampak negatif serta menyingkap tabirnya, kemudian menjelaskan hakikatnya kepada khalayak.
Mereka itulah para pakar hadis asy syarif, para pengemban panji sunnah nabawiyyah yang telah didoakan Rasulullah SAW dengan sabdanya:
"Allah SWT membaikkan kedudukan seseorang yang mendengar sabdaku, memahaminya, menjaganya, dan kemudian menyampaikannya kepada orang lain. Boleh jadi pengemban fikih akan menyampaikannya kepada yang lebih pandai darinya." (HR Abu Daud dan Tirmidzi serta Ibnu Hibban).
"Para pakar hadis telah melakukan penelitian dan menjelaskan keadaan hadis- hadis Rasulullah dengan menghukuminya sebagai hadis sahih, dha'if, dan maudhu'," kata al-Albani.
"Mereka pun membuat aturan dan kaidah-kaidah, khususnya yang berkenaan dengan ilmu tersebut. Siapa pun yang berpengetahuan luas dalam ilmu ini akan mudah mengenali derajat suatu hadis, sekalipun tanpa adanya nash. Inilah yang dikenal dengan nama ilmu Mushthalah Hadits," lanjutnya.
Para ulama mutakhir telah membuat dan menyusun kitab secara khusus untuk mengenali hadis-hadis Rasulullah SAW dengan menjelaskan kedudukannya.
Menurutnya, yang paling terkenal dan paling luas pembahasannya adalah kitab Al-Maqaashidul-Hasanah fi Bayaani Katsiirin minal-Ahaditsil-Musytaharah 'alal-Alsinah karangan al-Hafizh as-Sakhawi. Berikutnya kitab Nashabur-Rayah li Ahaadiitsil-Hidaayah karangan al-Hafizh az- Zayla'i. Kitab ini menjelaskan keadaan atau derajat hadis-hadis yang banyak diutarakan oleh ulama yang bukan pakar hadis, serta menjelaskan mana yang benar-benar hadis dan mana yang bukan.
Kitab-kitab lain di antaranya Al-Mughni Jan Hamlil-Asfari fi takhriji ma fil-Ahya'i minal-Akhbar karangan al-Hafizh al-Iraqi, Talkhisul-Habir fi Takhriiji Ahaaditsir-Rafi'il-Kabiri karangan Ibnu Hajar al-Asqalani, Takhrij Ahadits al-Kasysyaf karangan Ibnu Hajar dan Takhrij Ahadits asy-Syifa' karangan as-Sayuthi.
Para ulama tadi, menurut al-Albani, telah memudahkan dan membuka jalan kemudahan bagi para generasi sesudahnya untuk mengetahui dan mengenali derajat tingkatan hadis-hadis Rasulullah SAW.
"Namun, sangat disayangkan kebanyakan mereka (yakni generasi penerus, baik ulama maupun para penuntut ilmu) tidak mau menyempatkan membaca kitab-kitab tadi dengan serius," kata al-Albani.
"Itulah sebabnya mereka tidak tahu derajat hadis yang telah mereka hafal di luar kepala, yang mereka baca dan pelajari dalam berbagai kitab yang tidak menyebutkan dengan rinci kedudukan hadis yang bersangkutan. Karena itu, kita sering mendapati hadis dha'if atau maudhu' diutarakan dalam ceramah, artikel di media massa,atau bahkan ditulis dalam kitab-kitab," lanjutnya.
Begitu juga para guru dan dosen di kelas-kelas maupun di ruang kuliah. Tentu saja ini sangat berbahaya dan saya khawatir jangan-jangan mereka termasuk orang-orang yang mendapat ancaman seperti dimaksud sabda Rasulullah SAW:
"Barangsiapa dengan sengaja berdusta dalam hadis-hadisku dengan sengaja, hendaklah ia menempatkan dirinya dalam api neraka." (HR Ashabus Sunan clan Ashabus Shahah).
Kalaupun mereka tidak secara langsung mendustakan hadis-hadis Rasulullah SAW, Al-Albani mengatakan, mereka dikategorikan sebagai pengikut atau pengekor dalam menyebarluaskan hadis-hadis yang belum jelas sahih dan dha'ifnya.
Di samping itu, mereka juga mengetahui bahwa dalam hadis-hadis Rasulullah SAW ada yang dha'if dan ada pula yang maudhu'. Dalam hal ini Rasullulah SAW telah mengisyaratkan dalam sabdanya:
"Cukuplah sebagai pendusta bagi seseorang akibat berdusta karena menceritakan semua yang didengarnya." (HR Muslim).
Kemudian diriwayatkan dari Imam Malik, beliau bersabda:
"Ketahuilah bahwa seseorang itu tidak akan terlepas atau selamat dari pembicaraan semua yang didengarnya. Dan tidak layak ia menjadi seorang imam atau pemimpin sedang ia senang menceritakan semua yang didengarnya."
Imam Ibnu Hibban dalam sahihnya mengatakan, wajib masuk neraka bagi siapa saja yang menisbatkan sesuatu kepada Rasulullah SAW padahal ia tidak mengetahui sejauh mana kebenarannya. Kemudian menyebutkan hadis "man qaala 'alayya ... dan seterusnya" seperti yang diriwayatkan oleh Ashhabus Sunan.
Lebih lanjut Ibnu Hibban berkata, "Telah nyata dari apa yang kami riwayatkan tadi bahwa itu adalah sahih," seraya mengutarakan hadis dengan sanad dari Samurah bin Jindub:
"Barangsiapa mengutarakan hadis dariku dan diketahui bahwa dusta, ia termasuk pendusta." (Juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Samurah dan Mughirah bin Syu'bah).
Al-Albani menegaskan tidak boleh meriwayatkan atau mengutarakan hadis tanpa mengetahui sejauh mana kesahihannya. "Karena itu, siapa saja yang melakukannya, ia termasuk orang yang berdusta dengan mengatasnamakan Rasulullah SAW dan termasuk orang-orang yang diancam oleh beliau dengan diberikannya tempat di dalam neraka, seperti yang tercantum dalam hadis mutawatir tadi," katanya.
"Inilah yang mendorong saya untuk mengumpulkan riwayat-riwayat maudhu' dan dha'if dengan penyelidikan yang mendetail," ujar Syaikh Muhammad Nashruddin al-Albani dalam kitabnya berjudul "Silsilatul-Ahaadiits adh-Dhaifah wal Maudhu'ah wa Atsaruhas-Sayyi' fil-Ummah" dan telah diterjemahkan AM Basamalah dengan judul: Silsilah Hadits Dha'if dan Maudhu'.
Sembari berdoa agar kita terjaga dari keterjerumusan itu dengan keutamaan dan taufik-Nya, Al-Albani mengambil contoh satu hadis maudhu yang berbunyi:
"Siapa saja yang memberi makan saudaranya dengan roti hingga kenyang dan memberinya minum hingga cukup, Allah akan menjauhkannya dari neraka sejauh tujuh khandaq. Jarak antara dua khandaq adalah perjalanan lima ratus tahun."
Menurut Al-Albani, hadis maudhu' ini telah diriwayatkan oleh al-Hakim, I/ 95, juga oleh Ibnu Asakir II/115, dari sanad Idris bin Yahya al-Khaulani, dari Raja bin Abi Atha.
"Ada kemusykilan dalam riwayat ini," katanya. "Pada satu sisi al-Hakim berkata sanadnya sahih seperti juga disepakati oleh adz-Dzahabi, namun pada sisi lain ia berkata bahwa Raja ini tidak ada yang mempercayainya, bahkan termasuk orang yang tertuduh."
Kemudian, dengarkan apa yang dikatakan oleh adz-Dzahabi dalam kitab al-Mizan, "Shuwailih telah dikatakan oleh al-Hakim sebagai seorang perawi hadis maudhu'." Pernyataan seperti itu juga diungkapkan oleh Ibnu Hibban.
Jadi, di satu pihak Ibnu Hibban memvonis hadis tersebut sebagai hadis maudhu', sedangkan di pihak lain al-Hakim memvonis sebagai riwayat yang sahih sanadnya. "Kini, saya benar-benar merasa tidak mengetahui, bagaimana menyatukan dua vonis peneliti sekaligus perawi hadis itu," ujar Syaikh Al-Albani.
"Saya juga tidak mengetahui bagaimana menyatukan pernyataan adz-Dzahabi tentang Shuwailih dengan kesepakatan akan pernyataan al-Hakim," lanjutnya.
Menurut Syaikh Al-Albani, hadis tersebut telah dikecam oleh al-Haitsami dalam kitab al-Mujma' II/130. Ath-Thabrani dalam kitab al-Kabir juga berkata, "Dalam sanadnya terdapat Raja bin Abi Atha. Dia sangat lemah."
Sungguh pernyataan al-Hakim itu merupakan kekaburan yang mengkhawatirkan. "Inilah yang mendorong saya untuk mengumpulkan riwayat-riwayat maudhu' dan dha'if dengan penyelidikan yang mendetail, agar dapat mencegah tergelincirnya umat dalam menyebarkan kedustaan yang disandarkan kepada Rasulullah SAW. Semoga kita terjaga dari keterjerumusan itu dengan keutamaan dan taufik-Nya," tutur Syaikh Al-Albani.
Fitnah Besar
Al-Albani mengatakan salah satu di antara sederetan musibah atau fitnah besar yang pernah menimpa umat Islam sejak abad pertama hijriah adalah tersebarnya hadis-hadis dha'if dan maudhu' di kalangan umat.
Hal itu juga menimpa para ulama kecuali sederetan pakar hadis dan kritikus yang dikehendaki Allah seperti Imam Ahmad, Bukhari, Ibnu Muin, Abi Hatim ar-Razi, dan lain-lain. "Tersebarnya hadis-hadis semacam itu di seluruh wilayah Islam telah meninggalkan dampak negatif yang luar biasa," ujarnya.
Di antaranya adalah terjadinya perusakan segi akidah terhadap hal-hal gaib, segi syariat, dan sebagainya. Telah menjadi kehendak Illahi Yang Maha Bijaksana untuk tidak membiarkan hadis-hadis semacam itu berserakan di sana-sini tanpa mengutus atau memberikan keistimewaan pada sekelompok orang berkemampuan tinggi untuk menghentikan dampak negatif serta menyingkap tabirnya, kemudian menjelaskan hakikatnya kepada khalayak.
Mereka itulah para pakar hadis asy syarif, para pengemban panji sunnah nabawiyyah yang telah didoakan Rasulullah SAW dengan sabdanya:
"Allah SWT membaikkan kedudukan seseorang yang mendengar sabdaku, memahaminya, menjaganya, dan kemudian menyampaikannya kepada orang lain. Boleh jadi pengemban fikih akan menyampaikannya kepada yang lebih pandai darinya." (HR Abu Daud dan Tirmidzi serta Ibnu Hibban).
"Para pakar hadis telah melakukan penelitian dan menjelaskan keadaan hadis- hadis Rasulullah dengan menghukuminya sebagai hadis sahih, dha'if, dan maudhu'," kata al-Albani.
"Mereka pun membuat aturan dan kaidah-kaidah, khususnya yang berkenaan dengan ilmu tersebut. Siapa pun yang berpengetahuan luas dalam ilmu ini akan mudah mengenali derajat suatu hadis, sekalipun tanpa adanya nash. Inilah yang dikenal dengan nama ilmu Mushthalah Hadits," lanjutnya.
Para ulama mutakhir telah membuat dan menyusun kitab secara khusus untuk mengenali hadis-hadis Rasulullah SAW dengan menjelaskan kedudukannya.
Menurutnya, yang paling terkenal dan paling luas pembahasannya adalah kitab Al-Maqaashidul-Hasanah fi Bayaani Katsiirin minal-Ahaditsil-Musytaharah 'alal-Alsinah karangan al-Hafizh as-Sakhawi. Berikutnya kitab Nashabur-Rayah li Ahaadiitsil-Hidaayah karangan al-Hafizh az- Zayla'i. Kitab ini menjelaskan keadaan atau derajat hadis-hadis yang banyak diutarakan oleh ulama yang bukan pakar hadis, serta menjelaskan mana yang benar-benar hadis dan mana yang bukan.
Kitab-kitab lain di antaranya Al-Mughni Jan Hamlil-Asfari fi takhriji ma fil-Ahya'i minal-Akhbar karangan al-Hafizh al-Iraqi, Talkhisul-Habir fi Takhriiji Ahaaditsir-Rafi'il-Kabiri karangan Ibnu Hajar al-Asqalani, Takhrij Ahadits al-Kasysyaf karangan Ibnu Hajar dan Takhrij Ahadits asy-Syifa' karangan as-Sayuthi.
Para ulama tadi, menurut al-Albani, telah memudahkan dan membuka jalan kemudahan bagi para generasi sesudahnya untuk mengetahui dan mengenali derajat tingkatan hadis-hadis Rasulullah SAW.
"Namun, sangat disayangkan kebanyakan mereka (yakni generasi penerus, baik ulama maupun para penuntut ilmu) tidak mau menyempatkan membaca kitab-kitab tadi dengan serius," kata al-Albani.
"Itulah sebabnya mereka tidak tahu derajat hadis yang telah mereka hafal di luar kepala, yang mereka baca dan pelajari dalam berbagai kitab yang tidak menyebutkan dengan rinci kedudukan hadis yang bersangkutan. Karena itu, kita sering mendapati hadis dha'if atau maudhu' diutarakan dalam ceramah, artikel di media massa,atau bahkan ditulis dalam kitab-kitab," lanjutnya.
Begitu juga para guru dan dosen di kelas-kelas maupun di ruang kuliah. Tentu saja ini sangat berbahaya dan saya khawatir jangan-jangan mereka termasuk orang-orang yang mendapat ancaman seperti dimaksud sabda Rasulullah SAW:
"Barangsiapa dengan sengaja berdusta dalam hadis-hadisku dengan sengaja, hendaklah ia menempatkan dirinya dalam api neraka." (HR Ashabus Sunan clan Ashabus Shahah).
Kalaupun mereka tidak secara langsung mendustakan hadis-hadis Rasulullah SAW, Al-Albani mengatakan, mereka dikategorikan sebagai pengikut atau pengekor dalam menyebarluaskan hadis-hadis yang belum jelas sahih dan dha'ifnya.
Di samping itu, mereka juga mengetahui bahwa dalam hadis-hadis Rasulullah SAW ada yang dha'if dan ada pula yang maudhu'. Dalam hal ini Rasullulah SAW telah mengisyaratkan dalam sabdanya:
"Cukuplah sebagai pendusta bagi seseorang akibat berdusta karena menceritakan semua yang didengarnya." (HR Muslim).
Kemudian diriwayatkan dari Imam Malik, beliau bersabda:
"Ketahuilah bahwa seseorang itu tidak akan terlepas atau selamat dari pembicaraan semua yang didengarnya. Dan tidak layak ia menjadi seorang imam atau pemimpin sedang ia senang menceritakan semua yang didengarnya."
Imam Ibnu Hibban dalam sahihnya mengatakan, wajib masuk neraka bagi siapa saja yang menisbatkan sesuatu kepada Rasulullah SAW padahal ia tidak mengetahui sejauh mana kebenarannya. Kemudian menyebutkan hadis "man qaala 'alayya ... dan seterusnya" seperti yang diriwayatkan oleh Ashhabus Sunan.
Lebih lanjut Ibnu Hibban berkata, "Telah nyata dari apa yang kami riwayatkan tadi bahwa itu adalah sahih," seraya mengutarakan hadis dengan sanad dari Samurah bin Jindub:
"Barangsiapa mengutarakan hadis dariku dan diketahui bahwa dusta, ia termasuk pendusta." (Juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Samurah dan Mughirah bin Syu'bah).
Al-Albani menegaskan tidak boleh meriwayatkan atau mengutarakan hadis tanpa mengetahui sejauh mana kesahihannya. "Karena itu, siapa saja yang melakukannya, ia termasuk orang yang berdusta dengan mengatasnamakan Rasulullah SAW dan termasuk orang-orang yang diancam oleh beliau dengan diberikannya tempat di dalam neraka, seperti yang tercantum dalam hadis mutawatir tadi," katanya.
(mhy)