Peristiwa Muharram: Allah Taala Kembalikan Kerajaan Nabi Sulaiman yang Direbut Jin Sakhr
loading...
A
A
A
Ia dalam keadaan sangat lapar, maka ia meminta ikan kepada para penangkap ikan itu. Ia berkata kepada mereka, "Sesungguhnya aku adalah Sulaiman," maka sebagian dari mereka bangkit dan memukulnya dengan tongkat hingga Sulaiman terluka pada kepalanya.
Sulaiman bersabar dan mencuci lukanya itu di tepi pantai dengan air laut. Para nelayan yang ada mencela perbuatan teman mereka yang memukul Sulaiman, dan mereka berkata kepadanya, "Buruk sekali perlakuanmu itu dengan memukul dia." Orang yang memukulnya menjawab.”Dia mengira bahwa dirinya adalah Sulaiman."
Akhirnya mereka memberinya dua ekor ikan yang tidak terpakai oleh mereka. Sulaiman tidak mengindahkan lagi luka akibat pukulan, ia bangkit menuju ke tepi pantai, lalu membelah perut kedua ikan itu dan mencucinya. Ternyata ia menjumpai cincinnya berada di dalam perut salah satu dari kedua ekor ikan pemberian itu.
Ia segera memungutnya dan mengenakannya, maka dengan serta merta Allah mengembalikan kepadanya wibawanya sebagai seorang raja dan juga kesaktiannya. Burung-burung pun berdatangan hingga mengelilinginya. Melihat kejadian itu barulah kaum yang ada di pantai itu merasa yakin bahwa dia adalah Nabi Sulaiman. Maka orang-orang berdatangan kepadanya seraya meminta maaf kepadanya atas apa yang telah mereka lakukan terhadapnya.
Nabi Sulaiman menjawab, "Aku tidak memuji kalian atas permintaan maaf kalian, tidak pula aku mencela apa yang telah kalian lakukan terhadapku, karena sesungguhnya peristiwa tersebut merupakan suatu perkara yang telah terjadi."
Sulaiman as berangkat hingga datang ke kerajaannya, lalu ia memerintahkan agar setan tersebut ditangkap. Setelah setan itu ditangkap, ia menjatuhkan hukuman terhadapnya, maka ia memasukkannya ke dalam sebuah peti besi yang dikuncinya rapat-rapat dan dilak dengan cap dari cincinnya.
Kemudian ia memerintahkan agar peti itu dilemparkan ke dalam laut, dan setan tersebut akan tetap berada di dalam peti itu hingga hari kiamat nanti. Disebutkan bahwa nama setan itu adalah Habyaq.
As-Saddi melanjutkan kisahnya, bahwa telah ditundukkan bagi Sulaiman angin, yang sebelum itu tidak ditundukkan terhadapnya. Seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang jua pun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi. (Shad: 35)
Memvonis Batil
Para pakar tafsir klasik dan kontemporer memvonis batilnya kisah tersebut seraya menyebutkan, kisah ini tidak lebih hanyalah isrâiliyyât (dongeng-dongeng yang dinukil dari bani Israil) yang batil.
Ibn Katsîr (w. 774 H), misalnya, dalam tafsirnya menyatakan “Allah SWT tidak menerangkan hakikat jasad yang Dia letakkan di atas kursinya. Kita mengimani bahwa Allah menguji beliau dengan meletakkan sebuah jasad di atas kursinya, dan kita tidak mengetahui tentang jasad itu?
Semua perkataan yang membicarakan tentang hal itu berasal dari cerita Israiliyyat; kita tidak mengetahui benar dan dustanya, wallahu a’lam.”
Sebagian ahli tafsir ada mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ujian ini ialah kehilangan kerajaan Sulaiman disebabkan aib yang biasa terjadi pada manusia sehingga orang lain duduk di atas singgasananya. Yakni setelah ujian itu, beliau kembali kepada Allah Ta'ala, berdoa dan meminta ampunan-Nya, serta meminta kerajaan yang tidak patut dimiliki seorang pun setelahnya.
Ibnu Hazm (w. 456 H) menegaskan, “Ini semua khurafat kisah palsu dan dusta. Isnâdnya sama sekali tidak shahih”. Ibn al-Jauzî (w. 597 H) juga menyebutkan kisah di atas “tidak absah dan tidak disebutkan oleh orang yang terpercaya”.
Al-Qurthubi (w. 671 H) dalam tafsirnya mengomentari pendapat orang yang menafsirkan “ujian” dengan kisah di atas, “Pendapat ini dilemahkan (para ulama)”.
Sedangkan Abu Hayyan (w. 745 H) dalam Tafsîr al-Bahr al-Muhîth bertutur, “Kisah ini tidak halal untuk dinukil dan termasuk karangan orang-orang Yahudi serta kaum zindiq”.
Al-Iji (w. 894 H) dalam Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an juga menjelaskan, “Ketahuilah, tidak ada satupun hadits shahîh yang menyebutkan perincian kisah tersebut. Adapun apa yang dinukil dari salaf, kemungkinan besar termasuk isrâîliyyât,” ujarnya.
“Ini kedustaan yang besar dan perkara yang serius. Keabsahan penisbatan cerita ini kepada Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu tidak kita terima,” tambah Al-Alûsî Abu ats-Tsanâ dalam kitabnya Rûh al-Ma’ânî.
Sebagian ulama yang menyebutkan bahwa sanad (jalur periwayatan) kisah tersebut hingga Ibnu Abbâs kuat, sebagaimana yang dikatakan Ibnu Katsîr, Ibnu Hajar al-‘Asqalânî, dan as-Suyûthî, hal tersebut tidaklah menafikan kebatilan kisah ini. Sebab andaikan sanad tersebut memang shahîh sampai ke Ibnu Abbâs ra, beliau hanyalah menukil kisah batil tersebut dari Ahlul Kitab yang masuk Islam. [Ibnu Abbâs menukil kisah tersebut dari Ka’ab al-Ahbâr, sebagaimana dalam ad-Durr al-Mantsûr (XII/573)].
Sulaiman bersabar dan mencuci lukanya itu di tepi pantai dengan air laut. Para nelayan yang ada mencela perbuatan teman mereka yang memukul Sulaiman, dan mereka berkata kepadanya, "Buruk sekali perlakuanmu itu dengan memukul dia." Orang yang memukulnya menjawab.”Dia mengira bahwa dirinya adalah Sulaiman."
Akhirnya mereka memberinya dua ekor ikan yang tidak terpakai oleh mereka. Sulaiman tidak mengindahkan lagi luka akibat pukulan, ia bangkit menuju ke tepi pantai, lalu membelah perut kedua ikan itu dan mencucinya. Ternyata ia menjumpai cincinnya berada di dalam perut salah satu dari kedua ekor ikan pemberian itu.
Ia segera memungutnya dan mengenakannya, maka dengan serta merta Allah mengembalikan kepadanya wibawanya sebagai seorang raja dan juga kesaktiannya. Burung-burung pun berdatangan hingga mengelilinginya. Melihat kejadian itu barulah kaum yang ada di pantai itu merasa yakin bahwa dia adalah Nabi Sulaiman. Maka orang-orang berdatangan kepadanya seraya meminta maaf kepadanya atas apa yang telah mereka lakukan terhadapnya.
Nabi Sulaiman menjawab, "Aku tidak memuji kalian atas permintaan maaf kalian, tidak pula aku mencela apa yang telah kalian lakukan terhadapku, karena sesungguhnya peristiwa tersebut merupakan suatu perkara yang telah terjadi."
Sulaiman as berangkat hingga datang ke kerajaannya, lalu ia memerintahkan agar setan tersebut ditangkap. Setelah setan itu ditangkap, ia menjatuhkan hukuman terhadapnya, maka ia memasukkannya ke dalam sebuah peti besi yang dikuncinya rapat-rapat dan dilak dengan cap dari cincinnya.
Kemudian ia memerintahkan agar peti itu dilemparkan ke dalam laut, dan setan tersebut akan tetap berada di dalam peti itu hingga hari kiamat nanti. Disebutkan bahwa nama setan itu adalah Habyaq.
As-Saddi melanjutkan kisahnya, bahwa telah ditundukkan bagi Sulaiman angin, yang sebelum itu tidak ditundukkan terhadapnya. Seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang jua pun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi. (Shad: 35)
Memvonis Batil
Para pakar tafsir klasik dan kontemporer memvonis batilnya kisah tersebut seraya menyebutkan, kisah ini tidak lebih hanyalah isrâiliyyât (dongeng-dongeng yang dinukil dari bani Israil) yang batil.
Ibn Katsîr (w. 774 H), misalnya, dalam tafsirnya menyatakan “Allah SWT tidak menerangkan hakikat jasad yang Dia letakkan di atas kursinya. Kita mengimani bahwa Allah menguji beliau dengan meletakkan sebuah jasad di atas kursinya, dan kita tidak mengetahui tentang jasad itu?
Semua perkataan yang membicarakan tentang hal itu berasal dari cerita Israiliyyat; kita tidak mengetahui benar dan dustanya, wallahu a’lam.”
Sebagian ahli tafsir ada mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ujian ini ialah kehilangan kerajaan Sulaiman disebabkan aib yang biasa terjadi pada manusia sehingga orang lain duduk di atas singgasananya. Yakni setelah ujian itu, beliau kembali kepada Allah Ta'ala, berdoa dan meminta ampunan-Nya, serta meminta kerajaan yang tidak patut dimiliki seorang pun setelahnya.
Ibnu Hazm (w. 456 H) menegaskan, “Ini semua khurafat kisah palsu dan dusta. Isnâdnya sama sekali tidak shahih”. Ibn al-Jauzî (w. 597 H) juga menyebutkan kisah di atas “tidak absah dan tidak disebutkan oleh orang yang terpercaya”.
Al-Qurthubi (w. 671 H) dalam tafsirnya mengomentari pendapat orang yang menafsirkan “ujian” dengan kisah di atas, “Pendapat ini dilemahkan (para ulama)”.
Sedangkan Abu Hayyan (w. 745 H) dalam Tafsîr al-Bahr al-Muhîth bertutur, “Kisah ini tidak halal untuk dinukil dan termasuk karangan orang-orang Yahudi serta kaum zindiq”.
Al-Iji (w. 894 H) dalam Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an juga menjelaskan, “Ketahuilah, tidak ada satupun hadits shahîh yang menyebutkan perincian kisah tersebut. Adapun apa yang dinukil dari salaf, kemungkinan besar termasuk isrâîliyyât,” ujarnya.
“Ini kedustaan yang besar dan perkara yang serius. Keabsahan penisbatan cerita ini kepada Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu tidak kita terima,” tambah Al-Alûsî Abu ats-Tsanâ dalam kitabnya Rûh al-Ma’ânî.
Sebagian ulama yang menyebutkan bahwa sanad (jalur periwayatan) kisah tersebut hingga Ibnu Abbâs kuat, sebagaimana yang dikatakan Ibnu Katsîr, Ibnu Hajar al-‘Asqalânî, dan as-Suyûthî, hal tersebut tidaklah menafikan kebatilan kisah ini. Sebab andaikan sanad tersebut memang shahîh sampai ke Ibnu Abbâs ra, beliau hanyalah menukil kisah batil tersebut dari Ahlul Kitab yang masuk Islam. [Ibnu Abbâs menukil kisah tersebut dari Ka’ab al-Ahbâr, sebagaimana dalam ad-Durr al-Mantsûr (XII/573)].