Idul Adha: Syarat Sah Hewan Kurban dan Waktu Penyembelihan

Kamis, 07 Juli 2022 - 16:26 WIB
loading...
Idul Adha: Syarat Sah Hewan Kurban dan Waktu Penyembelihan
Hewan kurban hendaklah dalam keadaan sehat bebas dari aib, cacat, atau penyakit lainnya. Foto/Ilustrasi: the independent co.uk.
A A A
Idul Adha atau hari raya kurban tinggal beberapa hari lagi. Setiap muslim terpanggil untuk berkurban. Hanya saja, tidak sembarang hewan bisa dijadikan kurban.

Hewan yang diperbolehkan disembelih untuk kurban adalah jenis binatang ternak. Unta, sapi, kambing, dan domba bisa dijadikan pilihan sebagai hewan kurban. Selain itu tidak dijelaskan dalam suatu nash, baik Al-Qur'an maupun hadis terkait jenis kelamin hewan jantan atau betina keduanya dapat dijadikan sebagai hewan kurban.

Lebih jauh lagi, hewan kurban harus cukup umur saat akan disembelih. Cukup umur di sini ditandai dengan tumbuhnya sepasang gigi tetap. Untuk kurban unta minimal berusia 5 tahun dan telah masuk tahun ke-6. Sapi minimal berusia 2 tahun dan telah masuk tahun ke-3. Domba berusia 1 tahun. Sedangkan kambing minimal berusia 1 tahun dan telah masuk tahun ke-2.

Hewan kurban hendaklah dalam keadaan sehat bebas dari aib, cacat, atau penyakit lainnya. Jadi hewan kurban harus benar-benar sehat dan fit, dan upayakan bertubuh besar, gemuk, dagingnya banyak, dan fisiknya sempurna.



Waktu Penyembelihan
Syarat-syarat sahnya hewan kurban yang disembelih selain harus sempurna dan lengkap sifat-sifatnya dan sehat, juga hewan tersebut harus disembelih pada waktu-waktu tertentu.

Menurut Hanafiyah, penyembelihan hewan kurban dilakukan pada malam hari (selama dua malam), yaitu malam tanggal 11 (malam kedua) dan 12 Zulhijah (malam ketiga), tidak boleh pada malam Hari Raya Idul Adha dan malam ke-14.

Malikiyah menambahkan dua syarat lagi, yaitu yang sembelih haruslah muslim, dan harga 1 hewan sembelihan itu bukanlah harga patungan.

Syarat-syarat bagi orang yang diperintahkan untuk berkurban adalah muslim (bukan kafir). Kedua, orang merdeka (bukan budak). Ketiga, balig (bukan di bawah umur). Keempat, berakal (waras). Kelima, muqim (tinggal, bukan musafir), dan keenam, mampu.

Terdapat perbedaan pendapat ulama mengenai sembelihan kurban bagi seseorang yang belum baligh. Abu Hanifah berpendapat, wajib hukumnya berkurban. Malikiyah, sunat berkurban, sedangkan Syafi’iyyah dan Hanbali, tidak sunat.



Dasar Perintah Kurban
Ahmad Thib Raya dalam tulisannya berjudul "Dasar Hukum dan Syarat-Syarat Penyembelihan Hewan Kurban" sebagaimana dilansir Tafsir Al-Quran, menjelaskan dasarnya di dalam Al-Qur’an ialah ayat 2 Surat Al-Kautsar, 108 yang berbunyi: فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (lalu lakukanlah salat dan berkurbanlah).

Dasar lainnya di dalam hadis ialah hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah:

((مَا عَمِلَ ابْنُ آدَمَ يَوْمَ النَّحْرِ عَمَلاً أَحَبَّ إِلَى اللهِ تَعَالَى مِنْ إِرَاقَةِ الدَّمِ، إِنَّهَا لَتَأْتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُوْنِهَا وَأَظْلاَفِهَا وَأَشْعَارِهَا وَإِنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ عَلَى الأَرْضِ، فَطَيِّبُوْا بِهَا نَفْسًا)) رواه الحاكم وابن ماجه والترمذي.

Tidak ada suatu pekerjaan yang paling disukai oleh Allah untuk dikerjakan pada hari nahar (idul adha) selain daripada mengalirkan darah hewan (menyembelih hewan kurban), karena hewan kurban itu pada hari kiamat nanti akan datang dengan tanduknya, kukunya, dan bulu-bulunya. Sesungguhnya darah sembelihan itu langsung diterima oleh Allah swt., sebelum darah itu sampai di tanah. Karena itu, harumkanlah setiap jiwa dengan sembelihan itu”.

Menurut Guru Besar Pendidikan Bahasa Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini, hewan yang dikurbankan itu akan datang di hari kiamat nanti dengan segala sifat yang dimilikinya saat disembelih, karena itulah maka hewan sembelihan itu haruslah yang lengkap sifat-sifatnya.

"Para ulama sepakat bahwa berkurban adalah pekerjaan yang sangat disukai Allah dan sangat dianjurkan di dalam agama," ujar ulama yang juga Dewan Pakar Pusat Studi Al-Quran (PSQ) ini.

Di dalam ibadah kurban terdapat beberapa hikmah penting. Di antaranya ialah: a). Sebagai tanda syukur atas nikmat Allah SWT yang tak terbilang jumlahnya. b). Sebagai tanda syukur atas umur panjang yang diberikan Tuhan setiap tahun. c). Untuk menjauhkan diri dari segala kejahatan.



Hukum Melakukan Kurban
Terdapat perbedaan pendapat ulama mengenai hukum melakukan kurban. Abu Hanifah dan kawan-kawannya menyatakan bahwa hukum berkurban itu wajib setiap tahun bagi orang-orang muqim. Abu Yusuf menyatakan sunat mu’akkad. Pandangannya ini didasarkan pada sebuah hadis yang menyatakan: “Barangsiapa yang mempunyai kemampuan untuk berkurban, lalu ia tidak berkurban, maka ia tidak boleh mendekati tempat sholat kami”.

Ulama selain Hanafi berpendapat bahwa berkurban hukumnya sunnat mu’akkad (bukan wajib). Makruh hukum meninggalkannya bagi yang mampu. Menurut Syafi’i, sunnat aini sekali seumur hidup, dan sunat kifayah bagi satu keluarga. Dasar pandangan mereka ialah hadis yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah: “Sesungguhnya Rasulullah bersabda: Apabila engkau sudah melihat bulan sabit Zulhijah, dan engkau ingin melakukan kurban, maka kurbanlah”.

Sehubungan dengan syarat kurban, ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu syarat wajib atau sunahnya dan syarat sahnya. Satu-satunya syarat bagi yang akan berkurban adalah mampu melakukan kurban. Bagi yang tidak mampu tidak disyaratkan.

Mampu, menurut Hanafiyah, ialah seseorang yang memiliki harta yang nilainya sama dengan nisab zakat, atau seseorang yang memiliki harta yang lebih daripada sandang, pangan, dan pakaian.

Mampu, menurut Malikiyah, ialah seseorang yang memiliki harta, (senilai hewan kurban) lebih daripada kebutuhan pokoknya pada tahun itu. Jika dia mampu berutang, ia harus berutang.

Mampu, menurut Syafi’iyyah, ialah seseorang yang memiliki harta (senilai hewan kurban) lebih daripada yang ia butuhkan dan keluarganya pada hari Idul Adha dan hari-hari tasyriq.

Mampu, menurut Hanbali, ialah seseorang yang kemungkinan besar dapat memperoleh harta senilai harga hewan kurban itu, meski dengan berutang, dengan catatan bahwa dia diperkirakan mampu membayar utangnya.



Makna Kurban
Kata “kurban” pada hakikatnya berasal dari bahasa Arab, yaitu “qurban” (قربان), yang berarti “dekat”, “mendekatkan diri”. Istilah ini selalu kita gunakan dalam kaitan dengan kegiatan penyembelihan hewan pada hari Raya Idul Adha. Hari Raya Idul Adha itu sendiri pada hakikatnya berarti “Hari raya di mana seseorang harus kembali untuk melakukan kurban dengan memotong hewan kurban”.

Istilah “qurban” sendiri dalam istilah Arabnya jarang digunakan, dan istilah yang paling umum digunakan untuk itu ialah “adha” (أضحى) atau “udhiyah” (أضحية).

Kata “qurban” atau “udhiyah” itu berarti “nama bagi sesuatu yang disembelih atau dikurbankan pada hari Raya Idul Adha.

Menurut istilah ulama fikih, “kurban” yaitu penyembelihan hewan tertentu dengan niat mendekatkan diri kepada Allah swt. pada waktu tertentu. Atau dengan perkataan lain bahwa “kurban” adalah nikmat atau rezeki yang dikurbankan untuk mendekatkan diri kepada Allah pada hari-hari kurban.

Kurban, sebagaimana zakat dan sholat dua hari raya, mulai diperintahkan pada tahun kedua hijrah. Perintah itu berdasarkan ayat Al-Qur’an, hadis Rasulullah SAW, dan ijma’ ulama.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3596 seconds (0.1#10.140)